-- Wasisto Raharjo Jati
PEMBANGUNAN yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berakibat pada terabaikannya hak-hak masyarakat.
Hak ulayat adat atau kearifan lokal, misalnya, makin tereduksi akibat laju mesin pembangunan yang tak afirmatif. Beberapa proyek pembangunan di Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh. Pembangunan jalan trans-Kalimantan yang menghubungkan sejumlah kota besar di pulau itu telah menimbulkan resistensi masyarakat Dayak pedalaman. Masyarakat Dayak menilai pembangunan jalan itu akan mengubah perilaku warga dari budaya bersampan di sungai menjadi berkendaraan di jalan. Identitas suku Dayak yang selama ini terbangun atas basis sungai dikhawatirkan akan tereduksi dengan kehadiran jalan itu.
Contoh lain adalah pembangunan kawasan pertanian terpadu di Merauke. Di satu sisi hasil kebijakan itu akan bermanfaat bagi segelintir orang. Di sisi lain efek sosial politik yang ditimbulkannya berisiko sangat besar. Alih fungsi lahan di sana akan memperuncing perang suku karena masing-masing merasa hak ulayat atas tanah yang dijadikan kawasan pertanian terpadu itu diambil sepihak oleh pemerintah demi kesuksesan program itu.
Selama ini pemerintah masih berpandangan kearifan lokal tidak penting untuk dibahas dalam penyelenggaraan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di ranah daerah. Bagi pemerintah, tindakan afirmatif pemenuhan hak masyarakat terkait proyek pembangunan adalah memberi uang ganti rugi atau ongkos lain sebagai bentuk kompensasi. Dengan mekanisme itu, pemerintah secara implisit sedang mengakuisisi ”budaya uang” ke dalam kearifan lokal masyarakat. Yang terjadi kemudian, masyarakat mengalami gegar budaya.
Itulah yang terjadi pada kasus suku Amungmue di Papua yang wilayah adatnya dikuasai PT Freeport. Mereka meninggalkan hidup tradisional mereka dengan hidup modern yang justru tak diatur dalam peraturan adat. Begitulah pemujaan pemerintah terhadap target angka pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi. Angka pertumbuhan tinggi berarti pembangunan berhasil. Tak peduli manusia dan hak adat lenyap. Sumber daya alam kemudian menjelma jadi sektor penting untuk mendatangkan investor dalam pembangunan.
Investor datang membawa pundi-pundi, menginvestasikan, serta memberi berkah, kebaikan, dan pendapatan. Pemerintah meyakininya sebagai solusi tepat dalam redistribusi ekonomi kepada masyarakat. Lingkungan porak poranda, hutan beralih fungsi, tatanan sosial dan budaya rusak, kearifan lokal kian tereduksi. Tak pernah ini dihitung dalam pembangunan. Benda dan uang menjelma jadi ”tuhan” baru yang diyakini bisa menentukan dan membeli apa pun.
Dapat dikatakan selama ini orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah merupakan sebentuk arogansi karena pembangunan yang dijalankan justru lebih banyak bersisi negatif daripada bersisi positif. Karena ketidakharmonisan antara pembangunan dan kearifan lokal, tak jarang terpicu konflik komunal di semua daerah yang pembangunannya berkaitan dengan alih fungsi lahan. Sampai 2006 terdapat 140 kasus yang melibatkan 353 komunitas di wilayah pembangunan yang melibatkan sesama masyarakat lokal atau dengan pendatang: pendatang kurang mengerti rambu adat dalam masyarakat lokal. Sekitar 70 persen dari 500 kasus perselisihan pembangunan antara sektor swasta dan warga lokal selalu bersumber dari sengketa tanah. Di Kalimantan Tengah, sekitar 20 kasus sengketa dilaporkan (Budi Kurniawan, 2009).
Sejak awal
Konflik dipicu oleh kesalahan sejak awal: proses mendapatkan izin pembangunan tak melibatkan warga lokal. Terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Ketika persoalan terjadi, para penegak hukum menafikan hukum adat. Mereka memilih menegakkan hukum positif, padahal hukum adat ada jauh sebelum republik ini berdiri. Itu sebabnya, pemerintah sering disebut membangun tanpa karakter yang jelas. Karakter dimaksud adalah selama ini pembangunan cenderung menstigmakan simbol-simbol kearifan lokal yang tumbuh turun-temurun di masyarakat.
Pembangunan di Indonesia berjalan parsial antara Jawa dan luar Jawa karena ketiadaan konsensus bersama akan model pembangunan yang diambil dari nilai dan norma budaya masyarakat. Pembangunan di Jawa sendiri lebih bersuasana metropolis dibandingkan dengan luar Jawa yang masih agraris. Timbullah kecemburuan pembangunan karena di dalamnya tak jelas berlaku kearifan lokal. Jadi, pemerintah perlu mengakomodasi kearifan lokal dan suara masyarakat untuk merumuskan model pembangunan yang tepat bagi Indonesia. Selama ini pembangunan yang dilakukan selalu sepihak. Harapan kita kemudian adalah Indonesia memiliki karakter pembangunan yang diambil dari nilai lokal kemasyarakatannya.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti di Warjati Development Syndicate Fisipol UGM
Sumber: Kompas, Rabu, 20 April 2011
No comments:
Post a Comment