Sunday, April 18, 2010

Tubuh, Tema, dan Benda

ROKOK difatwakan sebagai benda haram, seorang mantan buruh pabrik rokok terlunta-lunta mencari pekerjaan di kota. Hanya dengan beberapa lembar keterangan identitasnya sebagai pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), juga penghargaan sebagai juara lomba azan, tentu saja tak mudah ia mendapatkan pekerjaan itu. Kota lebih memerlukan seorang sarjana dan mereka yang memiliki keahlian. Bukan pengurus DKM yang hanya memiliki keterampilan melinting rokok. Di tengah berbagai tawaran agar ia membeli ijazah, dikenangnyalah masa kejayaan ketika rokok masih menjadi andalan hidup orang-orang seperti dirinya yang sampai bisa memiliki dua istri. Rokok yang menjadi andalan hidup sekaligus yang dihisap sambil mendengarkan pengajian.

SALAH satu adegan monolog “Kala” karya Siti Amanah dan Ratu Selvia dalam presentasi peserta Lateral School bertajuk “Final Project” yang diselenggarakan oleh Oyag Forum di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. * AHDA IMRAN

Mungkin di kota yang sama, seorang penyanyi terkenal menuturkan kisah masa lalunya yang gelap sebagai anak jalanan. Kota yang gemerlap dan popularitas diam-diam telah membuatnya merasa terasing dan merasa sendirian. Inilah yang membawanya kembali pada berbagai pengalaman di masa lalunya. Anak jalanan yang ingin sekolah dan sosok ibunya yang menjadi pelacur. Sosok yang dibencinya dan berharap pada kematiannya tetapi yang tiba-tiba muncul kembali. Seseorang memang tak bisa lari dari masa lalunya, terlebih jika ia tak pernah mau menghargainya.

Sementara itu, kisah yang lain menuturkan biografi dua perempuan di tengah dominasi para lelaki. Kala, perempuan Bali yang mengalami tekanan atas nama tradisi dan tekanan eksistensial yang dialami dalam percintaan Laila. Kekuasaan memang senantiasa aneh, menakjubkan, sekaligus menyimpan kekejamannya sendiri. Ia adalah metafora dalam tumpukan dan permainan kursi yang menyelubungi sekaligus menindih tubuh manusia.

Kekuasaan yang lain juga tak kalah menakjubkan dan bengisnya, ketika kekuasaan itu menyelubungi tubuh sebuah kota. Kuasa konsumerisme telah menjadikan kota sebagai sebuah labirin yang membingungkan. Berbagai petunjuk jalan muncul, sekaligus menunjukkan arah menuju ruang konsumerisme. Ruang yang diakui sebagai bagian dari tubuh kota.

Di bagian lain, budaya urban dan konsumerisme telah mengangkut berbagai benda dengan kehidupan sosialnya ke dalam ruang kesadaran manusia. Benda-benda adalah kehidupan sosial. Busana dan baju memiliki makna yang berbeda demi penciptaan citra kehadiraan seseorang. Memilih baju dan berdandan adalah memilih sesuatu yang lebih dari sekadar bagaimana agar benda itu berfungsi pada tubuh.

Inilah yang dipresentasikan oleh sejumlah siswa Lateral School Oyag Forum di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010 dalam tajuk "Final Project". Sebuah projek akhir dari workshop yang berlangsung sejak Januari lalu. Projek akhir ini tampil dalam bentuk monolog tunggal atau berdua (duo), juga pembacaan cerpen, dan karya instalasi. Kecuali mungkin Karensa Dewantoro, para siswa itu umumnya merupakan wajah-wajah baru, dari mulai Jejen Jaelani dan Valerie Putti K., Zidni A.R., Ernawati Widyaningrum, Kamaludin, Fitri Dwidian N., Ary Syakir Gifari, Silviarani Mutia, Herman Ananda, Ratu Selvi Agnesia, dan Siti Amanah.
**

MENGUBAH benda tidak sekadar sebuah pelengkap (properti), tetapi menciptakannya menjadi metafora untuk mengartikulasikan gagasan arstistik dan kesadaran. Inilah yang tampaknya "kewajiban pokok" para siswa dalam mempresentasikan karya mereka dalam projek akhir ini. Dengan kata lain, kewajiban ini menekan pada upaya menghadirkan pendalaman tematik lewat benda. Benda-benda itu dibongkar dan ditautkan pemaknaannya dengan sudut kesadaran dan gagasan yang termaktub dalam tema.

Kewajiban semacam ini jelas membawa para siswa untuk mencari dan menemukan narasi-narasi yang ada di balik sebuah benda, baik sebagai simbol atau yang kemudian diolah menjadi metafora.

Kursi, bantal, baju, sepatu, rokok, kurungan ayam, dan anyaman bambu tempat sampah, celengan keramik, kardus, hingga berbagai efek citraan visual yang ditembakkan lewat in-focus. Benda-benda dihadirkan untuk mengusung kisah dan biografi manusia di tengah berbagai fenomena sosialnya. Lepas dari soal bagaimana seluruh benda itu akhirnya memberi makna yang "segar" sebagai sebuah bentuk dari tindakan mengartikulasikan gagasan artistik, yang tampaknya masih terlalu pagi untuk nyinyir memperkarakannya, apa yang dipresentasikan siswa Lateral School angkatan pertama ini tampaknya lebih mengonsentrasikan dirinya pada tema.

