Sunday, April 25, 2010

[Buku] Meneladani Guru Bangsa Kita

Judul : Si Anak Kampoeng (Berdasarkan Kisah Buya Syafii Maarif)

Penulis : Damien Dematra

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Februari 2010

Tebal : x+ 248 Halaman

Harga : Rp45 ribu

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu guru bangsa hadir di tengah-tengah multikulturalisme negeri kita. Kontribusi pemikiran dan gerakan Buya, baik dalam ranah kemanusiaan, keadilan, maupun kebersamaan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia, sangat patut diteladani. Tak banyak guru bangsa hadir dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, Buya Syafii Maarif satu dari mutiara langka tersebut.

Kita hanya mengenal Buya Syafii Maarif dalam konteks kekinian, sebagai seorang guru bangsa, cendekiawan muslim tersohor serta pernah diamanahkan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun, kita tidak pernah tahu, bahwa Buya Syafii Maarif di masa kecilnya adalah seorang anak kampung nan jauh di pelosok negeri. Namun, berkat kegigihan, tekad dan kemauan besar, pada akhirnya membawa Buya Syafii Maarif menuju gerbang kesuksesan luar biasa.

Melalui goresan dalam buku Si Anak Kampoeng ini, Damien Dematra memotret sebuah kisah inspiratif, menggugah, dan membangun spirit dalam perjuangan tentang sekelumit kehidupan masa kecil Buya Syafii Maarif penuh dengan liku-liku.

Kisah ini berawal dari sebuah Desa Calau di Sumpurkudus, Sumatera (saat ini Sumatera Barat) pada 24 Mei 1937 atau 73 tahun silam di masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, lahir seorang bayi diberi nama Ahmad Syafii Maarif dari ayah bernama Ma�rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Ibu Fathiyah.

Tak berapa lama setelah kelahirannya, ibunda tercinta menghadap Sang Khalik. Selanjutnya Syafii Maarif kecil diasuh Oncu Wahid dan Etek Bainah�-adik ayahnya. Barangkali sebuah hikmah tersendiri, walaupun tanpa belaian kasih sayang sang ibu, tertanam pada Syafii Maarif sejak kecil sifat kemandirian, tegar, mempunyai tekad kuat dan kepribadian yang menakjubkan. (hal. 11)

Memang Syafii Maarif adalah seorang anak kampung, namun cita-citanya jauh menerawang ke angkasa. Dikaruniai kecerdasan jauh melampaui teman-temannya ketika duduk di Sekolah Rakyat, lalu membawa Buya Syafii Maarif keluar dari tembok kampung menuju peradaban gemerlap Yogyakarta.

Ternyata perjalanan takdir tak seindah bayangan. Tantangan dan rintangan pun datang silih berganti. Karena suatu hal, ia menunda impian untuk melanjutkan sekolah di Mu�allimin Muhammadiyah-Yogyakarta.

Tidak hanya itu, saat Syafii Maarif jauh dari keluarga, malang tak dapat ditolak seorang yang sangat berarti bagi kehidupannya kembali ke pangkuan Ilahi dan ia tidak berada di dekat ayahnya.

Tekad bulat, niat telah tertanam dan doa telah dihaturkan, musibah tersebut tidak membuat Syafii Maarif terpuruk dalam kesedihan. Bahkan, cobaan tersebut ia jadikan pelecut motivasi untuk meraih impian dan cita-cita. Hal ini tergambar dalam sebuah ungkapan dalam cerita buku ini: Bapak�awak belum pulang untuk membuat Bapak bangga! Awak masih di sini! Awak belum membanggakan Bapak! Awak sayang Bapak! Awak sayang Bapak! Bapak tahu, kan? Bapak tahu, kan? (hal. 226)

Bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa memberi keteladanan, peduli terhadap persoalan kemanusiaan tanpa batas, tulus dan ikhlas tanpa kepentingan pribadi dalam memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kebenaran. Kehadiran Buya Syafii Maarif hanya dipersembahkan untuk pengabdian kepada umat dan bangsa. Adalah sebuah kemestian bagi rakyat Indonesia-�khususnya generasi muda-�lebih mengenal dan meneladani guru bangsa kita.

Andriadi Achmad, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 April 2010

No comments: