-- Hardi Hamzah
AMUK massa, itulah yang kerap kakita lihat di televisi, memang frekuensi amuk massa benar-benar meningkat di era reformasi.
Amuk massa berkaitan erat dengan crowd (kerumunan). Kerumunan yang tampaknya insidental, kalau ada satu letupan, provokasi atau apa pun bentuknya yang sifatnya mengagetkan, apakah dengan teriakan yang lebih nyaring, atau anarkistis, chaos, dan lain sebagainya. Singkat kata amuk massa merupakan perwujudan emosi dengan kesamaan orientasi.
Beberapa ahli psikologi massa, seperti Gray Ramod Louis (1965), menganalisis, bahwa amuk massa adalah manifestasi dari kekecewaan yang mempunyai kesamaan denyut psikis, denyut mana lebih dititikberatkan kesamaan orientasi yang muncul sebagai hubungan kausalitas. Artinya, menurut psikolog berkebangsaan Prancis ini, amuk massa bisa terjadi karena imbal balik dari akibat (perasaan) yang sama atas perlakuan.
Namun, dalam wacana politik, amuk massa lebih banyak diakibatkan proses sosial yang menekan masyarakat. Masyarakat yang terus-menerus ditekan, menurut Malcolm Weith (1972), amuk massa secara evolutif akan mengganjal psikis komunitas tersebut. Dalam arti, tekanan yang dirasakan komunitas tertentu tidak langsung dimanifestasikan, tapi perlahan, namun pasti akan tumpah. Inilah amuk massa yang sulit dikendalikan, ujar Malcolm dan cenderung anarkistis, tegas ilmuan Belgia ini.
Apa yang disinyalir Malcolm, dalam perspektif sejarah terlihat pada pemberontakan Banten pada era pergerakan, juga pada era Kerajaan Mataram, ketika terjadi pepe (menjemur diri) di alun-alun sebagai ungkapan evolutif. Amuk massa, kendati berbeda dengan unjuk rasa atau demonstrasi, tapi mempunyai kesamaan sifat-sifat psiko kultural. Dalam unjuk rasa biasanya lebih mengutamakan isu, sedangkan dalam amuk massa lebih dipicu atau dilahirkan sebagai resultan dari insidental dan kausalitas.
Tetapi, unjuk rasa, biasanya lebih bermakna, karena yang diutamakan misi dan visi, dan perspektif jangkauannya lebih jauh. Sebab, dalam unjuk rasa lebih terencana dan terkoordinasi. Soalnya sekarang adalah apakah unjuk rasa lebih diarahkan pada kemaslahatan umat atau hanya sebagai dinamika "gagah-gagahan". Kalau asumsi di atas benar, unjuk rasa semacam ini lebih banyak menjelmakan atmosfer anarkistis dan tak mampu menjangkau tujuan, dan tidak berbeda jauh dari esensi amuk massa itu sendiri. Hal seperti ini yang tidak dapat ditoleransi, karena unjuk rasa akan disfungsional.
Sementara itu, dalam konteks unjuk rasa, yang logik umumnya dalam rangka membangun demokratisasi politik, kiranya tidak patut diantisipasi dengan ketakutan-ketakutan tanpa alasan. Sebab, bila pemerintah concerned terhadap demokrasi yang ekuivalen dengan unjuk rasa, ruang lingkup yang patut disikapi pemerintah adalah mengidentifikasi sampai sejauh mana unjuk rasa dari berbagai elemen tersebut mampu memberikan kritik-kritik konstruktif bagi pemerintah.
Hemat penulis, amuk massa dan unjuk rasa bukan saja menjadi bagian integral dari kebebasan mengemukakan pedapat, malainkan juga merupakan unsur penting sebagai kontrol sosial bagi pemerintah. Kalau demikian halnya, mengapa amuk massa dan unjuk rasa dengan berbagai kelemahan dan kekuatannya, sebagaimana yang telah disinggung di muka, amuk massa dan unjuk rasa tak lebih dan tak kurang, adalah "jamu" yang menjadi terapi bagi pemerintah yang sedang mengalami dinamika demokrasi.
* Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan Staf Ahli MAHAR Fondation
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 April 2010
No comments:
Post a Comment