-- Kartono Mohamad
MENGAPA kita lebih merasa jijik melihat kotoran manusia di jalan daripada melihat kotoran binatang? Sebab, di benak kita sudah tertanam bahwa manusia beradab tidak membuang kotorannya di jalanan. Hanya binatang yang tidak beradab yang demikian.
Beradab dan peradaban mempunyai kata dasar yang sama, adab. Akan tetapi, keduanya sering mempunyai jarak yang jauh. Bangsa Maya dan Inca dianggap mempunyai peradaban tinggi karena selain membangun piramida, mereka juga mampu menyusun kalender berdasarkan perputaran Matahari.
Sampai-sampai banyak orang modern memercayai ramalan kalender Maya bahwa Bumi akan berakhir 21 Desember 2012.
Namun, mereka juga punya kebiasaan mengorbankan manusia untuk dewa, mungkin juga masih melakukan kanibalisme dengan memakan daging sesama manusia. Dua perbuatan yang tidak tergolong beradab.
Bangsa yang tidak mempunyai sejarah peradaban tinggi mungkin lebih buruk lagi. Mereka mungkin lebih tidak beradab atau terlambat mengadopsi sikap beradab.
Jika peradaban ditimbang dari kemampuan menciptakan prestasi yang melampaui zamannya, beradab lebih berkaitan dengan perilaku terhadap manusia lain.
Mungkin adab setara dengan etika. Bedanya, kalau nilai-nilai baik dan benar dalam etika cenderung lebih universal dan berlaku sepanjang zaman, adab banyak dipengaruhi oleh budaya dan nilai-nilai lokal.
Adab dan budaya
Seorang anak Jawa atau orang Indonesia pada umumnya tidak berani memegang kepala orang yang lebih tua. Kalau sampai berani, ia akan dianggap tidak beradab. Demikian pula duduk lebih tinggi di hadapan orang yang lebih tua atau dihormati atau menerima pemberian menggunakan tangan kiri.
Pada orang Barat, hal-hal semacam itu dianggap biasa, bukan bagian dari ”adab”. Adab lebih berkaitan dengan budaya dan tata nilai lokal dan dapat berubah sesuai dengan zaman.
Globalisasi, demokratisasi, dan mobilitas horizontal yang tinggi telah mengubah banyak hal. Yang semula dianggap tidak beradab menjadi hal biasa.
Meski demikian, inti dari adab tetap sama, yaitu menghormati orang lain dan memperlakukan orang lain seperti ia ingin diperlakukan. Inti adab yang lain adalah menghormati hak orang lain, baik yang tercantum dalam hukum tertulis maupun tidak.
Di negara-negara yang beradab, hal ini diajarkan sejak kecil, di sekolah maupun di rumah. Jadi, kelak ia menjaga diri untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia pun tidak akan menafsirkan kedudukannya sebagai privilese untuk melanggar tata nilai atau hukum.
Oleh karena itu, di negara yang beradab, angka korupsi dan penyalahgunaan wewenang akan rendah. Di negara beradab, orang-orang yang merasa lebih kuat tidak akan menindas yang lemah. Di negara yang beradab, seseorang juga tidak akan marah kalau diingatkan ketika berbuat salah meskipun yang mengingatkan berkedudukan lebih rendah.
Indonesia dulu pernah bercita-cita membangun manusia yang adil dan beradab. Hal itu dimuat dalam Pancasila yang pernah menjadi moto bangsa Indonesia, tetapi sekarang dilupakan, bahkan ada yang ingin menggantinya dengan agama.
Akan tetapi, apakah agama sudah berhasil menciptakan manusia beradab, saya tidak tahu. Korupsi dan penindasan karena merasa lebih kuat masih terus terjadi dan juga dilakukan oleh orang yang mengaku beragama.
Mengukur adab
Kembali pada apakah kita sudah menjadi bangsa yang beradab, itu dapat dilihat dari kepatuhan pada hukum dan tata nilai, baik pada hal yang besar maupun yang tampak kecil.
Hal yang besar misalnya korupsi dan bertindak melanggar hukum karena merasa berkuasa. Hal-hal yang tampaknya kecil misalnya kepatuhan untuk antre meskipun ia orang penting (tetapi justru banyak orang Indonesia tidak mau antre karena merasa dirinya penting).
Selain itu, kepatuhan untuk tidak menyusahkan orang lain, di mana pun dia berada. Contohnya, mematuhi adab berkendaraan dan berlalu lintas, adab untuk tidak membuang sampah sembarangan, serta adab untuk tidak merokok dan menyebarkan asap kepada orang lain.
Manusia yang beradab akan merasa malu ketika melanggar aturan atau tata nilai dan akan meminta maaf ketika diingatkan. Di negara lain, orang Indonesia umumnya patuh terhadap ketentuan berperilaku di sana dan minta maaf kalau ditegur.
Di negeri sendiri, hal yang sebaliknya terjadi. Mereka tidak mau mengikuti aturan, tidak merasa malu, dan marah ketika diingatkan. Ini bukan sikap bangsa yang beradab, tetapi lebih mencerminkan bangsa penakut.
Menghadapi bangsa lain, ia akan kuncup seperti ayam disiram air. Di negeri sendiri, ia menjadi garang. Cita-cita yang tercantum dalam Pancasila semakin jauh dari jangkauan. Apalagi, Pancasila itu sendiri kini sudah dilupakan.
Kartono Mohamad, Seorang Dokter di Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 April 2011
No comments:
Post a Comment