-- Bre Redana
KOLUSI kepala negeri Astinam dengan para duta besar, para anggota parlemen, para cukong, membuahkan suatu rencana untuk mengerjakan penggalian dan pengolahan tambang tembaga di bukit Saloka, sebuah desa yang ditinggali Suku Naga. Pemerintah Astinam akan mengosongkan desa Suku Naga dan mengubah desa tersebut menjadi kota pertambangan, lengkap dengan perumahan-perumahan, tempat hiburan, masjid, gereja, pabrik pengolahan, gudang-gudang, dan sebagainya. Hal itu berarti lenyapnya Suku Naga.
Kepala Suku Naga, pemangku kehidupan yang dekat dengan alam, terampil dalam kependekaran bernama Abisavam, memimpin rakyatnya untuk bertahan dari penggusuran yang dibungkus bujuk rayu, intimidasi, teror. Kebetulan datang Abivara, putra Abisavam, yang telah selesai belajar di tanah seberang. Ia kembali ke kampung untuk bekerja. Kepulangannya, disertai sahabat karibnya, Carlos, seorang wartawan surat kabar, yang tertarik pada nasib rakyat dari masyarakat yang sedang berkembang.
Itulah inti Kisah Perjuangan Suku Naga, drama Bengkel Teater, dipentaskan pertama kali di Teater Terbuka TIM, 26-27 Juli 1975. Naskah ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, serta dipentaskan oleh grup teater di Amerika, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Siapakah Abisavam? Siapakah Carlos?
Seniman biasa membungkus gagasan-gagasannya termasuk melalui penokohan dari orang-orang yang inspiratif dan dekat dengannya. Bagi yang mengenal dekat kehidupan Rendra kala itu, dengan mudah akan mengasosiasikan Abisavam dengan Suhu Subur Rahardja. Sementara Carlos adalah Louise Annsberry (bukan Louis Ansbery seperti tertulis pada bagian pertama serial ini), wanita Amerika yang dekat dengan Rendra dan Subur Rahardja pada masa itu. Ketiganya menjadi kesatuan yang menumbuhkan dinamika baru baik bagi Bengkel Teater maupun PGB Bangau Putih.
”Ibu Louise waktu itu adalah wartawan Washington Post,” kata Guru Besar Gunawan Rahardja, putra Suhu yang menjadi penerus perguruan. Gunawan memberi banyak informasi mengenai hubungan mendiang Suhu dengan Louise, dan memberi perspektif bagi tulisan ini. Louise kemudian dikenal sebagai semacam penasihat bagi Pertamina pada masa itu. Kemungkinan, ini dikarenakan Louise memang dekat dengan dunia pertambangan di negerinya, serta punya lobi kuat pada Pemerintah AS.
Banyak anggota Bengkel Teater maupun PGB Bangau Putih bisa mengenang hubungan Rendra, Suhu, maupun Louise. Ken Zuraida mengenang, pada ulang tahun Rendra ke-40, tahun 1975, Louise memberi hadiah istimewa: menghadirkan Ravi Shankar di Ketanggungan, markas Bengkel Teater di Yogyakarta. Semua eksponen Generasi Bunga tahu belaka siapa Ravi Shankar. Dia adalah pemain sitar, spiritualis, di mana The Beatles dan Rolling Stones berguru di India (dari situ John Lennon melahirkan Imagine, dan Rolling Stones melahirkan Sympathy for the Devil). Ravi Shankar juga pernah berkesempatan muncul di padepokan PGB Bangau Putih di Tugu, Cisarua.
Mengolah alam
Ilmu berasal dari alam dan kita harus mengembalikannya kepada alam. Itulah salah satu dasar keilmuan PGB Bangau Putih. Mengolah alam, mengolah kehidupan, menjalani kewajaran merupakan pergulatan tiada habis-habisnya bagi para anggota PGB Bangau Putih.
Ketika Bengkel Teater bersinggungan dengan PGB Bangau Putih, kelompok itu memberi rumusan lebih gamblang. Isi Prasetya Bengkel Teater antara lain: ”...Aku tidak akan memiliki yang berlebih. Segala yang berlebih akan aku kembalikan kepada Tuhan melewati alam dan kehidupan./Aku setia pada jalannya alam.”
Praksis dari pandangan tadi pada PGB Bangau Putih adalah menjalani kehidupan sebagaimana adanya, seperti jalannya alam. Latihan silat bukan hanya soal tangkis-pukul-tendang, geseran dan semacamnya, melainkan juga mengolah kesadaran, untuk mencapai kewajaran. Pada titik itu, krida latihan fisik berjalan seperti kehidupan itu sendiri, sebuah olah diri yang tak mengenal target, yang barangkali hanya berakhir bersama berakhirnya hidup.
Begitu pun Bengkel Teater. Ada atau tak ada produksi pertunjukan, para awak Bengkel akan tetap berlatih. Pada masa dulu, ketika kelompok ini dilarang rezim Orde Baru untuk manggung, para anggota Bengkel tetap mengolah diri, mengolah alam, dengan metode ”kerja ladang”. Tahun 1975, Rendra menerima Hadiah Akademi Jakarta, dengan hadiah uang Rp 2,5 juta. Uang itu digunakan untuk membeli sebidang tanah di pinggir Kali Winongo di dekat Bengkel Teater.
Para anggota Bengkel bekerja di ladang, dengan menanam apa saja. Menurut Edi Haryono yang suka mencatat dan mendokumentasikan hal apa saja mengenai Bengkel Teater, kerja ladang ternyata membuat sebagian anggota Bengkel yang sebelumnya berhubungan dengan obat-obat terlarang menemukan terapinya. Mereka sembuh. Mereka mudah mengerjakan sesuatu secara total. Dari situ, lahirlah spontanitas yang otentik dan unik, yang segera mewarnai wajah Bengkel Teater, ketika mereka berkesempatan naik panggung.
Hubungan
Di Kisah Perjuangan Suku Naga, setting perladangan mencuat gamblang. Suku Naga digambarkan sebagai masyarakat petani yang setia mengolah alam. Koor dalam drama itu berbunyi antara lain: ”Begitulah adab leluhur kita, dengan arif menjaga desa pertanian. Petani yang menjual tanahnya mencelakakan petani lainnya. Kenapa musti kau jual tanahmu? Untuk gelang dan giwang? Gelang dan giwang tak bisa tumbuh....”
Seniman sering memanifestasikan gagasannya dengan sesuatu yang dekat dengannya. Hubungan Rendra dengan Sunarti, membuahkan romantisme yang terus dikenang orang seperti dalam puisi ”Kakawin Kawin”: ”Angin dan cinta/mendesah dalam gerimis/Semangat cintaku yang kuat/bagai seribu tangan gaib/menyebarkan seribu jaring/menyergap hatimu....”
Tentang kegagahan, muncul dalam ”Sajak Burung-burung Kondor”, yang sepertinya menunjuk pada pendekar yang berani hidup apa adanya: ”...burung kondor mencakar batu-batu/mematuki batu-batu, mematuki udara.”
Pada drama Kisah Perjuangan Suku Naga pula, ketika Carlos si wartawan hendak pulang ke negerinya karena visanya habis, Rendra memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan melalui ungkapannya yang terkenal: ”Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan bisa terjaga.
(BERSAMBUNG)
Sumber: Kompas, Minggu, 11 April 2010
No comments:
Post a Comment