-- Ignatius Haryanto
”I hear Jerusalem bells are ringing
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can’t explain
Once you go there was never, never an honest word
That was when I ruled the world”
Kalimat di atas adalah petikan lagu yang dibawakan oleh salah satu band penting asal Inggris pada dekade ini: Coldplay. Lagu itu menggambarkan bagaimana peperangan yang terjadi pada abad-abad lalu menjadi sesuatu yang tetap memengaruhi zaman sekarang. Dan, sesuatu yang juga terjadi pada kota Jerusalem tetap membekas pada sejarah dunia hari ini.
Demikianlah Jerusalem sebagai salah satu kota penting di dunia ternyata menyimpan banyak cerita, mulai dari yang menggembirakan hingga menyedihkan. Kota yang terletak di sebelah timur Laut Tengah ini dikenal menjadi tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan religius, bermula dari Masjid Al Aqsha. Sementara tidak jauh dari situ ada Tembok Ratapan tempat kalangan masyarakat Yahudi mempersembahkan doa dan mereka yakin bahwa Tuhan akan mendengar mereka di tempat itu. Dekat dengan lokasi Tembok Ratapan tadi ada Gereja Makam Kristus yang juga disebut sebagai makam suci.
Penulis buku ini mencatat (dalam buku sebelumnya, Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, 2008) bahwa dalam 3.000 tahun usianya, Jerusalem mengalami paling tidak 20 kali penaklukan dan pembangunan kembali atas kota ini. Data dalam Wikipedia menyebut kota ini pernah dihancurkan 2 kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, disandera dan dibebaskan sampai 44 kali. Berbagai penguasa dunia silih berganti menguasai wilayah yang berpenduduk hampir 800.000 jiwa dan kini menjadi ibu kota Israel ini. Hal terakhir ini pun bukan tanpa masalah dari kacamata dunia internasional.
Dalam buku keduanya ini, penulis tidak sekadar menggali lebih jauh dari sejarah kota dan lingkup sosial politiknya. Ditampilkannya eksplorasi yang terkait dengan bagaimana kejayaan Kerajaan Romawi pada masa lalu berkelindan dengan sejarah perkembangan agama Yahudi dan Kristen serta tragedi kematian para nabi.
Konteks penyaliban
Angka 33 yang tercantum dalam judul adalah simbol untuk menyebutkan tentang kurun waktu ”manusia” Kristus yang pernah hadir di dunia, menyejarah lewat karya-karyanya, dan sejumlah peninggalan arkeologis mendukung aneka rekaman sejarah tersebut. Penulis buku dengan cermat menimbang aneka versi tentang umur hidup Kristus. Namun, ia kemudian yakin bahwa 33 tahun adalah angka yang lebih masuk akal(nya).
Buku ini menampilkan pembacaan kembali atas peristiwa religius dengan perspektif yang lebih luas, dengan alat bantu teologi serta ilmu-ilmu sekuler lain, seperti sejarah, arkeologi, geografi, terkadang botani, politik, dan sosiologi agama. Jika dilihat dari kacamata iman, karya ini menjadi suatu pelengkap atau pengisi pengetahuan keimanan yang kerap tersisih ketika manusia yang beragama terjebak dengan aneka peristiwa ritual.
Dari buku ini akan dipahami aneka konteks sejarah, sosial, dan politik di balik kemunculan seorang biasa yang lalu dikenal sebagai Mesias. Kita juga diajak untuk memahami konteks kematian atau penyaliban Kristus dalam konteks masa lalu. Penulis mencoba menggambarkan, siapa yang sesungguhnya berkepentingan atas kematian sang Mesias, lalu mengapa yang dilakukan adalah hukuman penyaliban, apa makna penyaliban itu sendiri sebagai suatu bentuk hukuman? Mengapa jenis hukuman ini yang diberikan kepada Kristus? Di mana pula letak saling keterpautan kepentingan Kerajaan Romawi, kekuasaan pemuka agama Yahudi, dan para murid Kristus itu sendiri? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini masih bisa terus diperdebatkan.
Politik cinta kasih
Lewat penelusuran kekayaan bahan pustaka yang dimilikinya, penulis memberikan jawaban berupa paduan penjelasan yang profan, tetapi sekaligus juga menyiratkan yang religius. Muara dari sejumlah jawaban tadi—menurut saya—adalah bagaimanapun juga kehadiran Kristus di dunia adalah suatu peristiwa politik, dan penyingkiran Kristus juga adalah peristiwa politik. Namun, ada fenomena politik lain yang kemudian keluar sebagai pemenang: politik yang menawarkan cinta kasih, politik yang menawarkan kedamaian, dan itulah yang membuat karisma yang menyejarah ini menjadi tersebar ke aneka penjuru dunia.
Sah saja jika penulis buku ini, dalam melihat sejarah Jerusalem, mengambil perspektif yang mungkin berbeda dengan Karen Armstrong (1996), yang penuh simpatik menggambarkan sejarah tiga agama yang bermuara di Jerusalem ini. Namun, sebagaimana dinyatakan Mudji Sutrisno dalam pengantar buku ini, yang ditulis terhadap kota Jerusalem ini sudah melewati cara melihat (mata) dari seorang wisatawan, peziarah, pengelana, dan wartawan. Seorang Komaruddin Hidayat menilai buku ini menjadi penting untuk menyadarkan bahwa ”betapa agama telah terseret begitu jauh dalam konflik berdarah-darah yang penggerak utamanya adalah faktor-faktor non-agama”.
Buku ini menyegarkan dan sekaligus informatif karena teks-teks panjang dipadu dengan sejumlah ilustrasi, foto, dan grafis untuk melengkapi penjelasan. Beberapa bagian sebenarnya mengundang keingintahuan lebih jauh, misalnya bagaimana seni budaya pada masa lalu itu menggambarkan sosok seperti Pontius Pilatus, Raja Herodes, pun sosok Kristus itu sendiri walau yang kini dikenal universal dianggap bias Barat karena digambarkan berambut pirang dengan hidung yang mancung. Kehadiran sejumlah ilustrasi dari seni budaya masa lalu pasti juga akan semakin memanjakan pembaca atas perjalanan interpretasi sejarah kota Jerusalem ini. Memang tidak mungkin kita melihat sejarah kota ini semata-mata dari pandangan yang tunggal.
Ignatius Haryanto, Penulis Buku; Direktur Eksekutif LSPP Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011
No comments:
Post a Comment