-- Sidharta Susila
WAKTU menjadi mahasiswa, ujian adalah peristiwa yang sangat membahagiakan. Demikian kata seorang dosen kami. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan itu dialami semua atau hanya oleh mahasiswa yang cerdas?
Apa yang membahagiakan dalam ujian seperti itu? Siapa dan apa saja yang harus dilakukan agar ujian membahagiakan?
Orang punya beragam sikap dan cara menghadapi peristiwa ujian. Kebanyakan dengan rasa tegang dan takut. Saat ujian sering membuat orang emosional hingga banyak yang tak mampu menguasai diri. Efek psikosomatis, seperti sakit perut, pusing-pusing, atau mual, pun muncul.
Akibatnya konsentrasi buyar. Daya nalar saat mempersiapkan ujian terganggu. Persiapan ujian menjadi kacau. Hal yang sama terjadi saat menjalani ujian.
Dinamika kondisi emosi dan nalar inilah yang sering kali mewarnai peristiwa ujian. Tak heran kalau pada setiap peristiwa ujian kita menemukan banyak fakta yang mengejutkan. Siswa yang sehari-hari berprestasi justru hasilnya tak memuaskan. Beberapa bahkan gagal.
Namun, kegagalan ujian bukan hanya karena gugup, bingung, takut, atau tegang. Beberapa siswa gagal mencapai hasil optimal justru karena meremehkan atau kurang cermat. Dengan demikian, perlu sikap bijak memahami suatu hasil ujian.
Ujian membahagiakan
Ujian adalah bagian dari pembelajaran, yaitu proses pengembangan dan pemberdayaan diri yang mesti dialami dengan bermartabat.
Dalam pemahaman di atas, mulai dari persiapan, saat menjalani, hingga menerima hasil ujian sedapat mungkin menghindari kondisi-kondisi yang melemahkan, apalagi membunuh karakter pembelajar.
Beragam cara dan sikap diupayakan para dosen kami untuk merawat karakter pembelajar ini. Di kampus kami, banyak dosen memilih model ujian lisan. Setiap mahasiswa menghadap dosen di ruang ujian.
Seorang dosen melumerkan ketegangan dengan menyapa ramah peserta ujian. Kadang diawali dengan canda sebelum pertanyaan diajukan.
Dosen lain yang menggunakan model ujian tertulis meruntuhkan belenggu ujian dengan memberikan sejumlah pertanyaan pembantu sebelum ujian pada akhir masa perkuliahan. Dari sederet pertanyaan itu dipilih lima soal saat ujian. Dari lima soal itu peserta ujian bisa memilih empat soal untuk dikerjakan.
Dosen lain melumerkan ketegangan ujian dengan meminta peserta ujian memilih sendiri empat bab yang dipelajari selama masa perkuliahan sebagai bahan ujian. Saat ujian, dosen menentukan tiga bab dari empat bab pilihan mahasiswa dan mengajukan pertanyaan dari situ. Dosen masih mengajukan satu pertanyaan dari materi bab lain yang dia tentukan sendiri. Inilah bagian dari upaya mewujudkan ujian yang membahagiakan.
Dosen lain memanfaatkan ujian bukan hanya untuk mengevaluasi mahasiswa, melainkan juga mengevaluasi diri sendiri. Hal ini penulis alami dalam model ujian lisan. Setelah peserta ujian menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian, pada akhir ujian dosen menegaskan hal-hal pokok yang belum dikuasai peserta ujian.
Cara tersebut di atas membantu dosen memastikan serta menjamin pemahaman materi pembelajaran oleh peserta didik. Ini sangat penting untuk materi pembelajaran yang implementasinya kelak akan melibatkan kelangsungan hidup banyak orang.
Upaya menyempurnakan
Kalau saja banyak lembaga pendidikan mampu menyelenggarakan dan menyikapi peristiwa ujian seperti ini, pastilah ujian menjadi peristiwa yang membahagiakan, bahkan dirindukan. Penguji (guru atau dosen) dan peserta ujian sama-sama berusaha menyempurnakan dan memberdayakan diri.
Para guru atau dosen berupaya menemukan yang kurang dari caranya mengajar. Peserta ujian pun menjadikan ujian sebagai kesempatan untuk menyempurnakan penguasaan materi. Dengan cara begitu, ujian sungguh menjadi bagian dari proses pembelajaran.
Ujian yang membahagiakan membutuhkan guru atau dosen berkarakter pembelajar yang sadar dan butuh terus belajar. Sebab, kegagalan pemahaman materi tak selalu disebabkan oleh kelemahan peserta didik. Sering kali permasalahan justru pada para pendidiknya. Sesungguhnya peserta didik adalah mitra, bahkan anugerah yang menuntun para pendidik untuk terus-menerus belajar.
Konon negeri ini butuh banyak guru dan dosen yang mampu menyikapi anak didik sebagai mitra dan anugerah yang membantunya untuk terus berkembang. Rasanya itulah guru sejati.
Ia akan terus membakar semangat belajar dan membangun komunitas pembelajar. Maka, hasilnya adalah ujian yang menjadi peristiwa membahagiakan dan dirindukan, sekaligus mencerahkan: baik anak didik maupun pendidiknya.
Sidharta Susila, Rohaniwan; Pendidik di Yayasan Pangudi Luhur di Muntilan
Sumber: Kompas, Senin, 18 April 2011
No comments:
Post a Comment