Banda Aceh, Kompas - Seni hikayat Aceh terancam punah. Saat ini pertunjukan seni ini kian jarang ditemui dalam seni pertunjukan maupun pesta hajatan masyarakat Aceh. Selain itu, ribuan hikayat lisan yang pernah ada di Aceh sampai saat ini belum pernah dituliskan dan hanya dikuasai segelintir seniman yang sudah lanjut usia di wilayah Aceh selatan.
”Sebagian besar masyarakat Aceh sudah melupakan hikayat. Banyak yang sudah tak mengenalnya. Saya sendiri sebagai seniman hikayat sekarang sudah sangat jarang tampil. Dalam lima bulan belum tentu ada undangan untuk tampil,” kata seniman hikayat Aceh, Tengku Muda Balia, Senin (25/4).
Hikayat Aceh merupakan perpaduan antara seni syair tutur dan lagu. Dalam pertunjukan seni, pemain hikayat biasanya memadukannya dengan alat musik tiup sebagai repertoar. Syair hikayat berisi nasihat, tuntunan agama, kisah peperangan, budaya Aceh, dan kisah-kisah lain.
Menurut Muda, hikayat adalah seni tutur asli Aceh yang diduga sudah ada sebelum Islam masuk ke Aceh. Pada masa Islam, hikayat menjadi media dakwah. Lalu, pada masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi alat pengobar semangat juang masyarakat Aceh melawan penjajah. Seni ini mulai tergerus saat terjadi ”pembersihan” para seniman hikayat pada masa setelah pembubaran Partai Komunis Indonesia.
”Pada masa konflik banyak masyarakat yang tak berani memanggungkan hikayat karena takut. Akibatnya, kondisi perkembangan seni ini makin sulit. Seniman-seniman yang masih tersisa di Aceh selatan yang masih hafal hikayat Aceh kuno mungkin tinggal 6 orang dan kini rata-rata sudah usia lanjut,” kata Muda.
Regenerasi juga menjadi masalah yang rumit. Hal ini karena seni hikayat sulit dijadikan sebagai sandaran hidup masa kini.
”Mungkin kalau sekadar pembaca hikayat banyak yang bisa, tapi kalau pemain hikayat jarang. Bacaan tentang hikayat pun hampir tidak ada. Hikayat-hikayat kuno yang masih dihafal para seniman sampai sekarang belum ada yang ditulis. Kalau mereka sudah tak ada, Aceh akan kehilangan besar,” kata dia.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, ada ribuan teks dan manuskrip kuno yang mulai tahun ini diupayakan akan dikumpulkan kembali. Teks-teks kuno yang di dalamnya terkandung hikayat itu tersebar di berbagai wilayah di Aceh.
”Kami memperkirakan dibutuhkan anggaran paling tidak Rp 5 miliar untuk mengumpulkan kembali manuskrip-manuskrip itu. Peninggalan-peninggalan itu harus diselamatkan karena selain merupakan warisan budaya Aceh, juga untuk menghindari pencurian oleh bangsa lain,” kata dia. (HAN)
Sumber: Kompas, Rabu, 27 April 2011
No comments:
Post a Comment