-- Januari Sihotang*
SEBENARNYA sejak tahun 2003, Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) mengundang kontroversi. RUU ini mendapat banyak kecaman karena pokok isinya dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Pemerintah seolah-olah melegalisasi kewenangan institusi pendidikan untuk mengelola pendanaannya secara otonom.
Mandiri dalam pengelolaan keuangan membuat PT BHMN "menghalalkan� segala cara demi pemasukan sebanyak-banyaknya. Penyelenggaraan berbagai macam jalur masuk yang mengutamakan kemampuan finansial adalah salah satunya. Selain itu, beberapa pihak swasta juga digandeng dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal seperti ini tentunya sangat memberatkan dan membatasi akses bagi setiap orang tua dan mahasiswa, terutama kalangan kurang mampu, dalam mengecap pendidikan tinggi.
Lantas, berbagai alasan logis penolakan RUU BHP pun lantang terdengar. Tidak hanya dari mahasiswa, mayoritas praktisi dan pengamat pendidikan juga mempunyai pemikiran yang sama. Namun berbagai aksi penolakan tersebut tidak menyurutkan niat DPR untuk mengesahkan RUU BHP menjadi UU. Maka melalui perdebatan panjang, payung hukum bernama UU BHP pun disahkan DPR melalui UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Walaupun sudah diundangkan, dan beberapa perguruan tinggi sudah berubah statusnya menjadi PT BHMN seperti UI (Jakarta), UPI (Bandung), Undip (Semarang), IPB (Bogor), UGM (Yogyakarta), dan USU (Medan), penolakan UU BHP tidak pernah berakhir.
Jalur terakhir pun ditempuh melalui judicial review terhadap UU 9/2009 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Perjuangan itu ternyata tak sia-sia. Hingga akhirnya, pada 31 Maret 2009 lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang isinya menolak UU BHP secara keseluruhan. Dengan sendirinya juga, UU Nomor 9 Tahun 2009 dicabut.
UU Nomor 9 Tahun 2009 oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional. Mahkamah Konstitusi menilai UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 C Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1). Jika mencermati dari amar putusan dan pertimbangan hukumnya, setidaknya ada 5 (lima) alasan Mahkamah Konstitusi mencabut UU BHP, yaitu:
Pertama, UU BHP mempunyai banyak kelemahan, baik secara yuridis, kejelasan maksud mauupun keselarasan dengan UU lain.
Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Namun realitasnya, kesamaan hanya ada pada jenis yaitu PTN, sedangkan menyoal kemampuan berbeda-beda. Ketiga, berhubungan dengan poin dua, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi dirasa tidak tepat. Hal ini disebabkan perbedaan kemampuan setiap perguruan tinggi dalam mencari pemasukan dan dihubungkan juga dengan perbedaan pasar di setiap daerah dimana perguruan tinggi berada.
Keempat, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. Kelima, prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.
Walaupun pencabutan UU BHP mendapat sambutan positif dari berbagai elemen masyarakat, bukan berarti persoalannya hanya berhenti di situ saja. Seperti diketahui, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final artinya tidak bisa dilakukan upaya hukum lagi. Konsekuensinya, apa pun yang terjadi, semua perguruan tinggi, terutama PT BHMN harus menerima pencabutan UU BHP. Lalu apakah payung hukum bagi PT BHMN yang "merasa" telah mampu mengelola keuangannya itu?
Komisi IX DPR sebagai komisi yang membidangi pendidikan harus bergerak cepat guna mengatasi kekosongan hukum tersebut. Ini target jangka pendek. Apalagi sekarang ini adalah musim penerimaan mahasiswa baru. Jika tidak, dikhawatirkan akan timbul persoalan-persoalan baru yang tidak diinginkan.
Harapan kita, DPR mampu membuat UU yang memenuhi aspirasi dan keadilan publik. UU yang akan dibentuk harus lebih baik dari UU yang dibatalkan. Setidaknya, harus menghindari hal-hal yang menganut penyeragaman. Sebab dengan keadaan pendidikan kita yang seperti sekarang ini, rasanya sangat susah jika harus menyamaratakan kebijakan di setiap wilayah. Hal ini sama seperti penyeragaman penilaian akhir bernama ujian nasional yang masih kontroversial. Selain itu, UU tersebut tidak cenderung membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan serta tidak melanggar HAM.
Rambu-rambu yang sudah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review Pasal 53 Ayat (4) Nomor 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjadi rujukan pembuatan UU BHP juga harus dipatuhi. Di mana dalam putusan tersebut, sesungguhnya tidak ada perintah untuk penyeragaman bentuk badan hukum pendidikan. Kata �badan huukum pendidikan� dalam pasal tersebut tidak merujuk pada sebuah nama atau bentuk yang seragam, tetapi mengacu pada bentuk badan hukum yang bersifat umum.
Dengan pembatalan UU BHP secara keseluruhan dan semakin seringnya judicial review terhadap UU, seharusnya DPR sudah harus becermin lebih saksama lagi. Pembatalan UU oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa UU yang dikerjakan DPR selama bertahun-tahun dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit ternyata tak berpihak pada rakyat dan jauh dari keadilan hukum. Jika sudah begini, akan sangat pantas kita kembali mempertanyakan kualitas anggota DPR kita. Betul betul betul? n
* Januari Sihotang, Alumnus Fakultas Hukum USU, sedang menjajaki studi di Hukum Ketatanegaraan Pascasarjana UGM
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 April 2010
No comments:
Post a Comment