Sunday, April 10, 2011

Utopia Pesan dalam Botol

-- Putu Fajar Arcana

SEBUAH pertanyaan besar: seperti apakah seni jika ia berbicara tentang hal-hal di luar estetika? Meski tidak mengeduk sampai ke relung kebrutalan, pameran Sin City, an Exhibition of Sustainable Art, mencoba menyodorkan seni dalam bingkai etika sosial pada masyarakat urban kota.

Foto dokumentasi dalam proses pembuatan video art karya Heri Dono yang bertajuk Scapegoat Republic ikut menyemarakkan pameran seni Sin City di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (8/4). Kegiatan ini akan berlangsung hingga 17 April mendatang. (Kompas/Wawan H Prabowo)

Rumusan tentang etika sosial itu diterjemahkan dalam sebuah proyek seni oleh seniman Hendra Bayu Hermanto bertajuk ”Wishes in the Bottle Project”. Ia menyiapkan satu bingkai cerita bahwa seseorang sedang berada di sebuah pulau saat zaman tak menentu, adakah yang bisa menyelamatkannya? Silakan tuliskan harapan-harapan di atas kertas, lalu masukkan ke dalam sebuah botol dan kirimkan (doa).

Hendra sedang memainkan memori-memori kultural kita tentang mukjizat dalam doa serta kecenderungan penerimaan terhadap cakrawala harapan yang menanti manusia di sebuah kutub. Ia menarik memori kultural itu sampai ke batas kehidupan manusia urban sekarang ini. Bahwa harapan boleh jadi sesuatu yang selamanya tersimpan dalam sebuah botol. Dan kita seperti bertamasya saja, bisa setiap saat membaca harapan-harapan itu lewat dinding botol yang transparan. Sebuah utopia?

Kurator Bambang Widjanarko dalam pameran yang berlangsung 8-17 April 2011 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, ini tidak secara spesifik mengarahkan pameran dalam sebuah dinding utopia. Ia hanya memberi bingkai kemungkinan apa yang tercipta ketika para seniman disodori diskursus tentang seni yang berwawasan global, lingkungan, dan keadilan sosial. Sebuah bingkai yang sangat longgar dalam sebuah kerja kurasi.

Karya Hendra seolah dipertegas oleh Eddy Susanto yang, meski masih menggunakan media konvensional, menyuarakan tentang dasar-dasar dari konstruksi sebuah kota kontemporer. Ia memberi judul karyanya ”City of God”. Jangan terjebak dalam judul karena di atas kanvasnya, Eddy melukiskan konstruksi gedung-gedung menjulang di kota dibuat dari label-label multinasional, modal-modal besar, yang sesungguhnya jauh dari jangkauan kita. Inilah kota yang kini menjadi memori baru di benak manusia-manusia kontemporer. Soal Tuhan? Daripada berdebat pada hal-hal yang utopis, maka Tuhan sesungguhnya nyata, ada di sekitar gedung-gedung berlabel multinasional itu, bukan?

Bahkan, di mata Ismanto Wahyudi, yang membangun karya ”Chapter 33” dari keybord komputer dan papan sirkuit elektronik, memperlihatkan paru-paru peradaban kota sudah terjebak dalam perangkat-perangkat teknologi. Otak manusia sudah jauh tertinggal dari hal-hal yang bisa dilakukan sebuah program dalam komputer. Lalu, apa yang tersisa sesungguhnya?

Sampah

Kendati jauh dari kesan naratif, pameran ini memberi gambaran bahwa sisa-sisa peradaban itu selalu bernama sampah. Oleh sebab itulah, seniman seperti Tisna Sanjaya sangat getol menjalankan proyek daur ulang sampah plastik. Ia bahkan membangun situs aktivitas seni di tengah-tengah penimbunan sampah plastik Cigondewah, Bandung. Ia memboyong mesin pengolah dan plastik-plastik olahan ke dalam ruang pameran dan dibungkus dalam tajuk ”Panen Plastik dan Beras”.

Penyandingan kata ”plastik” dan ”beras” jelas dilakukan sebagai sindiran dua peradaban yang saling berkelahi. Jika dalam masa agraris, panen beras (padi) menjadi pengharapan, tetapi pada masa peradaban modern, jika kita salah urus, jangan bersedih kalau akhirnya kita memanen sampah plastik. Itukah hasil dari pencapaian peradaban manusia? Jika modernitas hanya menghasilkan sampah plastik, tentu akan menjadi sebuah kemunduran peradaban.

Baiklah. Masih ada yang bisa dilakukan di tengah hidup yang makin utopis tadi. Komunitas Atap Alis, misalnya, membangun instalasi berjudul ”Metamorphosis”. Mereka membangun ulang sampah-sampah plastik menjadi berbagai mainan, seperti mobil-mobilan, sepeda motor, boneka, dan berbagai mainan anak-anak. Botol-botol minuman mineral tiba-tiba menjelma menjadi sebuah truk. Gentong plastik tiba-tiba menjadi sebuah akuarium yang bernilai jual.

Cara ini memang tidak mengubah plastik menjadi benda yang bisa diurai ke dalam partikel-partikel yang ramah lingkungan. Sampah dalam makna denotatif memang hanya sebagian dari persoalan manusia modern. Namun, sesungguhnya sampah menjadi persoalan gawat yang menyerbu masuk ke bilik-bilik tempat tidur kita sepanjang waktu.

Itulah yang didedahkan oleh Amalia Kartikasari dalam ”To Control or To be Cotroled”. Karya ini menunjuk televisi sebagai pembawa ”sampah” visual ke dalam diri kita. Tinggal apakah kita mau dikontrol atau mampu mengontrol segalanya dengan penuh kesadaran. Ini jelas bukan sesuatu yang utopis. Hanya butuh kesadaran, kesadaran....

Sumber: Kompas, Minggu, 10 April 2011

No comments: