-- Ilham Khoiri
ADA 10 seniman berdiri berjajar. Satu orang dari Indonesia dan sembilan lagi dari St Louis, Missouri, Amerika Serikat. Mereka menghadapi 10 kanvas kosong yang dipasang pada dinding.
Dengan satu aba-aba, mereka serentak mulai melukisi kanvas kosong di depannya. Lima menit, mereka bergeser ke kanvas lain di sebelahnya. Lima menit kemudian, mereka berpindah lagi ke kanvas lain. Begitu seterusnya.
Sekitar setengah jam, kesepuluh kanvas itu sudah penuh dengan berbagai gambar spontan. Awalnya setiap lukisan tampak aneh, bahkan acak-acakan, karena dihajar berbagai goresan, warna, atau bentuk berlainan dari 10 pelukis. Namun, setelah terus dipoles-poles, akhirnya setiap pelukis berproses menemukan estetikanya sendiri.
Aksi melukis bersama itu menandai pembukaan pameran ”The US and Indonesian Artist Abroad Exhibition” di Art-Dimensions Gallery di St Louis, pertengahan Maret lalu. Pelukis dari Indonesia diwakili Cubung Wasono Putro, salah satu pentolan seniman dari Pasar Seni Ancol yang kerap memenangi kompetisi seni rupa di Tanah Air. Adapun sembilan pelukis dari Amerika Serikat (AS) terdiri dari Evelyn Astegno Yocom, Craig Downs, Angela Ament, Amy van Donsel, Dan Jaboor, Sophia Dalpiaz-Borwn, Danierl Gaeng, Cindy Royal, dan Jen Hayes.
Para seniman AS itu adalah anggota kelompok St Louis Guild, semacam komunitas yang sejak lama menghidupkan kegiatan seni di kota St Louis. Mereka juga aktif dalam banyak kegiatan di Art-Dimensions Gallery di Jalan Cherokee itu, seperti musik, seni rupa, kuliner, dan sosial.
Selain menampilkan Cubung yang datang ke AS pada malam pembukaan itu, ada juga tiga seniman dari Pasar Seni Ancol yang ikut mengirimkan karya, yaitu Ampun Sutrisno, Heri Purnomo, dan Surpiadi. Lukisan mereka dipajang di Art-Dimensions Gallery yang cukup besar.
Beberapa hari sebelumnya digelar juga pameran seniman Indonesia bertajuk ”Cultural Bridge 2011” di Wendt Gallery, New York. Puluhan karya dari 13 perupa pemenang kompetisi ”Jakarta Art Award” sejak tahun 2006 sampai 2010 ditampilkan. Cubung juga datang ke New York dan memasang instalasi semut yang membentuk bendera AS-Indonesia.
Kedua pameran itu diselenggarakan PT Pembangunan Jaya Ancol, lembaga yang beberapa tahun belakangan meramaikan seni rupa di Tanah Air lewat pameran-pameran di North Art Space (NAS). Sejumlah seniman dari St Louis juga akan dijadwalkan ambil bagian dalam ”Jambore Seni Rupa” di Pasar Seni Ancol, September nanti.
Menyandingkan
Apa menariknya pameran Indonesia-AS seperti di St Louis dan New York itu? Tentu saja, dua kegiatan itu menarik karena mempertemukan perkembangan seni rupa dari dua negara berbeda. Itu berarti menyandingkan dua budaya berlainan dalam satu ruang bersama.
Pameran Art-Dimensions Gallery, misalnya, memperlihatkan wajah budaya Indonesia. Lihat saja lukisan-lukisan Cubung yang banyak menyodorkan pergumulan manusia urban di Jakarta. Dengan mengukuhi teknik surealis-figuratif khasnya, dia mengulik dilema manusia yang lebih suntuk bergulat dengan dirinya sendiri.
”Ini gambaran orang-orang yang kebingungan,” kata Cubung sambil menunjuk lukisan orang-orang yang melayang di antara kotak-kotak virtual bak dunia mimpi. Agaknya gambaran itu lekat dengan kehidupan manusia urban di negara berkembang yang penuh paradoks seperti Jakarta.
Adapun sebagian seniman AS lebih fokus bereksperimen dengan berbagai kemungkinan pengembangan medium. Obyek karyanya mungkin masih berkelindan dengan hal-hal biasa di sekitarnya, tetapi dikerjakan dengan pendekatan media tak biasa. Mereka masih terobsesi untuk membuka jalan baru seni rupa.
Dan Jaboor, contohnya, adalah seniman serbabisa yang bekerja dengan lukisan, fotografi, benda temuan, patung, atau instalasi. Dia berjibaku dengan semua itu secara leluasa tanpa dibatasi gaya, teknik, pendekatan, atau tema. Bagi dia, kesenian adalah percobaan.
Dia pernah membuat serangkaian foto dari kamera tua yang memang sudah rusak. Tentu saja hasil jepretannya tak sempurna, gosong-gosong, atau warnanya kabur. Namun, kekacauan tidak terduga itulah yang hendak dia kejar.
”Saya suka mencoba-coba terus,” kata lelaki pendiam itu. Semangat percobaan tanpa beban itu agaknya juga mencerminkan spirit budaya masyarakat AS yang suka ”menjelajah” dunia.
Dari persandingan dua budaya semacam itu, setiap seniman bisa belajar lebih banyak. Proses ini berlangsung lebih cair karena diungkapkan lewat bahasa seni visual yang lebih universal. Tak terasa ada beban perbedaan politik, agama, atau latar belakang lain.
Lebih dari itu, dua pameran seniman Indonesia di AS itu juga penting karena semakin menguatkan jaringan internasional. Terlebih bagi seniman Tanah Air, ajang semacam itu bisa memperluas wawasan dan pergaulan global. Ini bisa memperkuat keberadaan seni rupa kita dalam percaturan seni rupa dunia.
Sumber: Kompas, Minggu, 3 April 2011
No comments:
Post a Comment