Dari enam karya yang dipresentasikan tema sosial-politik (kekuasaan) muncul lewat duo monolog Zidni A.R. dan Karensa Dewantoro dalam "Kursi Gila" yang mencoba mengolah simbolisasi kursi dalam fenomena kekuasaan. Sedangkan ihwal kehidupan urban terasa benar dalam cerpen pertunjukan "Umar Khayal" Ernawati Widyaningrum yang menggunakan efek citraan visual. Dampak sosial dari fatwa haram rokok diangkat Ary Syakir Ghifari dalam monolog "Wanted". Fenomena perempuan dan keadilan gender di tengah masyarakat tradisi diusung oleh Ratu Selvi Agnesia dan Siti Amanah lewat duo monolog "Kala", dengan metafora kurungan ayam dan tempat sampah.

Meski masih dengan tema yang sama, lewat duo monolog "Laila BUKAN Majnun", Silvianirani Mutia dan Herman Ananda menghadirkan bantal sebagai representasi dari situasi psikologis seorang perempuan. Sedangkan Kamaludin dan Fitri Dwian N., dengan sepatu dan seperangkat pakaian, menghadirkan kesadaran ihwal hubungan manusia dan kehidupan sosial benda-benda dalam "Mengusung Tubuh".

Tema yang diusung tampaknya mengambil sudut permasalahan yang terasa aktual di negeri ini. Dari mulai budaya urban, selebritas, kemiskinan, pengangguran, hubungan agama dan realitas sosial, keadilan gender, dan kekuasaan. Lepas dari sejauah mana eksplorasi tematik yang dilakukan, pilihan tema semacam ini menjadi menarik. Paling tidak, motivasi pada pilihan tema ini membayangkan bagaimana para siswa itu memandang kerja seni dalam hubungannya dengan realitas sosial, serta bagaimana keseluruhannya itu ditemukan dalam di balik benda-benda.
**

MELEKATKAN tubuh dengan benda tampaknya menjadi strategi para siswa untuk menjadikan benda itu sebagai metafora. Kesatuan tubuh dan benda sebagai metafora inilah yang bermuara pada imaji. Sebenarnya inilah yang sudah terasa sejak memasuki ruang pertunjukan, ketika penonton langsung disambut oleh instalasi "Kisah Kota yang Luka" karya Jejen Jaelani dan Valeri Putti K. Instalasi yang terbuat dari labirin dibungkus kertas koran ini langsung membawa tubuh penonton memasuki labirin sebuah kota yang berbelit-belit, dikepung oleh berbagai penunjuk jalan yang mengarah pada ruang-ruang konsumerisme.

Demikian pula tubuh yang berinteraksi dengan kursi dalam "Kursi Gila" karya Karensa Dewantoro dan Zidni A.R. Tubuh di situ mencoba bersatu dengan kursi yang menjadi subjek. Atau pula baju dan sepatu yang ditampilkan oleh Kamaludin dan Fitri D.N dalam "Bungkus Tubuh". Keduanya seakan mempertanyakan hubungan pemaknaan antara tubuh dan pakaian, baik di ranah domestik maupun publik, yang berkorelasi dengan hasrat menciptakan citraan diri.

Sedangkan lewat "Kala", Siti Amanah dan Selvi Ratu Agnesia melekatkan tubuh dan benda untuk menggugat dunia patriakat dalam tradisi masyarakat Bali. Metafora tubuh dan benda di situ menjadi imaji-imaji yang membayangkan ketertindasan perempuan. Misalnya, ketika Selvi Ratu Agnesia masuk ke dalam keranjang sampah untuk menceritakan perkawinan paksanya, atau juga ketika ia masuk ke dalam kurungan ayam untuk merepresentasikan bagaimana nasib perempuan tidak lebih baik dari nasib ayam aduan.

"Ini merupakan langkah awal Oyag Forum dalam upaya melahirkan kaki-kaki baru bagi generasi kesenian ke depan, " ujar Benny Yohanes penggagas Oyag Forum tentang siswa angkatan pertama ini.

Lateral School, menurut dia, merupakan perwujudan dari gagasan menciptakan sebuah bentuk sekolah publik yang bisa memberi ruang pada berbagai kerangka pemikiran. Konsep dalam projek akhir ini adalah bagaimana mengolah benda bukan sekadar properti panggung.

Sementara itu, di mata sutradara teater Yusep Muldiyana, meski secara teknis masih terdapat sejumlah persoalan, tetapi apa yang dipresentasikan para siswa Lateral School angkatan pertama ini menjanjikan sesuatu bagi generasi dan masa depan teater serta kesenian. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung Sumiyadi mengapresiasi projek akhir ini sebagai event yang menawarkan pengalaman artistik tak hanya bagi pemain, tetapi juga penonton. Sementara Aat Suratin lebih memandang projek akhir para siswa Lateral School sebagai langkah awal sebuah generasi untuk melakoni spririt penciptaan demi memuliakan pemikiran. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

No comments: