Sunday, April 24, 2011

[Kehidupan] Menimbang Kembali

MATERI, kekayaan, dan kemapanan nyatanya tidak selalu memberikan ketenangan hidup. Misteri spiritualisme yang ”menyembuhkan” dan melapangkan diri dari sesaknya kehidupan materialistis menjadi magnet. Sebagian pelakunya banting setir menapaki jalan hidup ”yang lain” itu.

Guru Yoga, Yuniar (depan,kanan), memeragakan gerakan-gerakan Iyengar kepada peserta yoga di Studio Iyengar Yoga di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, Kamis (21/4). Dalam dua tahun terakhir ini yoga semakin banyak diminati masyarakat karena manfaatnya, yang antara lain dapat memperkuat stamina, dan memperbaiki postur tubuh. (Kompas/Totok Wijayanto)

Kecelakaan yang dialami Mony Suriany (35) pada tahun 2003 menggenapi kepahitan hidupnya. Di negeri Paman Sam, peraih gelar MBA dari Indiana University, Amerika Serikat, itu bekerja di salah satu kelompok perusahaan transnasional terbesar di dunia.

Sebagai analis keuangan perusahaan raksasa, Mony memiliki gaji besar, hidup serba berkecukupan, dan bisa melakukan apa saja yang diinginkannya. Namun, gilasan mesin dunia kerja mengasingkan Mony dari kehidupan pribadinya hingga ia justru merasa berada dalam titik terendah kehidupannya.

”Pada Januari 2003, saya ditabrak taksi di Chicago. Tulang bahu saya retak sehingga tidak bisa digerakkan,” kata Mony.

Cedera parah itu membuat Mony bertemu Bikram Yoga, aliran yoga yang berlatih dalam ruangan bersuhu 42 derajat celsius. Cederanya membaik, bahkan tujuh bulan kemudian ia memenangkan pertandingan asana di seluruh Amerika Serikat.

”Saat saya ada di titik terendah putaran hidup saya, yoga mengembalikan hidup saya. Yoga harus menjadi jalan hidup saya,” ujar Mony. Desember 2003, ia keluar dari pekerjaannya sebagai auditor keuangan, melepas gaji besar dan kemapanan hidupnya demi berlatih menjadi guru yoga.

Penemu aliran spiritual Q-rak, Rony Irianto (36), pun meneruskan jalan hidupnya sebagai penyembuh. Awalnya, Rony mempelajari metode penyembuhan dengan sistem energi natural karena kelainan tiroid yang diidapnya sejak kecil.

Penemuan Q-rak (quark, reiki, atomic-kundalini) lahir dari perjalanan panjang Rony mempelajari aliran spiritual reiki tummo, reiki kundalini, dan reiki usui selama bertahun-tahun. Metode kesembuhan lewat Q-rak tergolong ringkas, hanya dengan sekali pelatihan setiap orang bisa menyembuhkan diri sendiri tanpa banyak waktu tersita.

”Saya menemukan manfaat dari Q-rak, dan ingin membagi manfaat itu bagi orang lain. Karena saya terus mencari teknik penyembuhan baru, saya tidak bekerja untuk hal lainnya. Tentu saja orang yang belajar Q-rak tidak perlu berhenti bekerja meski sebagian master Q-rak juga meninggalkan pekerjaan lama mereka,” kata Rony.

Cedera

Cedera jugalah yang mengantar peraih medali emas aerobik sport PON 2000 Jawa Timur, Dedy Suhendar (38), ke jalan yoga. Ia telah menjajal fisioterapi demi menyembuhkan cedera dua lutut dan bahu kanannya, tapi cedera itu selalu kambuh.

Saat menjajal Iyengar Yoga, Dedy berjodoh dan nyeri cederanya perlahan pergi. ”Pengalaman mencari kesembuhan dengan yoga membuat saya tersadar bahwa bukan aliran yoga yang menentukan keberhasilan seseorang sembuh dari cedera. Namun, kualitas pengajar yogalah yang menentukan. Ketika saya ditawari belajar menjadi guru yoga, saya pun menerima,” kata Dedy.

Bagi Ratih Kirana (40), menekuni jalan sebagai penyembuh dengan hipnosis tidak harus menghentikan aktivitasnya sebagai pegawai negeri bidang perpajakan. Namun, pertemuannya dengan hipnosis boleh dikata seperti ”perjodohan”. Jika orang banyak menyangka ilmu hipnosis sama dengan gendam atau hal-hal yang berbau magis, Ratih bisa meradang. ”Hipnosis itu selalu berkaitan dengan motivasi-motivasi positif, terutama penyembuhan kasus-kasus psikomatis,” katanya.

Itulah sebabnya ia ”menyerahkan” diri sepenuhnya untuk mempelajari hipnosis secara serius dari Adi W Gunawan. ”Sampai akhirnya saya memutuskan sebagai terapis,” kata Ratih.

Mau tak mau aktivitas spiritual yang sejak dua tahun terakhir menjadi tren di kota seperti Jakarta ini memancing sebagian orang untuk menimbang tujuan hidup mereka. Tidak saja dalam pengertian mendapatkan ”kesadaran” baru untuk menyeimbangkan hidup jasmani dan spiritual, tetapi juga ”memenuhi” panggilan sebagai penyembuh. Sebagian orang meninggalkan pekerjaan asalnya, yang sudah berada pada zona nyaman, kemudian beralih menjadi penyembuh di jalur spiritual.

Ketekunan Mony melakoni perannya menjadi guru yoga di berbagai belahan dunia membuatnya bisa membuka studio Bikram Yoga di Jakarta dan Bali. Sudah tentu studio itu mendatangkan uang, tapi Mony mengaku kepuasan tertingginya adalah berbagi jalan yoga.

”Saya memulainya dari keadaan sulit, dan hari ini saya mendapat lebih daripada yang saya harapkan. Saya seperti meraih sebuah pencapaian dalam hidup saya. Saya berbagi, membantu banyak orang dengan berbagai persoalan mereka,” kata Mony.

Hal sama berlaku buat Ratih. Ia merasa sangat bahagia apabila banyak orang yang bisa mendapatkan kebahagiaan setelah menjalani sesi-sesi terapi hipnosis. ”Makin banyak orang terbantu, saya merasakan diri berguna,” katanya.

Dedy pun mengisahkan, bukan materi yang memuaskannya menjadi guru yoga. ”Penghasilan tentu ada dan tentu cukup. Soal cukup itu berpulang kepada kita sendiri. Hal terbaik dari menjalani yoga adalah selarasnya tubuh dengan jiwa. Itu hal yang tidak ternilai, tidak bisa diukur dengan materi apa pun,” ujar Dedy. (ROW/IYA/WKM/CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011

No comments: