Saturday, April 10, 2010

BHMN Tak Miliki Dasar Hukum

[JAKARTA] Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang (UU) 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) termasuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang menjadi cikal bakal BHP. Karena itu, BHMN yang mau dipertahankan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tidak memiliki dasar hukum.

Ahmad Rizali (SP/Abimanyu)


Hal itu dikemukakan Ketua Institute for Education Reform, Utomo Dananjaya di Jakarta, Kamis (8/4). Dia menegaskan, sistem pendidikan nasional termasuk dalam pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) harus kembali pada konstitusi, yakni UUD 1945.

Seharusnya kata Dananjaya, seharusnya otonomi keuangan PTN dihapus, sebab MK telah mencabut UU BHP. ”Bentuk BHMN tidak memiliki dasar hukum, kalau Mendiknas membuat peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang tetap mempertahankan kemandirian PTN BHMN, berarti menentang keputusan MK,” ujarnya. Padahal, Presiden telah menyatakan akan tetap mengutamakan dan melaksanakan keputusan MK. Peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang akan dikeluarkan harus kembali ke UUD 1945, yakni memperluas akses masyarakat terhadap perguruan tinggi.

”UU BHP itu masalahnya adalah menghambat akses dan bertentangan dengan UUD 1945. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, jangan dibeda-bedakan berdasarkan kemampuan ekonomi,” tandasnya.
Diungkapkannya, sekarang tiap PTN membuka jalur khusus masuk PTN. Setelah lulus tes, siswa dikenakan SPP, minimum SPP sekarang sekitar Rp 25 juta.

”Kenapa negara masih memeras rakyat. Pemerintah harus bertanggung jawab kepada pendidikan semua orang, sehingga tidak boleh ada yang tersisihkan,” katanya.

Menurutnya, otonomi di PTN boleh saja, yaitu otonomi dalam kebebasan menuntut ilmu dan menyatakan pendapat bukan soal uang. Sekarang sudah terjadi kesalahan dalam menafsirkan otonomi oleh PTN.
Anggota The Center for the Betterment of Education, Ahmad Rizali menyatakan hal senada. Otonomi yang diberikan kepada PTN BHMN kebablasan.

Otonomi keuangan terutama dalam penetapan SPP perlu diatur supaya PTN tidak seenaknya menetapkan tarif masuk. ”Kemdiknas tidak melakukan kontrol, sehingga disalahgunakan oleh PTN BHMN. Sebenarnya UU BHP sudah positif, karena mengatur batas minimal yang bisa dikenakan kepada masyarakat, yakni hanya sepertiga dari biaya operasional,” katanya.

Payung Hukum

Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal menuturkan, hingga kini Kementerian Pendidikan masih mencari payung hukum baru menggantikan UU BHP yang dibatalkan oleh MK. ”Kami masih mencari bentuk (pengelolaan PTN) yang baik. Nanti akan ada pilihan-pilihan lebih luas bagi PTN tanpa menjadi BHMN, bisa tetap bertahan dengan PTN atau Badan Layanan Umum (BLU),” ujarnya.

Rektor Universitas Sam Ratulangie (Unsrat) Manado Donald Rumokoy menyatakan, akan mengikuti keputusan pemerintah, terkait dibatalkannya UU BHP oleh MK. Diakui, Unsrat selama ini memang belum siap menjadi BHP, sehingga dengan dibatalkannya UU itu, bagi Unsrat tidak ada masalah.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Jawa Barat dan Banten, Didi Turmudzi meminta pemerintah bersama-sama dengan DPR mengeluarkan kebijakan yang memberikan rasa keadilan bagi perguruan tinggi swasta (PTS).
“Karena sekarang ini perguruan tinggi mengikuti mekanisme pasar dengan daya dukung dan kualitas berbeda-beda. Yang lemah akan mati,” ungkapnya kepada wartawan di Universitas Pasundan, Bandung, Kamis (8/4). [D-11/153/136]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 10 April 2010

No comments: