-- Jaya Suprana*
SAYA tak percaya ramalan tentang masa depan akibat terlalu yakin, hanya Yang Maha Tahu yang tahu mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Maka, saya tidak pernah percaya Ramalan Jayabaya.
Meski keyakinan saya tidak tergoyahkan, tetapi segenap malapetaka yang bertubi-tubi menimpa negara dan bangsa Indonesia memilukan sanubari saya sehingga saya mulai tergerak untuk merenungi apa yang disebut sebagai Ramalan Jayabaya. Menurut kesepakatan para ilmuwan sejarah, Jayabaya adalah raja Kediri pada masa 1135-1157 yang bernama lengkap Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Kejayaan Jayabaya sebagai raja tersurat pada bait-bait awal Kitab Musasar gubahan Sunan Giri Prapen.
Penggagas tulisan dan rangkuman ramalan Jayabaya ke dalam kitab Jangka Jayabaya adalah Pangeran Kadilangu II pada lingkup masa tahun 1741-1743. Pangeran Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang berhasil meyakinkan Brawijaya V untuk masuk Islam setelah pertemuan segi empat bersama dua penasihat kerajaan Majapahit: Sabda Palon dan Nayagenggong.
Di samping Jangka Jayabaya, pangeran yang di masa Sri Paku Buwana II juga Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura juga menulis berbagai buku penting mengenai kebudayaan Nusantara, seperti Babad Padjadjaran, Babad Madjapahit, Babad Demak, Babad Padjang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dan lain-lain. Tampaknya memang banyak penggemar ramalan terbukti popularitas Ramalan Jayabaya di khazanah kebudayaan Jawa setara Ramalan Nostradamus di kebudayaan Barat. Akibat terlalu populer, kitab Jangka Jayabaya kemudian berkembang ke permukaan kesadaran umum dan awam dalam beraneka ragam bentuk versi berdasar beraneka ragam tafsir, selera, dan kehendak hingga tidak jelas lagi tentang mana yang otentik mana yang tidak.
Renungan
Menarik, bagaimana rangkaian petilan salah satu versi Ramalan Jayabaya dalam bentuk syair berbahasa Jawa ternyata memiliki kandungan makna visioner selaras dan sesuai dengan berbagai prahara etika, moral, dan akhlak yang sedang melanda negara dan bangsa Indonesia di masa 853 tahun setelah wafatnya Jayabaya:
pancen wolak-waliking jaman, amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan /sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni/ wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi/sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger/wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebab
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe/manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat- angkat /barang suci dibenci
sing edan padha bisa dandan/ sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong
sungguh zaman gonjang-ganjing, menyaksikan zaman gila tidak ikut gila tidak dapat bagian /yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu/para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa/masih lebih beruntung yang ingat dan waspada
orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil yang tidak dapat mencuri dibenci /yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik / orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya / pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab
banyak orang berjanji diingkari / banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu / tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja / barang suci dibenci
yang gila dapat berdandan
yang membangkang bisa punya rumah-gedung mewah-megah
Tanpa memubazirkan energi untuk terlibat polemik perdebatan tentang klenik atau bukan, sebenarnya ramalan an sich sangat mandraguna untuk didayagunakan sebagai pedoman akhlak dan budi-pekerti. Percaya atau tidak atas ramalan pada hakikatnya kurang penting sebab yang lebih penting adalah menyadari hakikat ramalan siap dimanfaatkan secara kelirumologis sebagai telaah kekeliruan demi mencari kebenaran.
Ramalan Jayabaya layak difaedahkan sebagai bahan renungan lebih mendalam, meluas, dan meninggi oleh bangsa Indonesia demi mawas-diri mendiagnosa kekeliruan. Hasil diagnosa sahih dimanfaatkan untuk menatalaksana upaya membenahi apa saja yang keliru pada das sein sikap dan perilaku peradaban dan kebudayaan bangsa Indonesia di masa kini demi das sollen membentuk masa depan yang lebih baik.
* Jaya Suprana, Budayawan
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 April 2010
No comments:
Post a Comment