-- A Ponco Anggoro
ALUNAN musik tifa dan gong membahana di Lapangan Ngara Lamo, Ternate, Maluku Utara, Minggu (3/4). Seketika itu pula, ribuan anak, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, yang memadati lapangan hingga ke ruas-ruas jalan yang mengitari lapangan bergerak bersama menari.
Sebanyak 8.125 murid SD, SMP, SMA, dan sanggar tari di Ternate, Maluku Utara, memperagakan tarian soya-soya di Lapangan Ngara Lamo, Ternate, Minggu (3/4). Acara yang merupakan bagian dari acara budaya Legu Gam 2011 itu dicatatkan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). (KOMPAS/A PONCO ANGGORO)
Pakaian mereka seragam. Bandana berwarna kuning diikatkan pada kepala, pakaian putih-putih, dan rok berwarna-warni. Sambil memegang salawaku (tameng) di tangan kiri dan ngana-ngana (pedang) yang terbuat dari daun woka di tangan kanan.
Derap langkah, gerak ngana- ngana dan salawaku ditambah lagi semangat yang tebersit itu menyerupai semangat pasukan Sultan Ternate, yakni Sultan Baabullah, ketika hendak mengambil jenazah Sultan Khairun dari tangan Portugis di Benteng Sao Paulo, Ternate, sekaligus mengusir Portugis pada akhir abad ke-16.
Memang, pada era Sultan Baabullah atau Sultan Ternate Ke-24 inilah, soya-soya tercipta. Soya-soya saat itu dimaknai sebagai perang pembebasan dari Portugis. Sejak perang dikobarkan pasca-tewasnya Sultan Khairun tanggal 25 Februari 1570, kekuasaan Portugis jatuh tahun 1575.
Di era Baabullah ini pula, Kesultanan Ternate mencapai puncak kejayaannya dengan menjadi penguasa 72 pulau berpenghuni di wilayah timur Nusantara hingga Mindanao Selatan di Filipina dan Kepulauan Marshall.
Tidak dibayar
Selama hampir 30 menit, tarian soya-soya diperagakan. Sebanyak 8.125 penari turut serta. Hasilnya, mereka bisa mengukir prestasi sebagai rekor ke-4.816 Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Festival Soya-soya, nama dari acara tersebut, merupakan bagian dari pesta rakyat Maluku Utara, Legu Gam 2011, yang berlangsung hingga 16 April di Ternate.
”Tarian soya-soya merupakan bagian dari budaya Maluku Utara. Sejak masih kecil, anak-anak sudah mempelajarinya di kampung-kampung. Kemudian saat di sekolah dasar, tarian ini diajarkan lagi,” ujar Udin Ismail (45), warga Ternate yang anaknya turut serta dalam Festival Soya-soya.
Di Ternate, tarian ini memang menjadi muatan lokal yang wajib diajarkan. ”Seminggu sekali, setiap hari Sabtu, tarian itu diajarkan sebagai bagian dari pengembangan diri murid,” kata Kepala Sekolah Dasar Ngidi, Chadijah. Tarian lalu sering digunakan untuk menyambut tamu atau acara-acara adat.
Maka, tidaklah heran, ketika Panitia Legu Gam 2011 berinisiatif melaksanakan pencatatan rekor Muri untuk tarian massal, bukanlah suatu hal yang sulit.
Sekretaris Panitia Legu Gam 2011 Suryadi Syarif mengatakan, tim-tim kecil yang dibentuk panitia hanya butuh waktu satu minggu untuk melatih gerak tarian soya-soya di setiap sekolah. Setelah itu, hanya cukup satu hari geladi resik guna menyeragamkan gerak para penari. ”Mereka sudah tahu gerakan dasar soya-soya sehingga tidak susah melatihnya,” tambahnya.
Apriyadi (11), murid kelas VI SDN Ngidi, mengakui, ada perasaan malu jika anak laki-laki tidak bisa menarikan soya-soya. Terlebih lagi, gerak tarian yang seperti gerak prajurit, heroik, dan penuh tenaga itu mendorongnya untuk selalu semangat menarikannya. Inilah yang mendorong Apriyadi mempelajarinya sejak berusia 6 tahun.
Kebanggaan yang lahir pada anak-anak itu juga muncul pada orangtua mereka. Rasa bangga itulah yang membuat mereka rela menanti dari pukul 11.00 WIT sampai 16.30 WIT saat acara baru dimulai, di bawah terik matahari.
Rela pula mereka menyisihkan uang untuk membeli pakaian dan peralatan tari yang dibutuhkan. Harga pakaian tarian soya-soya tiba-tiba melonjak menjelang Festival Soya-soya. Jika biasanya hanya sekitar Rp 50.000, harganya naik menjadi Rp 150.000. Adapun ngana- ngana dan salawaku dibeli dengan harga Rp 50.000.
”Agar budaya tetap lestari dan anak-anak tahu sejarah keemasan Kesultanan Ternate di bawah Sultan Baabullah,” kata Sulaeman (40), warga Ternate yang anaknya juga turut serta dalam Festival Soya-soya. Semangat ini pulalah yang menjadi wajah dari Legu Gam, yang telah menjadi agenda rutin setiap tahun sejak sembilan tahun lalu atas inisiatif dari Kesultanan Ternate.
Aset wisata
Koordinator Sanggar Wahana Parada Nusantara Iskandar Pamungkas mengatakan, karena pesta digelar untuk rakyat, kelompok seni yang terlibat rela tidak dibayar.
Sudah bisa terlibat saja merupakan suatu kebanggaan. Karena itu, jumlah kelompok seni yang ingin terlibat tidak pernah surut.
Panitia Legu Gam mencatat, setiap Legu Gam, ada sekitar 70 sampai 100 kelompok seni yang mendaftar ingin terlibat. Kelompok seni ini tidak hanya menampilkan budaya yang berkembang di Ternate, tetapi juga yang berkembang di tiga kesultanan lain di Maluku Utara, yaitu Bacan, Jailolo, dan Tidore. ”Legu Gam telah menjadi wadah ekspresi bagi kelompok-kelompok seni di Maluku Utara sehingga mereka rela meski tidak dibayar,” lanjut Iskandar.
Wali Kota Ternate Burhan Abdurrahman mengatakan, pelestarian budaya Ternate tidak hanya berhenti pada Festival Soya-soya ataupun Legu Gam. Sejumlah acara budaya lain pun akan digelar, salah satunya Festival Kora-kora, perahu tradisional Maluku, yang direncanakan digelar pertengahan tahun ini.
Selain itu, pemerintah juga merencanakan membangun museum di Kadaton (Keraton) Ternate dan merevitalisasi lima benteng bekas peninggalan Belanda dan Portugis di Ternate.
”Kekayaan budaya, kekayaan peninggalan sejarah, keanekaragaman hayati bawah laut, dan pesona panorama Ternate menjadi modal pengembangan pariwisata di Ternate,” katanya.
Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011
No comments:
Post a Comment