-- D Darmakusuma
KETIKA Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Nomor 9 Tahun 2009 dibatalkan Mahkamah Konstitusi, saya sempat tidak menyadari bahwa ada kekhilafan yang telah dikoreksi.
Saya yakin Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah hasil pemikiran para akademisi dari perguruan tinggi. Namun, bagaimana mungkin sumbangan itu justru melahirkan produk hukum yang mengkhianati rakyat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?
Saya pun yakin idealisme sebagian besar pendidik di perguruan tinggi belum tergadaikan untuk menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai ”industri jasa pendidikan”.
Maka, menurut saya, memang tidak mudah menjalankan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tanpa kekhilafan.
Oleh karena itu, tulisan ini
lebih mengungkapkan kekhawatiran terhadap kekhilafan dunia pendidikan yang dapat membuat kita tanpa sadar keliru dan berakhir pada ”eugenika”.
Eugenika adalah upaya memperbaiki ras manusia dengan membuang orang berpenyakit, cacat, lemah, dan bodoh serta memperbanyak individu sehat dan cerdas. Penerapan keliru eugenika telah mengukir sejarah kelam tragedi kemanusiaan.
Eugenika menjadi dasar pembenaran pelarangan pernikahan antarkelompok masyarakat, pemandulan hingga eutanasia terhadap kelompok masyarakat yang tidak diinginkan (baca: genosida). Teori seleksi alam Charles Darwin pun erat kaitannya dengan kelahiran pemikiran eugenika. Eugenika adalah kejahatan sains karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Mungkinkah sistem pendidikan menjadi sumber kekhilafan yang berakhir pada eugenika?
Hal ini tidak mungkin terjadi pada tingkatan produk hukum seperti UU Sisdiknas. Namun, implementasi produk hukum tersebut pada tingkat pelaksana bisa menghasilkan beragam kebijaksanaan karena dilandasi niat dan idealisme yang berbeda.
Berbagai strata
Keinginan memperbesar peran serta masyarakat menyebabkan pelaksanaan sistem pendidikan terpecah menjadi berbagai strata kualitas lembaga pendidikan sesuai strata ekonomi masyarakat. Di satu sisi ada lembaga pendidikan dengan fasilitas pendidikan berkualitas super, di sisi lain lembaga pendidikan pemerintah memberikan fasilitas pendidikan gratis yang kurang memadai untuk kelompok masyarakat bertaraf hidup rendah.
Maka, agar tidak ketinggalan dengan ”pebisnis” yang mengelola ”industri jasa pendidikan”, beberapa lembaga pendidikan pemerintah bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan pemerintah yang menyediakan layanan pendidikan berfasilitas khusus. Artinya, dengan biaya khusus dan hanya dapat dicapai oleh kelompok masyarakat berstrata ekonomi khusus pula.
Tanpa disadari, terjadilah ”korupsi idealisme pendidik” dan ”pelecutan idealisme pendidik”.
Sebagai pendidik, kita tak sepenuhnya dapat disalahkan atas apa yang terjadi karena ada tekanan memproduksi citra pendidikan yang berkualitas tanpa melihat makna pendidikan sebagai hak asasi manusia.
Kita harus siap menerima bahwa pendidikan yang kita laksanakan akan menghasilkan manusia-manusia yang terbagi dalam berbagai predikat strata kualitas pendidikan.
Predikat strata kualitas pendidikan yang berbeda memberi akses yang berbeda pula terhadap fasilitas penghidupan dan kehidupan. Manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan baik akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan baik.
Mereka menjadi kelompok masyarakat yang memiliki kualitas, harapan hidup, dan bereproduksi dengan baik serta mewariskan kesejahteraan hidup pada generasi berikutnya melalui strata kualitas lembaga pendidikan yang mampu dibiayainya.
Sebaliknya, manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan rendah akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan rendah pula. Mereka menjadi kelompok masyarakat dengan kualitas, harapan hidup, dan keinginan bereproduksi rendah, berpeluang lebih kecil untuk dapat mewariskan kesejahteraan pada generasi berikutnya.
Seleksi alam telah terjadi dan eugenika akan menjadi kenyataan. Eugenika ini dipercepat lagi dengan adanya diskriminasi layanan kesehatan.
Apabila kita tak ingin mengatakan eugenika sebagai akibat dari kekhilafan dalam pelaksanaan sistem pendidikan, mari kita hayati rasa ketidakadilan yang mengkristal sebagai akibat adanya perbedaan strata kualitas pendidikan ini.
Tidak mudah merasakan kekhilafan ini, mungkin karena kita sedang dalam kemenangan melawan seleksi alam. Kesejahteraan dari pemerintah kepada para pendidik memberi peluang lebih baik untuk melewati seleksi alam ini. Namun, sebagai pendidik, kita bertanggung jawab terhadap semua kemungkinan dampak buruk kekhilafan pelaksanaan UU Sisdiknas.
Cegah kekhilafan
Saya memang belum memiliki kapabilitas memadai untuk mengatakan ada yang salah dengan UU Sisdiknas. Namun, saya yakin tidak mudah menjalankan UU Sisdiknas tanpa kekhilafan. Maka, yang penting adalah bagaimana mencegah kekhilafan pelaksanaan UU Sisdiknas.
Sebagai sistem yang terdiri dari banyak komponen, sisdiknas harus dievaluasi pelaksanaannya secara berkala dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan NKRI. Evaluasi diharapkan bisa memetakan kelemahan dan memprediksi dampak kelemahan terhadap sistem lainnya.
Bagaimana kenyataannya? Sebagai contoh, kita tidak pernah disuguhi hasil analisis nilai ujian nasional (UN) dalam perspektif yang komprehensif seperti di atas. UN hanya diperdebatkan tanpa pernah selesai akibat berbagai kepentingan.
Perdebatan UN yang berkepanjangan membutakan kita terhadap kekhilafan pelaksanaan amanat UU Sisdiknas. Kita terus membiarkan anak didik menjadi kelinci percobaan yang diamati kemampuan akademiknya setelah mendapat ”perlakuan pembelajaran”.
Mereka pun kemudian terbagi dalam dua strata kualitas pendidikan: yang lulus UN sebagai kelompok manusia kualitas pendidikan baik dan yang tidak lulus UN sebagai kelompok manusia kualitas pendidikan buruk.
Sebagai kelompok manusia strata kualitas pendidikan buruk, anak didik yang tidak lulus UN akan menghadapi risiko diskriminasi dalam kesempatan mengikuti pendidikan yang lebih baik. Anak didik yang tidak berdosa ini menjadi korban eugenika sebagai akibat kekhilafan.
Tampaknya sebagian kita belum menyadari kekhilafan ini, bahkan setelah pengadilan memenangkan keberatan rakyat atas posisi UN. Pemerintah hanya mengubah posisi UN dalam penentuan kelulusan, semata karena tekanan publik bukan berdasarkan analisis komprehensif.
Kepongahan akademik sebagian para pemikir kita belum memungkinkan nuraninya mereposisi UN sebagai upaya memperbaiki kekhilafan menjalankan amanat UU Sisdiknas.
Namun, berbagai strata kualitas pendidikan terus terbentuk menguatkan friksi sosial, budaya, dan ekonomi dalam masyarakat. Ini selanjutnya membentuk ”kasta politik” dengan kebijakan diskriminatif yang tanpa sadar mengarah pada eugenika kelompok masyarakat marjinal.
* D Darmakusuma, Dosen Kimia Pemerhati Bioetika dan Kejahatan Sains
Sumber: Kompas, Kamis, 15 April 2010
No comments:
Post a Comment