-- Maria Hartiningsih
MATAHARI membakar siang. Nurjamilah (1) tenang dalam dekapan sang nenek, Hj Mardiyah (50-an), di mulut gang Kampung Kepuh, Desa Lebak Kepuh, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten. Jalanan sepi. Di depan banyak rumah, perempuan lanjut usia mencangkung sambil mengasuh cucu.
Buruh angkut di Pasar Pabean, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/4). "Kartini" ini berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia menerima bayaran Rp 2.000 untuk sekali angkut beban yang bisa mencapai 50 kilogram. (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Di sudut lain, Umar (25-an), sebut saja begitu, menggendong Tari (1) berbelanja ke warung. ”Istri saya ke Riyadh, kerja, sudah 10 bulan,” ujar Umar. ”Masih lama pulangnya.”
Kepergian perempuan usia produktif dari kampung itu untuk menjadi buruh migran adalah hal biasa, termasuk yang buta aksara, seperti salah seorang kerabat Leila (21). Bekerja ke Arab Saudi juga menjadi cita-cita Nisa (14) yang baru saja menikah.
”Saya baru pulang enam bulan lalu,” ujar Leila, anak Mardiyah. Empat anggota keluarga Mardiyah, tiga perempuan, pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Timur Tengah. Satu anak laki-laki Mardiyah masih bekerja di sana. Dua anak laki-laki yang lain tinggal di rumah. Setiap bulan Leila mengirim uang kepada ibunya.
Leila berangkat pada usia sekitar 13 tahun. Ia sudah tiga kali pergi-pulang bekerja ke Timur Tengah. Di Abu Dhabi, ia menikah dengan buruh migran Pakistan yang tak sekali pun mengirim uang setelah Leila pulang. ”Kalau Jamal enggak nyusul ke sini, ya saya kawin lagi saja,” kata Leila ringan.
”Anak dinar”
Di desa-desa di Kabupaten Serang, menjadi tenaga kerja wanita (TKW)-PRT adalah kisi-kisi untuk menyelamatkan ekonomi keluarga.
”Kalau mitosnya perempuan dibuat dari tulang rusuk laki-laki, perempuan di sini dibuat dari tulang punggungnya,” ujar Mega Amelia dari organisasi kemasyarakatan Aisyiah, Serang, yang sedang melakukan upaya advokasi di bidang kesehatan dasar, sanitasi, dan pendidikan untuk penguatan hak-hak perempuan secara bertahap di wilayah itu dibantu The Asia Foundation.
Di desa-desa itu, bayi perempuan ditimang-timang sebagai ”anak dinar”. ”Kalau perempuan mau berangkat ke Arab, enggak bayar, malah dikasih uang Rp 4 juta,” ujar Risma. ”Kalau laki-laki bayar, bisa sampai Rp 9 juta.”
Risma berkulit terang, bermata bulat, tatapannya tak bersahabat. Katanya, dia baru beberapa hari tiba. Di sampingnya, sang ibu, yang buah dadanya sudah kisut, menyusui anak laki-laki dua tahunan yang diakui sebagai anaknya.
”Nanti kalau anak saya sudah agak besar mau saya titipkan kepada ibu saya. Saya mau kerja lagi, soalnya rumah orangtua saya belum selesai. Adik saya dua, laki-laki semua, tak bisa diharapkan. Suami saya juga sama,” ujar Ida Farida (23) dari Desa Samparwadi, Kecamatan Tirtayasa. Ia baru setahun menikah dan melahirkan setelah empat kali pergi-pulang ke Arab. ”Dijodohin orangtua,” ujarnya.
”Saya juga dijodohin, tapi cuma seminggu, lalu cerai,” ujar Amelia (31), mantan TKW-PRT yang kuliah lagi dan kini menjadi kader desa. Semua anak perempuan bekerja atas nama ”bakti kepada orangtua”. Memenuhi tuntutan budaya, khususnya, menikah dan punya anak adalah bagian dari ”bakti”. Ketika mereka pergi bekerja, beban pengasuhan anak dipegang ibu.
Namun, tampaknya semua itu tak cukup berarti. Hj Eli Subarkawati (69), misalnya, yang pernah bekerja di rumah emir Arab selama 12 tahun, bahkan sering diajak pelesir keluarga majikannya ke Amerika dan Eropa, tetap menghuni rumah tua di labirin di Desa Samparwadi.
”Uangnya dikirim ke orangtua. Adik saya banyak. Juga untuk biaya sekolah anak.”
Hanya satu dari tiga anaknya yang merampungkan sekolah lanjutan tingkat atas dan bekerja sebagai guru.
Kemajuan semu
Kabupaten Serang adalah kantong kemiskinan di Provinsi Banten dengan 25,88 persen penduduk miskin pada 2010. Bandingkan dengan 7,16 persen angka kemiskinan rata-rata di Provinsi Banten menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Banten 2010.
Gambarannya terlihat jelas di sisi jalan Pontang-Ciruas. Saluran air persawahan berwarna coklat tua dengan kandang bebek di pinggirnya adalah tempat warga mandi, cuci (termasuk beras dan sayuran), buang air besar, juga wudu.
Kualitas hidup manusia— yang tecermin dari indeks pembangunan manusia—di Kabupaten Serang merupakan yang terendah di Banten. Kondisi sebenarnya tak akan terlihat dari balik kaca mobil mewah.
Fakta sebenarnya bukanlah hamparan sawah hijau dan deretan rumah tembok hasil kerja perempuan migran. Pemandangan itu mengecoh, seolah kemiskinan telah teratasi, karena indikator formal terlepas dari tragedi hidup perempuan.
Sepupu Amelia, misalnya, 10 tahun tak ada beritanya. Aminah tewas disiksa dan diperkosa, Agustus 2007. Belum lagi kasus-kasus penipuan oleh suami dan anggota keluarga lain. Tak ada perlindungan dan jaringan pengaman dalam arti luas bagi perempuan yang bertaruh hidup di negeri orang.
Rumah-rumah tembok itu dibangun di atas fondasi keamanan sosial yang sangat rapuh, ibarat bangunan pasir. Seperti dikatakan aktivis Lies Marcoes, ”Seluruh keprihatinan Kartini sejak meninggalnya 107 tahun lalu tak bergerak di wilayah ini.”
Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011
No comments:
Post a Comment