-- Erwin Edhi Prasetya dan St Sularto
MESKI hari sudah beranjak sore, pasar Agats masih hiruk-pikuk. Beberapa warga baru saja datang menawarkan hasil tangkapan ikan yang tampak segar. Penjual sayur dan buah-buahan masih menggelar dagangan. Pedagang bukan asli Asmat—mudah dibedakan dari rambut dan warna kulit—menempati kios-kios. Yang asli menggelar dagangan di emperan kios atau di pinggir jalan—deretan papan kayu tersusun menyerupai jalan selebar dua meter—yang kalau dilewati terdengar berderak-derak.
Pemandangan sore itu sudah berulang dari hari ke hari. Pasar yang berada di dekat Pelabuhan Agats ini—lokasinya semakin menjorok ke dalam karena abrasi—merupakan urat nadi ekonomi masyarakat Agats. Seperti pasar-pasar pada umumnya, pedagang menggelar aneka dagangan di atas lapak dan selasar yang sempit. Ada kios kelontong, kios pakaian, toko elektronik, toko telepon seluler dan pulsa, warung makan, dan penjual sayuran. Di Jalan Yos Sudarso dan Bhayangkara di dekat pasar berderet toko, bahkan ada salon kecantikan Mega Jawa.
Ironisnya, jarang ditemukan orang asli Asmat sebagai pemilik toko atau kios di sentra perekonomian itu. Orang Asmat yang berjualan bisa dihitung dengan jari tangan. Itu pun mereka hanya berjualan kecil-kecilan, seperti sayuran, pisang, pinang, dan hasil tangkapan ikan. Lebih sedikit lagi menemukan orang Asmat bekerja sebagai penjaga toko. Kebanyakan toko kelontong, warung makan, apotek, dan toko baju dimiliki pendatang. Warga Bugis Makassar dominan di sektor perdagangan.
Fenomena terpinggirnya orang-orang asli Papua di sektor perdagangan dan jasa bukan hanya terjadi di Asmat. Kondisi serupa juga terjadi di kabupaten dan kota lain di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti di Merauke, Abepura, Timika, Manokwari, dan Jayapura. Di kawasan sentra-sentra ekonomi, para pendatang menjadi aktor utama.
Di Merauke, misalnya, toko swalayan yang berderet di jalan utama Mandala banyak dimiliki warga Tionghoa. Pendatang dari Jawa dan Padang bergerak di bidang warung makan. Pendatang dari Bugis Makassar selain banyak bergerak di sektor perikanan, juga berdagang di pasar. Rental-rental mobil juga banyak diusahakan orang-orang Jawa. Lebih ironis lagi, langka ada orang suku Marind, yang merupakan penduduk asli Merauke bekerja sebagai pelayan di tempat-tempat usaha tersebut.
Beberapa penduduk asli biasanya hanya berjualan pinang. Hal yang sama di Jayapura, penduduk asli hanya berjualan kecil-kecilan, misalnya bensin eceran dan pinang, di trotoar, dan hasil bumi di selasar pasar.
Tak tahu standar harga
Saat orang-orang pedalaman Asmat datang sesekali ke Agats untuk menjual hasil alam atau ikan, mereka pun tidak mengetahui standar harga pasar. Terpaksa mereka melepas barang-barangnya dengan harga murah kepada pedagang pasar. Misalnya, satu tandan pisang kepok ukuran besar dibeli pedagang seharga Rp 60.000, kemudian dijual lagi degan harga jauh lebih tinggi. Udang kelas vanane dijual Rp 20.000 per kilogram, ikan juga dijual murah karena melimpahnya tangkapan, misalnya satu ikat ikan kuru sedang berisi 6-7 ekor dijual Rp 20.000, bahkan kalau tak segera laku dengan cepat diturunkan menjadi Rp 10.000, dan kalau tidak laku mereka buang. Pemkab Asmat tegas melindungi nelayan tradisional dengan melarang nelayan daerah lain menangkap di wilayah Asmat sehingga tangkapan cukup banyak.
