Sunday, April 17, 2011

[Kehidupan] Semeter dari Pinggir Rel Kereta

-- Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni

DI pinggir rel kereta Jabodetabek, ribuan warga miskin menetap dan beranak pinak. Kehidupan berlangsung di tengah ancaman sambaran kereta.

Selamat Datang Para Tamu”. Kalimat itu tertulis di sebuah gubuk di perkampungan Kebon Melati, tepat di pinggir rel kereta api jalur Tanah Abang-Serpong, Senin (11/4). Penghuni gubuk itu, Bambang, sedang mengadakan pesta pernikahan anak perempuannya, Indriani, dengan pemuda setempat, Zeini.

Meski sederhana, pesta berlangsung cukup semarak. Musik dangdut seolah bersahut-sahutan dengan deru kereta api yang lalu lalang di jalur itu. Para tamu datang dan pergi melintasi empat jalur kereta api. Sebagian tamu duduk di kursi-kursi lipat, sebagian lagi duduk di besi rel kereta.

Ketika kereta lewat, mereka menyingkir sejenak. Setelah itu, mereka kembali duduk di bantalan rel, melanjutkan canda dan tawa bersama. Begitu seterusnya. Tidak ada yang tampak cemas dengan kereta api yang lalu lalang hampir setiap 10 menit sekali. Para tamu yang membawa anak bahkan membiarkan anak-anak mereka bermain dan berlarian di atas rel kereta.

Begitulah, bagi mereka yang terbiasa tinggal di pinggir rel, kereta seperti bukan ancaman. Kereta yang melintas seolah-olah hanya penanda bahwa mereka mesti menyingkir sejenak dari atas rel. Tengoklah, Kebon Melati di pagi atau siang hari. Penghuninya memusatkan hampir seluruh kegiatannya satu-dua meter di pinggir rel kereta. Mulai dari memasak, mencuci piring, memandikan anak, menjemur barang bekas, mengaji, bermain, hingga sekadar berleha-leha.

”Kami sudah hafal kapan kereta api akan lewat. Kami tidak terlalu khawatir,” ujar Tri (34), ibu rumah tangga dan guru mengaji yang tinggal di sana.

Permukiman yang muncul mulai pertengahan tahun 1990-an itu, berdiri di atas tanah kosong di antara jalur kereta api Tanah Abang-Serpong dan Tanah Abang Manggarai. Gubuk-gubuk dibuat seadanya dari kardus dan tripleks bekas. Satu sama lain saling menempel menghasilkan udara pengap dan lembap.

Suhadi (74) mengatakan, tahun 2005, keluarga yang tinggal di sana jumlahnya ratusan, dan bertambah setiap tahun. ”Kalau dihitung jiwa, mungkin jumlahnya sudah ribuan,” ujar sesepuh kampung itu yang tinggal di sebuah gubuk ukuran 3 x 4 meter bersama istri ketiganya dan lima dari 24 anaknya.

Kami bertandang ke gubuk Suhadi, Selasa (12/4) siang. Lantai gubuk yang dilapisi keramik kusam itu, terasa bergetar setiap ada kereta lewat. ”Kami sudah terbiasa. Meski setiap menit ada kereta lewat, kami tetap bisa tidur nyenyak,” ujar Suhadi.

Di Kebon Sayur, permukiman padat berdiri sekitar 500 meter dari Stasiun Jakarta Kota. Hampir setiap jengkal tanah permukiman yang berbatasan langsung dengan jalur rel kereta Jakarta-Bekasi itu, ’ditumbuhi’ kamar-kamar petak dari beton. Kamar-kamar itu disewakan rata-rata Rp 200.000 per bulan. Penyewanya antara lain para buruh pabrik berpenghasilan cekak.

Watiyem (38), asal Wates, Yogyakarta, tinggal di sana sejak 20-an tahun lalu. Dia membuka warung di rumahnya. Karena rumahnya sangat sempit, dia memilih memasak di ”dapur darurat” yang berjarak 3-4 meter dari rel kereta. Kegiatan itu dia lakukan setidaknya dua kali, yakni menjelang subuh dan di siang bolong.

