-- Asep Juanda*
MEMBICARAKAN sastra dan agama bisa berarti mempertautkan pengaruh agama dalam sebuah karya sastra, atau sebuah karya sastra bernapaskan agama. Pertautan dua hal itu didasarkan pada pandangan bahwa seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari ajaran agama yang tampak dalam kehidupan. Pandangan itu erat dengan proses penciptaan karya sastra, bahwa ia tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Jika dilacak jauh ke belakang, kehadiran unsur keagamaan dalam sastra setua keberadaan sastra itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Mangunwijaya (1982) bahwa pada awal mulanya, segala sastra adalah religius.
Sastra keagamaan adalah sastra yang mengandung nilai-nilai ajaran agama. Karya sastra seperti itu menunjukkan bahwa pengarang merasa terpanggil untuk menghadirkan nilai-nilai keagamaan ke dalam karyanya. Karya sastra yang menghadirkan pesan-pesan keagamaan yang isi ceritanya diambil dari agama Islam di antaranya novel-novel karya Habiburrahman El Shirazy.
Habiburrahman hidup dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Pendidikan formalnya juga dilalui dalam lingkungan sekolah yang menitikberatkan pada bidang agama. Ia menempuh pendidikan formal mulai dari madrasah ibtidaiah, madrasah sanawiah, dan madrasah aliah. Kemudian ia melanjutkan S-1 dan S-2 di Kairo, Mesir dengan spesialis bidang ilmu tafsir dan hadis. Hal tersebut telah mengukuhkan Habiburrahman sebagai pengarang yang menghasilkan karya-karya bernuansa dan bernapaskan agama (keislaman), misalnya novel ”Ayat-ayat Cinta” (AAC) dan ”Ketika Cinta Bertasbih” (KCB). Kedua novel tersebut termasuk ke dalam novel best seller, bahkan sempat difilmkan.
Kesuksesan Habiburrahman dalam karya-karyanya seolah-olah mengingatkan kita terhadap keberadaan pesantren dan hubungannya dengan sastra. Pemikiran kita seolah-olah tertarik untuk menengok kembali bagaimana keberadaan sastra agama dari mulai kemunculan Islam dan perkembangannya. Maka tidak berlebihan tampaknya kalau dikatakan bahwa Islam tidak lepas dengan sastra, karena memang secara umum sastra muncul seiring adanya peradaban manusia, terlebih peradaban di dunia Islam.
Di tanah Arab misalnya, sebelum dan sesudah kemunculan Islam, sering diadakan lomba menulis dan membaca syair di sebuah pasar yang dinamakan Pasar Ukaz. Kemudian hasil karya pemenang tersebut ditempel di dinding Kabah untuk beberapa waktu, sehingga pada awal kemunculan Islam tercatat beberapa sastrawan Islam, seperti Khansa r.a. yang terkenal sebagai seorang penyair wanita. Ibnu Atsir (di dalam al Khandalawi, 676) menyatakan,”Semua ahli sastra telah sepakat bahwa Khansa r.a. adalah seorang penyair perempuan terbaik di kalangan bangsa Arab. Di dalam sejarah belum pernah ada orang yang menulis puisi seindah Khansa r.a.”
**
PERKEMBANGAN selanjutnya pada zaman kekhalifahan Salahudin Al-Ayubi (1138-1193 M) di Irak, pernah dilaksanakan perlombaan menulis syair yang bertemakan kelahiran Nabi Muhammad saw. Pemenangnya pada waktu itu Syaikh Jafar AlBarjanji dengan karyanya sebuah kitab yang dinamakan Al-Barjanzi. Kitab tersebut menjadi salah satu bahan bacaan sebagian umat Islam di seluruh negara, termasuk di Indonesia, ketika mengingat hari kelahiran Nabi Muhammad saw.
Sementara di tanah air sendiri kemunculan sastra agama perlu diperhitungkan, terutama seiring dengan perkembangan agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Para wali penyebar agama Islam melakukan dakwah salah satunya melalui sastra. Karya-karya Sunan Bonang melalui dunia perwayangan dan syair-syair misalnya, patut diperhitungkan pada zamannya.
Dewasa ini pun apabila kita melirik ke beberapa pesantren atau pusat-pusat perkembangan agama Islam, maka akan mendengar atau menyaksikan hasil-hasil karya sastra di kalangan pesantren. Bentuk karya sastra tersebut ada berupa nazam atau nazaman, drama, puisi, dan syair-syair hafalan mengenai ilmu tertentu.
Mengenai nazaman, di tatar Sunda disebut juga pupujian, yaitu cara ungkap masyarakat Sunda melalui nyanyi-nyanyian dalam rangka mengajak salat berjamaah, mengagungkan Tuhan, Nabi Muhammad saw., atau mengandung pesan moral bagi kemaslahatan dan keselamatan umat. Nazaman kerap kita dengar di langgar-langgar, masjid-masjid, atau mimbar-mimbar pengajian dan dilantunkan menjelang waktu salat tiba, atau untuk mengisi waktu senggang kala menunggu imam datang atau melaksanakan salat berjamaah.
Di antara nazaman yang terkenal di tatar Sunda misalnya, ajakan untuk salat berbunyi: Eling-eling dulur kabeh/ Ibadah ulah talobeh/Berang peuting ulah weleh/Bisi na kaburu paeh.
Banyak kreativitas bentuk nazaman yang berupa ciri kearifan lokal. Satu dari segelintir orang Sunda yang mengeksplorasi kearifan lokal budaya Sunda, khususnya sastra Sunda yang islami adalah R.H. Hidayat Suryalaga. Salah satu kerja besarnya yaitu membuat nazaman dapat terselesaikan dengan memakan waktu lebih dari 16 tahun. Nazaman tersebut hasil menerjemahkan ayat suci Alquran ke dalam bentuk bait-bait syair. Dari bait-bait syair itu terciptalah salah satu genre puisi Sunda dalam bangunan nazaman, dan sebagian dari 30 juz Alquran tersebut sekarang telah terkumpul dalam beberapa daras (ngaderes-tadarusan) yang dinamai Nadoman Nurul Hikmah. Nadoman Nurul Hikmah walaupun diniatkan oleh penyairnya sebagai puisi bebas, pada hakikatnya tetap terkesan muitis. Ajén purwakanti atau rima dan irama dalam kata per kata tetap terpelihara.
Maka, nazaman merupakan khazanah kesusastraan yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam sastra agama khususnya. Namun sayang, keberadaannya belum terakui secara penuh di dalam dunia sastra. Selain itu, Nadoman Nurul Hikmah telah terwujud dalam sebuah buku, tetapi di sisi lain kebanyakan nazaman dan sastra di pesantren masih berupa sastra lisan, apabila tidak diarsipkan, maka suatu saat hanya sebatas karya sastra yang tinggal dalam lisan-lisan orang tua, dan mereka mengatakan, ”bahwa dahulu….”***
* Asep Juanda, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 4 April 2010
No comments:
Post a Comment