-- Dedi Muhtadi dan Jannes Eudes Wawa
SIANG itu, mata Mang Aep (43) menatap kosong rombongan ikan yang bergerak-gerak di tengah Situ Cisanti, danau seluas 10 hektar di kaki Gunung Wayang, Bandung selatan. Angin dingin bertiup kencang karena sumber air hulu Sungai Citarum tersebut terletak pada kawasan hutan berketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut.
”Kalau angin begini, biasanya ikan tidak mau makan umpan,” ujar Mang Aep, 4 Maret lalu.
Sebuah perahu berisi empat pencari lumut hilir mudik mengambil lumut di dasar danau. ”Lumut ini dijual ke Waduk Saguling, Cirata, hingga Jatiluhur sebagai umpan pancing ikan. Lumayan, sehari bisa memperoleh hasil jual lumut Rp 5.000-Rp 10.000 per orang,” kata Oman (58), salah seorang juru kunci di danau itu.
Lumut yang tumbuh subur di dasar danau juga merupakan sumber pakan ikan yang ditebarkan di danau itu. Ikan-ikan di danau ini ditebarkan pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun dinas/instansi terkait, seperti Perum Perhutani.
Pada 5 Maret lalu, misalnya, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menebar 25.000 ikan nila dan 500 ikan koi di Situ Cisanti. ”Kami tinggal memancingnya dan tak perlu memberi makan karena pakannya sudah disediakan alam,” ujar Aep.
Ikan dan lumut hanyalah secuil potensi ekonomi Cisanti yang sangat bermanfaat bagi kehidupan warga sekitar. Potensi ekonomi yang sangat besar dari situ yang terletak di Desa Hutan Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jabar, itu tak pernah berhenti mengaliri Sungai Citarum.
Kawasan sungai purba Citarum adalah daerah aliran sungai utama di Provinsi Jabar yang melewati dan mengairi Waduk Saguling di Kabupaten Bandung; Waduk Cirata di perbatasan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta; serta Waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta.
Ketiga waduk ini menghasilkan 2.585 megawatt listrik pada jaringan interkoneksi Pulau Jawa dan Bali.
Di hilir, air Citarum digunakan untuk mengairi 300.000 hektar sawah di delapan kabupaten/kota, termasuk lumbung padi nasional, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Indramayu. Air Citarum juga merupakan bahan baku air minum dan memenuhi 80 persen kebutuhan air minum warga DKI Jakarta.
Pasang surut peradaban juga pernah mendera Cisanti pascareformasi tahun 1998. Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari Tarumajaya, Agus Darajat, mengisahkan, kawasan petak 73 seluas 265 hektar di hulu Cisanti dirambah 334 keluarga petani. Aktivitas itu berlangsung tahun 1999-2003. Komoditas yang ditanam adalah kentang, kubis, atau wortel. Tanah di daerah kaki Gunung Wayang ini subur sehingga 1 hektar lahan bisa menghasilkan 15-20 ton kentang sekali panen. Taruhlah harga kentang Rp 5.000 per kilogram, berarti dihasilkan Rp 100 juta. Modalnya hanya Rp 50 juta.
Aktivitas perambahan juga terkait dengan kepemilikan tanah yang sempit akibat ledakan penduduk. Akibat perambahan hutan di sekitar Situ Cisanti, di lekukan gunung yang melingkari danau itu hanya terlihat warna kecoklatan dan kadang hitam karena digunakan sebagai lahan pertanian. Peristiwa yang menimpa bagian hulu pasti berdampak lebih parah bagi hilir. Malah sebagian dari tujuh mata air setempat tak mengeluarkan air. Akibatnya, air danau menyusut, mirip rawa-rawa, karena tertimbun tanah erosi air hujan.
Agus mengungkapkan, komitmen masyarakat untuk mengembalikan hijaunya Situ Cisanti amat penting. Buktinya, setelah 334 keluarga petani tersebut tidak menggarap kawasan itu lagi sejak 2003, debit air Cisanti agak stabil. Namun, sebagian besar kawasan berlereng terjal di sekitarnya masih dipenuhi lahan pertanian semusim yang mengabaikan konservasi.
Pada awalnya kawasan itu gundul, lalu warga Citarum Bergetar (Bersih, Geulis, Lestari) berinisiatif menyadarkan petani tahun 2000-2003. Mereka akhirnya mau turun, tetapi tetap menggarap dengan menanami kopi. Mereka tidak lagi menanam sayur yang selama ini menyumbang laju erosi cukup tinggi terhadap sungai.
Situ Cisanti bersumber dari tujuh mata air, yaitu Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan Cisanti. Setiap mata air dimitoskan memiliki kesaktian. Mata air Pangsiraman, misalnya, selalu menjadi tempat mandi bagi mereka yang ingin mencari jodoh, kedudukan, atau kekayaan.
Ada yang memitoskan Cisanti sebagai tempat petilasan Sembah Dalem Dipati Ukur. Dipati Ukur, yang konon kaya raya pada zamannya, selalu bermeditasi di Gunung Wayang.
Tokoh Dipati Ukur bukanlah tokoh fiktif. Ia bagian dari sejarah manusia Sunda yang menjadi wedana para bupati Priangan bawahan Mataram abad ke-17. Atas perintah Mataram, dia pernah memimpin pasukan untuk menyerang Belanda di Batavia (1628).
Dipati Ukur kemudian ditelikung tokoh Sunda lain yang diajak angkat senjata untuk menikam dari belakang dan melaporkan niat pemberontakannya kepada Sultan Mataram. Dipati Ukur dan pengikutnya dihancurkan.
Bisa jadi mitos dan sejarah saling berkait. Ketika beratus tahun kemudian ribuan keturunan Dipati Ukur ”menelikung” Cisanti dan Citarum, generasi itu pun menghancurkan kehidupannya sendiri.
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 April 2011
No comments:
Post a Comment