Friday, April 15, 2011

Bajak Laut dan Negara Gagal

-- Makmur Keliat

JERMAN, seperti halnya Indonesia, diramaikan isu bajak laut di Somalia. Beberapa perusahaan kapal Jerman kini cemas dengan situasi di wilayah laut Samudra Hindia yang berbatasan dengan Somalia itu.

Beberapa kapal Jerman bernasib serupa dengan kapal Indonesia. Pada 22 Januari lalu Beluga Nomination diserang bajak laut di Samudra Hindia, sekitar 700 kilometer dari Kepulauan Seychelles. Beberapa hari kemudian, New York Star milik CST, perusahaan perkapalan berbasis di Hamburg, bernasib serupa.

Perusahaan keamanan swasta

Walau beberapa awak Beluga Nomination berhasil melarikan diri, kapal berikut kapten dan dua awak kapal masih ditawan pembajak. Demikian juga New York Star. Laporan majalah Der Spiegel menyebutkan bahwa kedua kapal sekarang berada di wilayah Haradhere dan Hobyo, Somalia. Dua wilayah ini dikenal sebagai basis bajak laut Somalia. Salah satu kelompok bajak laut yang terkenal di sana dipimpin Hassan Abdi, kerap dipanggil ”Afweyne” (Si Mulut Besar).

Kepedulian Jerman terhadap bajak laut Somalia dapat dipahami. Negeri berpenduduk sekitar 80 juta jiwa ini memiliki 3.500 kapal dan tercatat sebagai negeri dengan armada komersial terbesar ketiga di dunia. Yang menarik, terdapat beragam sikap di sana terhadap situasi di Somalia.

Secara resmi Pemerintah Jerman mendukung Operation Ocean Shield yang digelar NATO dan Operation Atalanta yang diorganisasi Uni Eropa untuk mengatasi situasi di perairan sekitar Somalia. Namun, permintaan kalangan bisnis perkapalan agar terdapat proteksi secara langsung terhadap armada kapal bisnis negeri itu tak serta-merta dikabulkan.

Pemerintah Jerman menyatakan, ”setiap sektor ekonomi wajib mengemban tanggung jawab utama bagi keselamatan pekerjanya”. Dengan pernyataan ini pemerintah menunjukkan keberatan jika tentara mengawal langsung kapal Jerman yang berlayar melintasi kawasan perairan berbahaya di sekitar Tanduk Afrika itu.

Terlebih lagi terdapat masalah hukum yang rumit. Sebagian besar kapal milik warga Jerman ternyata tak terdaftar di negeri itu. Karena pertimbangan biaya ekonomi untuk menghindari ketentuan pajak dan perburuhan yang ketat, sebagian besar kapal itu secara hukum terdaftar di Liberia. Ini dikenal dengan istilah formula hukum flag of convenience.

Keengganan Pemerintah Jerman menggelar pasukan mengakibatkan perusahaan Jerman bersandar pada kapasitas mereka sendiri. Kini beberapa perusahaan Jerman mulai mengawal sendiri dengan menyewa perusahaan jasa keamanan swasta yang dilengkapi senjata. Perusahaan Ernst Kmorwoski, misalnya, menyewa pasukan pengawal bersenjata guna melindungi 20 kapalnya.

Sikap masyarakat Jerman terhadap pembajak di Somalia menarik dicermati. Sebagian merasa bahwa pembajak di Somalia merupakan produk negara gagal. Bagi kelompok ini, tindakan militer dan hukuman yang keras terhadap para pembajak tak cukup mengatasi pembajakan di perairan sekitar Tanduk Afrika itu. Negara gagal adalah negara yang tak mampu menegakkan kumpulan aturan hukum serta membiarkan warganya terlilit kemiskinan dan mempertahankan kelangsungan hidup dengan segala cara.

Sikap ini tampak dari debat tentang proses hukum beberapa pembajak Somalia di pengadilan Hamburg. Para pembajak ditangkap tentara Belanda yang sedang beroperasi di Samudra Hindia ketika pada 5 April 2010 berusaha—tetapi gagal—mengambil alih kapal kontainer berbendera Jerman, MV Taipan. Pemerintah Belanda kemudian menyerahkan pembajak kepada Pemerintah Jerman.

Bagi sebagian warga Jerman, menghukum pembajak dengan keras tak akan membawa hasil optimal karena di Jerman tak dikenal hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Ada pula dugaan pembajak masih di bawah umur sehingga tak mungkin dihukum.

Karena itu, terdapat pandangan, pembajakan di Somalia merupakan kegagalan masyarakat internasional menghindarkan Somalia dari gejala negara gagal: ”jika kita tak dapat membagi kekayaan kepada kaum miskin, kaum miskinlah yang akan membagi kemiskinannya kepada kita”.

Indonesia tentu bukan Jerman yang memiliki armada kapal dagang besar. Namun, seperti kasus yang sekarang dialami kapal MV Sinar Kudus, kapal berbendera Indonesia juga dapat menjadi sasaran tindakan bajak laut.

Pelajaran bagi Indonesia

Setidaknya tiga hal penting dapat kita petik dari Jerman. Pertama, tanggung jawab utama memberi keselamatan terhadap awal kapal di laut seharusnya diemban perusahaan perkapalan. Jangan ketika mengalami kesulitan, minta tanggung jawab negara. Standar keamanan baku di tingkat internasional untuk pelayaran kapal harus ditaati perusahaan dan pemilik kapal. Perusahaan perkapalan jangan sekadar dapat untung memanfaatkan aturan perburuhan dan perpajakan yang longgar.

Kedua, negara tak serta-merta melepas tanggung jawab mewujudkan keamanan maritim. Namun, tanggung jawab itu seharusnya diemban bersama negara lain. Karena pertimbangan dimensi transnasional, kerja sama dengan negara lain mengemban tanggung jawab keamanan maritim merupakan keharusan. Gagasan mengirim pasukan tentu baik, tetapi sebaiknya dikoordinasikan dengan pasukan negara lain di perairan Tanduk Afrika itu.

Ketiga, Indonesia sebaiknya menghindari gejala negara gagal seperti yang dialami Somalia. Indonesia beberapa tahun lalu merupakan wilayah yang dikenal di tataran internasional sebagai ”sarang” pembajak, terutama untuk wilayah sekitar perairan Selat Malaka. Paradoksal dan aneh jika kita mengirim pasukan ke Somalia, tetapi bajak laut Indonesia masih ada di perairan sekitar Selat Malaka.

Makmur Keliat, Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Sumber: Kompas, Jumat, 15 April 2011

No comments: