YUDISTIRA sebagai saudara tertua Pandawa memang sering dipandang bersalah karena telah menjerumuskan saudara-saudaranya dalam penderitaan panjang—12 tahun hidup di hutan dan setahun hidup menyamar tanpa boleh dikenal, kecuali kalau mereka harus mengulang kembali hukuman dari awal.
Seusai menjalani pengasingan dan penyamaran, kelima putra Pandawa menghadap Raja Wirata dalam busana kerajaan mereka. (Kompas/Ninok Leksono)
Tetapi, sekali konsekuensi dari satu perbuatan—dalam hal ini kalah dalam permainan dadu—diterima, semua harus tunduk pada hukum. Karena itulah, ketika Bima hendak mengamuk, demikian juga Arjuna, Yudistira mengingatkan, ketaatan terhadap hukum lebih tinggi nilainya daripada hukum itu sendiri.
Selain itu, membalas kebaikan orang, dalam hal ini Raja Matswapati dan Kerajaan Wirata yang telah memberi mereka penghidupan selama setahun, juga merupakan keharusan meski harus menyerempet bahaya penyamaran mereka diketahui. Bagi Yudistira, ia tak keberatan mengulangi masa hukuman daripada harus tidak membalas kebaikan.
Kebajikan-kebajikan hidup inilah yang ditampilkan dalam lakon wayang orang Wirata Parwa yang ditampilkan oleh Sekar Budaya Nusantara di bawah pimpinan mantan menteri Nani Sudarsono di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII, Jakarta, Minggu (17/4) petang.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari lakon ini adalah jangan tergesa-gesa dan rendah hati. Raja Matswapati tergesa-gesa ingin mengelu-elukan putranya, Wratsangka, yang ia kira berhasil mengusir pasukan Hastina, padahal yang melakukan itu adalah Wrehatnala yang tidak lain adalah Arjuna yang tengah menyamar sebagai guru tari.
Paling pokok dari semuanya adalah ajaran tentang kebaikan dan ketertiban yang diberikan oleh Resi Bhisma. Tatkala Prabu Anom Duryudana bertanya, di mana gerangan para Pandawa menyamar, Bhisma menjawab, kalau ada negara di mana ada ketertiban dan hukum tegak, di situlah Yudistira ada; kalau ada negara di mana penjahat ketakutan, di situlah Bima ada; dan kalau ada negara di mana seni budaya dan ilmu pengetahuan berkembang, di situlah Arjuna ada. Juga kalau ada negara di mana rakyat sejahtera dan pertanian maju, di situlah Nakula dan Sadewa ada.
Yang tak bisa dilupakan juga adalah ketika Bima, Arjuna, serta Nakula dan Sadewa tewas karena minum di satu mata air. Ketika Betara Darma datang dan bersedia menghidupkan kembali keempat Pandawa itu, ia bertanya kepada Yudistira, ia akan memilih siapa? Ternyata ia memilih Sadewa, dengan alasan demi keadilan agar yang hidup tidak semua anak Ibu Kunti, karena ayahnya—Pandu—memiliki dua istri, yakni Kunti dan Madrim, yang merupakan ibunda Nakula dan Sadewa.
Tarian para penari dan gubahan gendhing yang elok ditatap mata dan didengarkan telinga satu hal, namun hal lain yang tidak kalah penting adalah ajaran hidup yang dikandung oleh pergelaran seperti Wirata Parwa atau Pandawa Piningit ini. (nin)
Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011
No comments:
Post a Comment