Friday, April 29, 2011

Banjaran Hadiwijaya: Jaka Tingkir dan Jalan Panjang Menjadi Sultan Pajang

DALAM roman sejarah yang legendaris karya SH Mintarja, Nagasasra dan Sabukinten, Mas Karebet tidaklah tampil sedominan Mahesa Jenar atau uanya Ki Kebo Kanigara yang amat sakti. Meski demikian, Karebet dalam roman itu dilukiskan sebagai pemuda yang luar biasa, punya ilmu ajian Lembu Sekilan yang amat menakjubkan.

Jaka Tingkir (duduk, diperankan oleh Sigit Sartono) sedang dinasihati Sunan Kalijaga (bertongkat, diperankan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto) untuk mengabdi ke Demak guna meraih cita-cita tinggi. (Kompas/Th R Indriaswari)

Karebet tumbuh menjadi pemuda yang pilih tanding karena ia banyak berguru justru karena ia telah melewati masa kecil yang amat pahit. Diurut-urut, ia adalah keturunan darah biru karena eyangnya adalah keturunan raja terakhir Majapahit. Ayahnya, Ki Ageng Pengging, oleh Sunan Kudus dipaksa untuk kembali tunduk kepada Kerajaan Demak. Namun, Ki Ageng Pengging yang juga dikenal sebagai Ki Kebo Kenanga menolak. Ia memilih bersetia pada ajaran yang disampaikan oleh Sang Mahaguru, yang tidak lain adalah Syeh Siti Jenar, sambil memimpikan kembali berjayanya Majapahit.

Akhir riwayat Ki Ageng Pengging memang menyedihkan. Namun dalam pergelaran tembang-drama-tari Banjaran Hadiwijaya yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (15/4), Ki Ageng Pengging dilukiskan memilih moksa.

Kepergian Ki Ageng Pengging, setelah kematian istrinya, membuat sang putra harus diasuh oleh Keluarga Tingkir, itu sebabnya ia juga lalu mendapat nama Jaka Tingkir. Namun, berikutnya datang Sultan Kalijaga bersama beberapa sultan lain, mereka mengingatkan, Jaka Tingkir keturunan luhur, jangan terlena menunggu padi. Ia harus mengabdi ke Demak dan berusaha meraih wahyu kepemimpinan Tanah Jawa.

Karena kebolehannya dalam olah keprajuritan, Karebet pun bisa menerobos karier cemerlang di Kerajaan Demak yang saat itu diperintah oleh Sultan Trenggono. Namun disayangkan, karena berani main api dengan putri Sultan—Putri Kambang—Karebet pun diusir dari istana. Tapi, atas bantuan dan rekayasa Sunan Kalijaga, Karebet bisa kembali ke Demak. Rekayasa yang dibuat untuk memuluskan kembalinya Karebet ke Demak adalah dengan melepaskan seekor kerbau liar yang telah disumbat tanah liat yang telah diberi jampi-jampi. Kerbau mengamuk di Demak dan tak ada seorang pun yang bisa menaklukkannya. Karebet yang saktilah yang bisa menaklukkan kerbau tersebut.

Kini ia bukan saja bisa diterima kembali menjadi Lurah Tamtama, tetapi langsung diangkat sebagai Adipati Pajang dan bahkan juga dinikahkan dengan putri Sultan Trenggono.

Tontonan indah

Sanggar Saddya Budaya Bangsa di bawah pimpinan KRAy Tinul Wiryohadiningrat dalam Banjaran Hadiwijaya ini berhasil mengemas perjalanan hidup Jaka Tingkir dengan apik, menjadi sebuah tontonan indah yang membuai mata dan telinga. Penyampaian prinsip trah Pengging untuk tidak mau tunduk kepada Demak dan setia kepada ajaran Syeh Siti Jenar disampaikan dengan tegas dan gamblang, satu hal yang di masa lalu tak selalu mudah untuk melakukannya.

Kearifan dari cerita yang digubah oleh Undung Wiyono ini eksplisit memang dirumuskan dalam falsafah berikhtiar dan bekerja keras untuk mencapai kedudukan tinggi. Namun, di dalamnya dapat pula ditangkap metafora permainan cinta antara Jaka Tingkir dan Putri Kambang dalam ”scene” perkelahian dengan Dadung Ngawuk.

Keindahan tontonan juga dicerminkan oleh hadirnya pemain senior seperti Teguh Kenthus Ampiranto yang menjadi Jaka Tingkir dewasa dan Ali Marsudi sebagai Ki Ageng Pengging. Pergelaran juga semarak karena dukungan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih serta mantan Gubernur DKI Sutiyoso. Keikutsertaan 115 seniman dewasa, muda, dan anak-anak dalam pertunjukan seni Hadiwijaya memperlihatkan bahwa minat terhadap seni tradisi di Indonesia masih kuat di kalangan masyarakat. (Ninok Leksono)

Sumber: Kompas, Jumat, 29 April 2011

No comments: