-- Imam Hamidi Antassalam
KETIKA di masa lalu Nusantara, terutama tanah Jawa, masih dikuasai oleh sultan dan raja-raja, kaum santri dari kalangan pesantren memiliki posisi sosial yang tinggi bahkan dapat dibilang istimewa.
Di dalam pesantren, seorang kiai kerap mengunjungi asrama atau kamar para santri untuk memperbincangkan segala perkara yang dihadapi —laik bahsul masail— baik yang ilmiah maupun alamiah, di samping akrab dengan masyarakat di sekitar pesantren. Hubungan masyarakat dan pesantren pun erat dan dekat, begitu menyatu.
Dari suasana itulah lahir pemikir-pemikir Islam yang berintegritas tinggi, mumpuni, dan bereputasi internasional, seperti Kiai Nawawi (Tanara, Banten; 1815-1897), Kiai Ihsan (Jampes, Kediri), Kiai Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang; 1871-1947), Kiai Ali Maksum (Krapyak, Yogyakarta; 1915-1989), Kiai Mustofa Bisri (Rembang; 1915-1977), dan banyak kiai yang menelurkan karya-karya ternama. Karya-karya itu berupa kitab-kitab, catatan-catatan hikayat, dan syiiran.
Kiai Nawawi, misalnya, menghasilkan tidak kurang dari 411 kitab yang berbicara tentang ajaran moral Islam (ilmu bahasa, hadis, akhlak), teologi (ilmu tafsir, fikih, ushul fiqh), dan mistisisme (tasawuf). Karya-karya itulah kemudian yang menjadi anutan dan acuan bagi para ulama besar pengikutnya, seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Abdullah Wahab Hasbullah, dua pendiri Nahdlatul Ulama, maupun Ahmad Dahlan, pelopor berdirinya Muhammadiyah.
Begitu besarnya jasa Kiai Nawawi dalam pengembangan dakwah Islam dan reputasinya yang tinggi sebagai intelektual Muslim, tak mengherankan jika kemudian ia memeroleh gelar sayyid ulama Hijaz. Namanya pun kemudian tercantum dalam kamus Al-Munjid karya Louis Ma’luf, sebuah kamus berbahasa Arab yang dikenal dunia paling lengkap.
Di paruh pertama tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari—selepas belajar dari Kiai Nawawi— membeli sebidang tanah dan membangun pesantren di atasnya yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren Tebuireng. Selain mendidik puluhan ribu santri, pesantren itu pun mencetak ribuan ulama terkemuka terutama di tanah Jawa.
Karena jasanya itulah, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian mendapat gelar kiai agung atau hadratussyeikh. Untuk mengenang jasa dan pengabdiannya kepada Tanah Air, Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 294 Tahun 1964 menetapkan KH Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.
Bentuk ideal
Pesantren dalam bentuk ideal sesungguhnya dapat berposisi sebagai miniatur Indonesia. Di komunitas agama inilah bertemu keanekaragaman budaya yang dibawa masing-masing santri yang berasal dari daerah bahkan bangsa yang berbeda. Pesantren memberi bekal ilmu bagaimana hidup bermasyarakat dan hidup dengan orang lain melalui pergaulan yang intens dengan berbagai budaya.
Dalam sejarah nasional kita, pesantren juga berperan besar terhadap munculnya semangat dan ide keindonesiaan. Para kiai Indonesia juga terkenal akan keterbukaan pemikirannya yang toleran dan egaliter sehingga membuka ruang diskursus yang ketat. Namun, saat ini bentuk ideal itu tampaknya harus mulai direkonstruksi ulang. Kini banyak kiai yang terjun langsung dalam kehidupan praksis, termasuk dalam politik. Ini tidak salah, karena seorang ’’imam’’ atau kiai juga bertugas menyejahterakan umat.
Namun, ini harus diwaspadai. Jika tidak hati-hati, fenomena ini bisa menciptakan semacam krisis pada dunia pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga penguatan masyarakat sipil, pembentukan karakter, pengolahan ide, hingga penguatan rasa kebangsaan.
Imam Hamidi Antassalam, Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta, Pengelola Rumah Baca Al-Hamda, Cilacap.
Sumber: Kompas, Senin, 18 April 2011
No comments:
Post a Comment