Melihat kondisi yang merugikan warga Asmat, Keuskupan Agats berupaya agar mereka bisa menjual hasil bumi dengan harga wajar. Didirikanlah sebuah kios yang dikelola bekerja sama dengan seorang pengusaha pendatang untuk mendampingi dan menciptakan peluang pasar baru bagi orang-orang Asmat. Kios yang diberi nama Maju Bersama ini menampung dagangan warga. Kini, kios ini jadi salah satu tumpuan warga menjual apa saja, dari hasil bumi sampai patung dan ukiran. Kios ini diharapkan menjadi pemacu transaksi yang lebih adil untuk warga. Sekaligus mengurangi dominasi pendatang.
”Kami sekarang sampai kewalahan menampung hasil bumi warga. Kadang mereka datang membawa pisang banyak sekali, satu long boat penuh pisang. Untungnya, sekarang semakin banyak warga Agats yang membeli di sini sehingga uang bisa berputar terus,” ujar Ayun, pengelola kios Maju Bersama.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito menuturkan, warga Asmat belum pandai hitung- menghitung. Mereka gampang menderita kerugian. Contohnya, seorang warga ingin menjual ayam jantan seharga Rp 100.000. Ketika pembeli menawar Rp 50.000, justru ayam itu diberikan seharga Rp 40.000. Contoh lain, sebuah ukiran ditawarkan Rp 500.000, ketika ditawar Rp 200.000 langsung diberikan. ”Mereka tidak bisa menentukan harga,” ungkapnya.
Untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, ujar Aloysius, harus dihidupkan transaksi-transaksi yang adil sehingga warga mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan. Keuskupan Agats pun mengembangkan Credit Union (CU) untuk modal usaha warga Asmat. Nasabah CU berkembang mencapai 780 orang. Namun, upaya itu tidak selalu mulus. Sebanyak 180 nasabah pinjamannya diputihkan akibat kredit macet. ”Dari hitungan kami sebenarnya mereka mampu mengembalikan. Mereka belum mampu mengelola keuangan,” ujarnya.
Potensi perekonomian Asmat sebenarya besar, misalnya perikanan dan pariwisata. Akan tetapi, potensi yang dimiliki belum digarap dengan baik. Padahal, apabila dikembangkan serius akan menjadi motor yang menggerakkan perekonomian rakyat. Dari kedua sektor itu bisa dibuka usaha mikro kecil, seperti kios cendera mata, restoran, dan usaha perhotelan. ”Bisa dikembangkan paket-paket wisata alam dan budaya. Bisa saja buka paket perjalanan wisata Jayapura-Wamena-Asmat. Asmat ini menarik karena memiliki keunikan yang tidak ada di tempat lain,” ujarnya.
Bupati Asmat Yuvensius A Biakai mengakui Asmat tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain, terutama dibandingkan dengan Papua bagian utara. Ia menuding Pemerintah Provinsi Papua kurang memerhatikan wilayah Selatan Papua sehingga kabupaten harus bekerja sendirian. Karena itu, pihaknya mendorong segera dilakukan pemekaran wilayah selatan jadi Provinsi Papua Selatan untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah Selatan. Jika perekonomian wilayah selatan maju, Asmat juga maju. ”Pemekaran Provinsi Papua Selatan itu adalah kebutuhan,” ujarnya.
Yuvensius menarik kondisi kontras Papua bagian utara dengan Papua Selatan sebagai metafor negara-negara Utara dan negara-negara Selatan. Yang tergolong negara-negara Utara itu umumnya kaya dan makmur, sedangkan negara-negara Selatan itu dikelompokkan negara miskin atau negara berkembang. Demi keseimbangan, kearifan lokal yang dikembangkan di Papua, sewajarnya bagian Utara membantu bagian Selatan.
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment