-- Novel Ali
MEDIA massa hampir selalu berada dalam impitan dua kepentingan. Kepentingan pertama, bisnis. Kepentingan kedua, idealisme.
Di tengah dua kepentingan itu sangat sulit bagi konsumen pers mengharap sajian media massa yang tidak berpihak. Sajian pers Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media di satu sisi, dan euforia publik di sisi lain. Euforia publik dan kapitalisme media itu dibentuk oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media, dengan berbagai pemangku kepentingannya.
Perbedaan mindset antara pemilik dan pengelola pers dengan konsumen pers merupakan embrio kegagalan media massa membangun human dignity di tengah kehidupan individu dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah lubernya aksesibilitas pers dalam membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan opini publik, yang tak diimbangi akuntabilitas eksternal media massa sebagaimana seharusnya.
Konsumen pasrah saja
Dalam konteks ini, sajian pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan pemenuhan kepentingan produsen informasi dan konsumen informasi. Pengelola pers sering menyajikan informasi, yang mengesampingkan kepentingan ideologi media massa, akibat kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers. Sebaliknya, konsumen pers pasrah kepada sajian apa pun yang diberikan oleh produsen informasi publik tersebut.
Dorongan prioritasi ideologi media dalam sajian pers mengakibatkan eksploitasi kepentingan manusia. Salah satu bentuk konkretnya adalah depersonilisasi dan desakralisasi simbol kemanusiaan dalam sosok perorangan atau kelompok. Selain itu, sajian media massa kuat bukan dalam sosok kultur, melainkan struktur. Akibatnya, tanpa disadari oleh konsumen pers pada umumnya, di samping tanpa kesengajaan pengelola pers itu sendiri, muncullah desakralisasi kepentingan pribadi manusia sebagai individu, bersamaan dengan munculnya sakralitas kepentingan kelompok manusia sebagai sebuah struktur.
Ideologi media massa semakin memperkuat kecenderungan kapitalisasi informasi publik dalam berbagai format. Baik format sosial, format politik, maupun format kebudayaan, dan lain-lain. Kapitalisasi informasi publik ini dikelola dalam modus jurnalistik yang mampu memosisikan kepentingan simbol tertentu menjadi ”tidak layak dijual”, padahal sebetulnya simbol-simbol itu memenuhi syarat nilai berita.
Pemberitaan pers nasional kita yang sarat konflik antara tuntutan ideologi dan kapitalisme pers mengakibatkan informasi di dalam media massa hampir selalu dipertimbangkan dari aspek ”nilai jualnya”. Informasi tertentu, sekalipun sarat nilai berita, sejauh dipandang kurang/tidak layak jual akan cenderung disingkirkan di lembar media massa cetak atau durasi media radio dan televisi.
Kapitalisme pers
Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkeraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.
Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatisme dalam pers. Salah satu risikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaannya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggung jawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggung jawab kemanusiaan.
Impitan kepentingan komersial dan ideal dalam pers mempersulit peran publik di dalam ikut menentukan warna media massa yang dipilihnya (untuk dibaca, didengar, dan dipirsa). Di tengah kecenderungan demikian, sulit bagi kita mengharapkan sajian pers bermoral. Terutama pers yang berupaya memprioritaskan kepentingan obyektif, bila secara komersial merugikan. Atau pers yang memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas, tetapi bertentangan dengan ideologi media massa yang bersangkutan.
* Novel Ali, Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip
Sumber: Kompas, Kamis, 15 April 2010
No comments:
Post a Comment