Begitulah, hampir di sepanjang lintasan kereta api Jabodetabek permukiman semacam itu tumbuh subur. Beberapa lokasi yang tergolong padat antara lain di dekat Stasiun Senen, Duri, dan Muara Angke.

Selain sebagai tempat tinggal, tanah kosong di pinggir rel kereta api banyak dimanfaatkan para pedagang. Ngapiah (51), sejak belasan tahun berjualan sayur-mayur di pinggir jalur kereta api dekat Stasiun Kebayoran Lama. Lapaknya hanya berjarak sekitar 50 cm dari rel jalur satu. Seluruh aktivitasnya, mulai menyiangi sayuran, mengupas buah, dia lakukan di atas rel.

Ketika akan ada kereta melintas, seorang petugas stasiun memberi tahu Ngapiah dan pedagang lainnya, ”Awas jalur dua!” Ngapiah beringsut sejenak keluar rel hingga kereta yang membawa semen dari Merak melintas di depannya.

Ngapiah tidak khawatir dengan lalu lalang kereta api sebab petugas pasti memberitahunya. Sebagai tanda terima kasih, dia dan pedagang lain patungan untuk memberi tip kepada petugas sebesar Rp 10.000 setiap hari.

”Ya, kata mereka itu untuk uang kopi dan sarapan,” ujar Edy, petugas di pintu perlintasan kereta api Kebayoran Lama.

Tersambar kereta

Mereka semua tahu, tinggal dan beraktivitas di pinggir rel sesungguhnya berbahaya. Apalagi, sebagian dari mereka pernah menjadi saksi mata sebuah kecelakaan tragis di lintasan kereta.

Watiyem masih ingat tiga kecelakaan yang terjadi sekitar setengah tahun lalu. Korbannya tewas tersambar kereta. ”Mereka penghuni baru atau orang yang kebetulan melintas. Mereka sering lengah dengan kereta langsir yang berjalan mundur didorong lokomotif, atau kereta listrik yang nyaris tidak bersuara,” ujarnya.

Di Kebon Melati, peristiwa serupa terakhir terjadi dua tahun lalu. Tri menceritakan, ketika itu ada seorang anak balita yang lepas dari pengawasan orangtuanya, tewas tertabrak kereta api.

Kepala Humas Daop 1 PT Kereta Api Indonesia Mateta Rijalulhaq mengatakan, permukiman yang tumbuh di pinggir perlintasan kereta api tidak hanya membahayakan penghuninya, tapi juga perjalanan kereta api. ”Keberadaan permukiman itu mempersempit jarak pandang (masinis),” ujarnya.

Seharusnya, lanjut Mateta, daerah dalam radius minimal enam meter dari sisi rel adalah steril. Kenyataannya, hampir semua tanah kosong di perlintasan kereta api di Jabodetabek dijejali gubuk-gubuk dan rumah petak.

Permukiman padat di pinggir rel, menurut Mateta, juga berisiko tinggi memicu kebakaran. ”Kalau kebakaran sampai terjadi, peralatan persinyalan kereta pasti rusak. Ujung-ujungnya, perjalanan kereta api di Jabodetabek akan terganggu.”

Makmur Syaheran, Sekretaris Perusahaan PT Kereta Api Indonesia Commuter Jabodetabek (KCJ), mengatakan, limbah permukiman yang mengalir ke lintasan kereta mempercepat korosi rel. ”Akibatnya, rel jadi getas dan mudah patah.”

PT KAI sebenarnya sudah beberapa kali menertibkan permukiman di pinggir lintasan kereta api. ”Setiap kali petugas kami pergi, gubuk-gubuk itu berdiri lagi,” ujar Mateta.

Begitulah, mereka berhadap-hadapan dengan orang-orang yang tidak punya banyak pilihan. Jika bisa memilih, pasti orang-orang seperti Suhadi tidak memaksa tinggal di bantaran rel kereta. Mereka, kini dan entah sampai kapan mencoba membiasakan diri hidup bersama bahaya, yang saban hari menyeringai....

Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011

No comments: