MASIH teringat pada Maret tahun lalu Kompas berbincang dengan wartawan senior Rosihan Anwar di rumahnya yang nyaman di Jalan Surabaya, Jakarta. Saat itu ia mengaku mulai sakit-sakitan. Namun, siapa menduga, Kamis (14/4) pukul 08.15 di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta, tokoh pers nasional itu akhirnya berpulang....
Tokoh pers lintas generasi Rosihan Anwar meninggal dunia dalam usia 89 tahun karena sakit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah tokoh melayat di rumah duka di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (14/4). Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)
Masih teringat pula kalimatnya, ”Saya ini wartawan spesialis menulis obituari teman-teman saya yang meninggal dunia, ha-ha-ha....”
Kini, kami menulis obituari tentang ”penulis obituari” itu. Tanggal 10 Mei mendatang ia akan genap berusia 89 tahun.
Pada minggu kedua Maret 2011 Rosihan mulai dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena penyakit jantung. Pada 24 Maret 2011 Rosihan menjalani operasi bypass. Keadaannya sempat membaik dan diperbolehkan pulang pada 13 April 2011. ”Tetapi, hanya semalam di rumah. Keesokan hari, Kamis, 14 April pukul 07.30, Bapak kembali anfal dan kami bawa ke RS MMC, tetapi tak tertolong,” kata anak kedua Rosihan, Omar Luthfi Anwar.
Rosihan berpulang menyusul istrinya, Zuraidah Sanawi, yang meninggal pada 5 September 2010. Ia meninggalkan tiga anak—dr Aida Fathya Anwar (61), Omar Luthfi Anwar (59), dan dr Naila Karima Anwar (57)—enam cucu, dan dua cicit. Kamis sore, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer.
Saat disemayamkan, rumah duka dipenuhi pelayat yang merasa kehilangan. Mereka berasal dari lintas kalangan: keluarga, sahabat, pejabat, tokoh politik, tokoh pers, serta tokoh budaya dan keagamaan.
Selain sejumlah menteri dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, datang pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ny Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Tokoh pers yang tampak melayat, antara lain, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Pemimpin Trans Corp Ishadi SK, serta pemilik dan pendiri Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan. Ada pula politisi, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Di mata para tokoh, Rosihan adalah wartawan, pelaku dan pencatat sejarah, pejuang kemerdekaan, serta pemikir yang terus aktif menyumbangkan gagasan kritis hingga akhir hayatnya. Dengan menekuni profesi sebagai wartawan, ia ikut membangun dan memberikan sumbangan besar bagi negeri ini.
”Enam zaman”
Menurut Taufik Abdullah, sejarawan, julukan wartawan ”enam zaman” patut dilekatkan pada sosok almarhum. Rosihan muda mulai mengembangkan diri menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), lalu zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).
Ia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah diberedel tiga kali. Pertama, Pedoman diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama pada 7 Januari 1961. Setelah terbit lagi pada masa Orde Baru, koran itu diberedel lagi oleh Soeharto pada 18 Januari 1974.
Ia kemudian menjadi penulis lepas di berbagai media, tak hanya dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti Asia Week (Hongkong), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia), The Hindustan Times (India), Het Vriye Volk (Belanda), dan The Melbourne Age (Australia).
Meski tak berpendidikan formal sejarah, Rosihan memberikan sumbangan penting bagi sejarah. Dia menjadi saksi dan pelaku sejarah sejak zaman Jepang hingga kini. Semua dituliskannya, seperti dalam buku Sejarah Kecil (empat jilid). Dia penulis yang mengenal banyak tokoh. ”Tulisannya memberi sumbangan luar biasa bagi bangsa ini,” kata Taufik Abdullah.
Menurut Jakob Oetama, Rosihan adalah tipe wartawan idealis yang menempatkan kerja jurnalistik sebagai panggilan hidup. Dengan itu, dia mengembangkan diri dan memberikan kontribusi pada kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat. Sebagai wartawan, ia selalu memihak kepentingan umum.
”Saya berguru pada beliau. Beliau suka membaca, ingatannya tajam, dan independen. Beliau penulis yang lancar sekali, bahkan punya kecenderungan sebagai sastrawan dengan bahasa bergaya indah dan kaya ungkapan,” papar Jakob Oetama.
Wartawan senior August Parengkuan mengisahkan, pada saat terakhir bertemu, Rosihan menyatakan ingin dikenang sebagai guru para wartawan.
Seorang tokoh pers di Sumatera Barat, Marthias Dusky Pandoe, mengatakan, Rosihan adalah tokoh pers yang layak dianugerahi gelar pahlawan nasional. ”Ia tidak ada cacatnya. Ia sosok yang tidak gampang dibeli dan selalu berpegang pada kode etik. Ia guru,” ujarnya.
Rosihan juga wartawan yang produktif menulis hingga akhir hayatnya. Sebelum meninggal, dia menyiapkan satu buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi. Ini buku tentang istrinya. ”Kami akan menerbitkannya,” kata Jakob Oetama yang menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat Rosihan menjadi Ketua Umum PWI.
Ketua Umum PWI Margiono menyatakan, Rosihan adalah teladan, wartawan yang idealis, independen, dan produktif.
Wapres yang tiba di rumah duka sekitar pukul 13.00 mengakui, Rosihan adalah saksi sejarah Indonesia. Rosihan banyak membuat karya untuk mendokumentasikan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Presiden Yudhoyono mengakui pula, Rosihan adalah wartawan yang kritis, tetapi bertanggung jawab. Rosihan juga dipuji sebagai tokoh segala bidang, mulai dari film, sastra, hingga pers. ”Kita kehilangan salah satu tokoh besar, tokoh segala zaman,” katanya.
Presiden melanjutkan, ”Beliau beberapa kali juga kritis terhadap saya, tetapi kami bersahabat.” (lok/iam/dmu/ink/why/ato)
Sumber: Kompas, Jumat, 15 April 2011
No comments:
Post a Comment