-- Bandung Mawardi
KASUS perbukuan di Jepang mungkin bisa dijadikan referensi untuk Indonesia membenahi agenda literasi. Jepang pernah dijuluki "negara buku". Julukan ini mengacu kepada ambisi perubahan Jepang abad XIX dengan produksi buku sebagai manifestasi pembelajaran dan persaingan dengan negara Barat.
Hasrat kemajuan diagendakan negara untuk memartabatkan diri di mata dunia. Perubahan dilakukan atas nama optimisme menjadikan Jepang sebagai kekuatan dunia. Masa kekuasaan Tokugawa (1600—1868) menjadi tanda dari gairah dan ikhtiar pembentukan Jepang modern.
Akar-akar religi dan kultural menjadi fondasi. Keterbukaan terhadap modernisasi di Eropa dan Amerika menjadi pemantik progresif. Jepang menggeliat dan tampil sebagai negara besar. Buku dalam proses kemodernan ini diakui sebagai medium kunci transformatif.
R. Dore (1965) menulis "Negara Jepang pada masa akhir pemerintahan Tokugawa merupakan dunia dipenuhi buku." Buku adalah menu modernisasi modal pembelajaran, dan pikat memasuki dunia baru. Buku memicu revolusi pemikiran, menyemai antara akar-akar tradisi dan olahan hembusan pembaratan.
Kisah perubahan Jepang oleh buku memang fenomenal. Jepang pernah mendirikan Lembaga Penelitian Buku-Buku Orang Biadab pada abad XIX. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Buku-Buku Barat dan berubah lagi menjadi Lembaga Pengembangan (Kaiseijo).
Lawatan kalangan sarjana ke Amerika dilakukan untuk mencari model pencapaian modernitas. Rombongan datang ke Amerika disambut Walt Whitman. Pujangga kondang ini memberi persembahan puisi A Broadway Pageant. Lawatan ke Amerika dan Eropa adalah pikat modernitas.
Fukuzawa Yukichi adalah orang penting dalam pencatatan lawatan ke negara-negara Barat. Pelbagai hal dan kisah tercatat dalam buku monumental: Keadaan di Barat dan Mendorong Mencari Pengetahuan. Buku-buku ini menjadi sandaran untuk dunia pendidikan di Jepang (Marius B. Jansen, 1983).
Buku merupakan modal besar dalam menentukan kualitas modernisasi. Eropa dan Amerika telah menjadi tanda seru agar Jepang bergegas, lihai mengonstruksi kemodernan, dan lentur dalam percampuran corak Timur dan Barat. Jepang memutuskan menjadi negara buku, modernisasi digerakkan oleh buku, dan meniru negara-negara Barat dan Amerika adalah rumus kompetitif.
Jepang pun menjadi negara agung di dunia pada abad XX. Dunia terkejut dan terpana perubahan Jepang. Negara ini tampil sebagai kekuatan besar dalam lini ilmu pengetahuan, militer, teknologi, dan sastra. Semua ini bukti keajaiban Jepang.
Doktrin perubahan Jepang: Menguasai pengetahuan adalah kebutuhan mahapenting. Ezra F. Vogel (1982) menjuluki Jepang sebagai “negara jempolan” karena sanggup menimbulkan kecemasan bagi Eropa dan Amerika. Strategi modernisasi, peran buku, dan ulah kesarjanaan membuat Jepang mampu menandingi dan melampaui paket modernisasi di negara-negara maju.
Perubahan ini kentara mengadopsi dari pelbagai pola di Barat dan Amerika, tetapi Jepang kokoh karena mereferensikan diri pada akar-akar tradisi. Wajah Jepang modern adalah pancaran dari afirmasi atas tradisi, religi, dan kultural. Kematangan dalam menggulirkan agenda perubahan di Jepang diakui Ruth Bennedict (1982) sebagai bukti kemodernan bersumber dari konstruksi pola-pola kultural dan pengagungan tradisi dalam tafsir produktif.
Kisah Jepang ini tidak dimaksudkan untuk membuka aib negeri sendiri. Indonesia memang telanjur mendapati julukan negara miskin buku. Negeri ini menjadi modern seolah tanpa fondasi buku. Sejarah pendidikan modern memang mencirikan kemelekaksaraan kendati tidak memberi jaminan loterasi sebagai kekuatan perubahan.
Kisah-kisah para tokoh bangsa masih mencirikan agenda kemodernan identik dengan buku. Sukarno, Mohamad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Tan Malaka adalah para pecandu buku. Antusiasme membaca dan menulis buku memicu pelbagai pembaruan.
Kolonialisme kerap dijadikan sebagai momok dari kelambanan perubahan. Arus modernisasi seolah mutlak ditentukan pihak kolonial. Kolonialisme sebagai argumentasi politis mungkin telah basi saat Indonesia menginginkan diri sebagai negeri bermartabat. Kabar tentang kemiskinan dalam produksi buku, kebobrokan perpustakaan, atau kebijakan naif oleh negara mencirikan ada kelengahan dalam pemahaman buku sebagai fondasi peradaban modern.
Pengabaian buku mungkin telanjur sebagai “kodrat dekandensi” di Indonesia. Indonesia adalah negara miskin buku karena geliat perubahan hampir tak identik dengan resepsi publik terhadap buku secara konstruktif. Penyelenggaran pendidikan gagal dijadikan sumber dari persemaian pengetahuan dengan acuan buku.
Segala aspek pendidikan seolah menjadikan buku sekadar sebagai instrumen atau dekorasi. Ironi ini terbiarkan sejak lama tanpa ada rasa malu atau minder di hadapan negara-negara melek buku.
Ignas Kleden (1999) mengungkapkan bahwa buku menandai tahap-tahap modernisasi. Buku bagi paket perubahan tak sekadar dipahami sebagai misi ekonomistik. Buku justru sejak mula adalah masalah kultural. Buku adalah produk kultural, bagian dari tingkah laku kultural dan proses produksi kultural.
Gambaran-gambaran ini susah ditemukan dalam profil Indonesia. Buku hampir kehilangan peran sebagai penopang identitas-kultural dalam memartabatkan Indonesia. Kisah Indonesia sebagai negara miskin buku jarang menjadi agenda krusial dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
Kabar baik tentang buku dan pembentukan masyarakat pembelajar sekadar termaktub dalam proposal. Negara mungkin tidak berkepentingan dengan buku kendati tindakan menyepelekan ini telah mencederai impian perubahan. Buku sebagai sampiran. Model ini menandai ada penampikan negara terhadap buku sebagai fondasi pemartabatan negara. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment