-- Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni
BERAGAM kisah bisa dikumpulkan dari lintasan kereta api. Di sini banyak perempuan perkasa berjuang untuk hidup. Siapa nyana, merekalah penopang gairah konsumsi warga metropolitan. Junaesih (44) terlihat lelah. Maklum, ketika hari masih gelap, Esih, begitu dia disapa, sudah harus berangkat dari rumahnya di pojok Desa Cicayur, Tangerang, ke Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Ini bukan perjalanan mudah. Dia berjalan kaki seorang diri di jalan tanah berbatu sejauh kira-kira 2 kilometer sambil menggendong sekarung daun singkong. Tujuannya selalu sama: Stasiun Cicayur.
Para ibu rumah tangga menepi ke dalam tenda pedagang saat kereta api melintas di Pasar Gaplok, Johar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (15/4). Pengunjung dan pedagang di Pasar Gaplok harus selalu waspada karena padatnya lalu lintas kereta. (Kompas/Wawan H Prabowo)
Sesampainya di stasiun, Esih berjibaku untuk mendapat sejengkal ruang di Kereta Api Ekonomi Langsam yang akan membawanya ke Pasar Palmerah. Kereta itu setiap hari dipenuhi penumpang dan karung-karung berisi hasil pertanian dari Rangkasbitung.
Satu jam perjalanan, Esih tiba di Stasiun Palmerah. Dari situ, dia langsung menuju pasar dan menggelar dagangannya di pinggir jalan: sekarung daun singkong, tidak lebih tidak kurang. Pukul 09.00, dia kembali ke rumahnya di Cicayur dengan kereta yang sama.
Begitulah lakon hidup Esih dua tahun terakhir. Dari usahanya, perempuan yang ditinggal begitu saja oleh suaminya tersebut hanya memperoleh uang Rp 15.000-Rp 20.000 sehari. Sebanyak Rp 5.000 dia gunakan untuk modal membeli daun singkong di kebun tetangga dan Rp 3.000 untuk ongkos kereta pulang-pergi. Sisanya, Rp 7.000-Rp 12.000 hanya cukup untuk makan Esih dan tiga anaknya.
Esih setiap hari berjibaku bersama ratusan perempuan pedagang sayur agar bisa terangkut kereta ekonomi. Namun, kisah mereka tidak semuanya nelangsa. Di antara mereka ada yang bermodal cukup besar. Nanik (60), misalnya, setiap hari memutar uang Rp 2,5 juta-Rp 3 juta untuk bisnis buah dan sayur-mayur. Hasilnya cukup untuk membantu sembilan anaknya yang hidupnya belum mapan dan memberi jajan enam cucunya.
Minggu (10/4) siang, perempuan itu mengerahkan beberapa kuli stasiun untuk mengangkut 24 karung belanjaannya ke gerbong kereta ekonomi di Stasiun Rangkasbitung. Sebagian karung ditumpuk setinggi 1,5 meter di bordes gerbong. Sebagian lagi diletakkan di dalam gerbong. Praktis, karung-karung itu menutup hampir seluruh pintu masuk gerbong.
Beberapa penumpang yang terhalang gerakannya mengomel. Tapi, Nanik seolah tidak peduli. ”Saya sudah biasa dengar omelan macam begitu. Cuek sajalah,” katanya sambil mengibaskan tangan untuk mengusir gerah.
Nanik mengatakan, belanjaannya hari itu lebih sedikit dibandingkan dengan biasanya. Pasalnya, pasokan buah dan sayur-mayur dari Rangkasbitung belakangan ini berkurang. Itu sebabnya, Nanik berniat berburu belanjaan lain di beberapa stasiun yang dilewati.
Ketika kereta berhenti di Stasiun Citeras, Nanik—yang semula duduk manis—bangkit dan bergegas menuju jendela. Dia kemudian berteriak kepada orang di luar kereta, ”Heiii... ada sereh enggak?”
Di stasiun itu, sebagian makelar hasil kebun naik ke kereta. Mereka menawarkan hasil kebun apa pun yang bisa dibawa. Dari mereka, Ngapiah (51) memperoleh tujuh jantung pisang, delapan kunur (semacam labu), dan sekantong kencur. ”Lumayan barang dagangan saya bertambah,” ujar Ngapiah, yang sebelumnya telah membawa tiga karung sayur-mayur dan pisang dari Rangkasbitung.
Sesampai di Stasiun Kebayoran Lama, sebagian besar tumpukan karung milik para pedagang sayur itu diturunkan di atas rel. Udara pengap dan gerah di dalam gerbong berkurang seketika. Ngapiah juga turun di sana. Selanjutnya, dia membuka lapak sayur-mayur 50 cm dari pinggir rel kereta.
Penopang metropolitan
Sebagian perempuan itu adalah pendatang yang tersedot oleh pesona Ibu Kota. Nanik datang dari Surabaya ke Jakarta ketika usianya 12 tahun. Selanjutnya, dia menikah tiga kali dan menetap di Citeras. Seperti banyak pendatang di sepanjang jalur Rangkasbitung-Jakarta, pergulatan hidup mereka tak jauh-jauh dari kereta. Bersama suaminya, Nanik memasok buah dan sayur kepada pedagang di Kebayoran Lama, Palmerah, dan Angke. Setelah suaminya meninggal, usaha itu dia jalankan sendirian.
Sejak dulu sampai sekarang dia bergantung pada kereta. Alasannya hanya satu: kereta ekonomi murah meriah. ”Bawa karung sebanyak ini hanya mengeluarkan duit Rp 200.000 untuk tiket, bayar ke petugas kereta, dan bayar ongkos kuli angkut,” ujarnya.
Kalau pakai mobil sewa, dia harus mengeluarkan uang Rp 300.000, belum termasuk bayar tol. ”Keuntungan saya pasti berkurang.”
Esih bahkan tidak bisa mencari nafkah tanpa kereta. Bayangkan saja, setiap hari dia hanya memperoleh Rp 15.000-Rp 20.000 dari jualan sayur di Palmerah. ”Ongkos kereta api pulang-pergi hanya Rp 3.000. Kalau pakai angkot, bisa habis Rp 10.000. Semua duit saya langsung habis,” katanya.
Ruth Indiah Rahayu, peneliti Inkrispena dan aktivis perempuan dari Perhimpunan Rakyat Pekerja, melihat bahwa dalam skala rumah tangga, peran ekonomis perempuan pedagang sayur dari Rangkasbitung itu tergolong tinggi. Mereka menunjang ekonomi harian keluarga untuk bertahan hidup.
Namun, dalam skala ekonomi makro, peran mereka dilupakan. Pasalnya, hitungan ekonomi makro mengasumsikan penghasilan keluarga selalu berasal dari suami.
Dalam konsepsi geografi-politik metropolitan Jabodetabek, mereka juga memiliki peran cukup penting. Mereka adalah agensi yang menghubungkan metropolitan sebagai pusat tumpukan barang dengan daerah produsen pertanian. Lewat mereka pula, konsumsi harian warga metropolitan bisa ditopang.
Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011
No comments:
Post a Comment