-- Anton M Moeliono
ADA perbedaan yang jelas antara proses penyerapan kosakata asing zaman dulu dari yang sekarang. Dahulu penyerapan didasarkan pada pendengaran dan hasilnya ditulis dengan huruf yang dianggap paling dekat dengan bunyi vokal atau konsonan Indonesia. Misalnya, chaffeur (Belanda) menjadi sopir, winkel menjadi bengkel, dan luitenant menjadi letnan.
Menurut penelitian mahasiswa saya, bentuk serapan dari bahasa Belanda hingga awal Perang Dunia Kedua berjumlah kira-kira 4.000 butir. Di samping itu selama berabad-abad berlangsung penyerapan antara lain dari bahasa Sanskerta, Arab, Cina, Portugis, Tamil, dan Persia. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dewasa ini paling banyak menyerap kosakata dari bahasa Inggris ragam Amerika, Britania, dan Australia.
Karena bangsa Indonesia sedang memasuki peradaban beraksara dan teknologi informasi, warga masyarakat bangsa Indonesia—di mana pun tinggalnya—diharapkan memakai unsur kosakata serapan dengan bentuk tulisnya sama dan seragam, sedangkan lafalnya dapat berbeda menurut suku etnis dan bahasa daerah yang masih dipakainya.
Ambillah kata Belanda dan Inggris bus, yang di Medan lafalnya mungkin mirip dengan atau , tetapi di Bandung lafalnya menjurus ke seperti kata beureum 'merah', dan di Yogya condong ke sebab orang ngebis. Akhir-akhir ini diperkenalkan bentuk busway, dan yang suku awalnya dilafalkan secara Inggris: . Demi keseragaman, yang menjadi ciri pembakuan, kita menetapkan ejaannya jadi bus.
Sejak 1972 dipakai pedoman berikut. Proses penyerapan bertolak dari bentuk tulisan tak lagi dari lafal ungkapan asing. Ejaan kata Inggris management diubah menjadi manajemen yang lafalnya oleh orang Yogya berbeda dari orang Padang. Namun, ejaan atau bentuk tulisannya sama. Namun, karena kita tidak merasa wajib mematuhi kaidah dan aturan, kecuali jika ada sanksi, atau denda, kata basement belum diserap menjadi basemen (ba-se-men) walaupun sudah ada aransemen, klasemen, dan konsumen. Kata basement dapat diterjemahkan jadi ruang bawah tanah dengan akronimnya rubanah.
Sikap taat asas juga perlu diterapkan pada unsur serapan yang berasal dari bahasa daerah Nusantara. Ungkapan kumpul kebo kita nasionalkan menjadi kumpul kerbau karena yang berkumpul serumah itu bukan kerbau-kerbau Jawa saja. Selanjutnya orang yang membangkang atau menentang perintah tidak mbalelo, tetapi membalela. Orang yang tidak berprasangka bahwa daya ungkap bahasa Indonesia masih rendah akan menemukan kata membalela di dalam kamus Poerwadarminta yang terbit pada tahun 1952.
Begitu pula ada kata merisak 'menakuti atau menyakiti orang yang lebih lemah' untuk memadankan to bully dan bullying, serta kata berlépak 'menghabiskan waktu dengan duduk-duduk tanpa melaksanakan sesuatu yang bermanfaat' untuk mengungkapkan budaya remaja to hang out.
Kita tidak mengenal kosakata Indonesia karena, menurut laporan terakhir, 50 persen dari sekolah dasar dan 35 persen dari sekolah lanjutan pertama pemerintah tidak memiliki koleksi pustaka, dan kamus tidak disertakan berperan dalam proses belajar-mengajar bahasa.
Anton M Moeliono, Pereksa Bahasa, Guru Besar Emeritus UI
Sumber: Kompas, Jumat, 29 April 2011
No comments:
Post a Comment