- Myrna Ratna
”SAYA berdiri di hadapannya, memandangnya diam dengan mata berlinang-linang. Lama ia menggenggam tangan saya dan ujarnya secara berbisik, ’Perjuanganmu nanti akan hebat sekali, tetapi bersikaplah teguh, berani dan gembira, berdoa dan percayalah!' Roda-roda kereta bergerak dan perlahan-lahan kereta api meluncur keluar dari gedung stasiun......”
(catatan RA Kartini 8-9 Agustus 1901, tentang perpisahannya dengan pasangan suami istri Abendanon, dalam karangan berjudul: ”Beberapa jam dari kehidupan anak perempuan. Kenangan sentimentil seorang gadis tua.”)
Bagi Kartini, Nyonya Rosa Manuela Abendanon Mandri adalah cahaya pengharapan dalam hidupnya. Perkenalan itu dimulai ketika pasangan suami istri Abendanon berkunjung ke Jepara. Saat itu Jacques Henri Abendanon menjabat sebagai Direktur Kementerian Pengajaran dan Kerajinan, yang bersimpati terhadap kondisi masyarakat Bumiputera yang menurutnya telah diperlakukan tidak adil.
Sebagai direktur, ia kemudian menyusun rencana kurikulum pengajaran baru yang akan disosialisasikan ke seluruh Pulau Jawa, termasuk Jepara. Di sinilah, ia bersama istrinya bertemu dengan keluarga besar RA Kartini. Di dalam perjalanan kereta api yang melintasi Jepara, Kudus, Pati, dan Semarang, Kartini dan Abendanon bertukar pandangan tentang impiannya, bagaimana meningkatkan harkat bangsa Jawa dan kaum perempuannya.
Pertemuan itu sekaligus menjadi katarsis bagi kegelisahan Kartini yang cemas melihat kultur kolonial dan feodal Jawa saat itu, yang bukan saja membelenggu pemikiran dan kehendak perempuan, tapi juga menindas masyarakat. Lewat pertemuan di atas kereta api itu, Kartini seperti menemukan sosok yang membukakan cakrawala, penawar dahaganya terhadap gugatan intelektual. Semua itu ia curahkan lewat surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon sampai akhir hayatnya.
Untuk tetap memelihara dan memaknai kembali peristiwa bersejarah itu, Yayasan Warna Warni Indonesia (YWWI) menyelenggarakan Wisata Budaya Kereta Api bertajuk ”Kartini dan Kereta Api”, Sabtu (9/4) lalu, dengan rute perjalanan Stasiun Gambir-Stasiun Tanjung Priok, pergi-pulang. Tujuan acara ini, bukan saja untuk memahami pemikiran Kartini, tapi sekaligus mengenalkan warisan budaya kereta api yang di masa itu merupakan simbol modernisme.
Pemilihan Stasiun Tanjung Priok, bukan tanpa maksud. Stasiun peninggalan masa kolonial yang baru selesai direnovasi tahun 2009, itu merupakan stasiun yang memberangkatkan kereta api listrik pertama di Asia.
Respons terhadap acara ini luar biasa. Hanya dalam hitungan hari, tiket terjual habis. Ratusan perempuan—dan segelintir peserta pria—hari Sabtu pagi itu berkumpul di Stasiun Gambir mengenakan busana bernuansa putih. Cukup banyak figur publik yang hadir, di antaranya Mooryati Soedibyo, Titiek Soeharto, Rae Sita Supit, Astari Rasjid, Sendy Yusuf, Harry Darsono, dan banyak lagi.
Ketika roda-roda kereta bergerak, yang terpancar adalah suka cita peserta yang memilih-milih tempat duduk, teriakan di sana sini yang meminta foto bersama ataupun bertemu teman lama. Suasana ”heboh” ini tersela sejenak ketika makan pagi dibagikan.
Memasuki Stasiun Angke, Ketua Umum Yayasan Warna Warni Indonesia, Krisnina Akbar Tanjung, berbicara lewat pengeras suara tentang misi di balik perjalanan kereta yang memakan waktu sekitar satu jam itu. ”Silakan Anda melihat keluar jendela, inilah kehidupan masyarakat kita. Anda bisa melihat sendiri kondisi mereka yang sangat memprihatinkan,” kata Krisnina.
Namun apa daya suaranya tenggelam di antara keriuhan peserta yang sibuk memotret. ”Yah, saya memang tidak mau mengulang-ulang apa yang menjadi misi perjalanan ini, karena semuanya sudah tertulis di buku panduan yang sudah dibagikan sejak tiga minggu lalu. Saya tentunya berharap mereka sudah membacanya dan memahami apa sebetulnya yang menjadi pemikiran Kartini,” kata Krisnina yang dihubungi Kompas, Senin (11/4).
Satu abad
Kereta yang kami tumpangi berhenti di Stasiun Tanjung Priok, yang dibangun pada tahun 1914 pada masa Gubernur Jenderal AFW Indenburg. Stasiun yang rangkanya terbuat dari baja dengan rancangan menyerupai terowongan setengah lingkaran itu, merupakan karya Ir CW Koch, insinyur utama dari Staats Spoorwagen. Keindahan dan keaslian stasiun yang usianya hampir satu abad itu masih terjaga sampai saat ini.
Aula yang luas siang itu diubah menjadi ruang makan dengan puluhan meja makan bundar yang ditata artistik. Piring-piring makan berhiaskan foto RA Kartini diletakkan di atas meja bertaplak batik. Suasana tempo dulu berhasil dibangun melalui suguhan lagu-lagu keroncong perjuangan dan menu santap tradisional.
Mata menyapu ke dinding-dinding ruangan yang berjendela tinggi dengan hiasan kaca patri yang membiaskan pantulan cahaya berwarna merah kekuningan. Di sayap stasiun, berjejer ruang-ruang fungsional yang suasananya mirip dengan stasiun di kota-kota kecil di Jawa. Ada ruang kepala stasiun, ruang tunggu, ruang administrasi, semuanya masih terpelihara dan terjaga kebersihannya.
”Para peserta ini kalau tidak dibawa ke sini, ya tidak pada tahu kalau Jakarta memiliki gedung tua dan stasiun yang seindah ini. Banyak peserta yang terkagum-kagum dan mengaku kaget, bahwa kita ternyata memiliki heritage seperti ini,” lanjut Krisnina.
Ketika kereta bergerak pulang, raut lelah sudah menerpa wajah para peserta. Usai peragaan busana yang memanfaatkan ”catwalk” dari gerbong ke gerbong itu, tirai-tirai jendela kereta mulai dibuka. Satu demi satu penumpang memalingkan wajahnya ke arah luar. Pemandangan yang telah dilintasi tadi pagi kembali tersaji di hadapan mata. Rumah- rumah kumuh yang dipenuhi tali jemuran yang saling melintang, anak-anak yang berlarian di lintasan rel, juga para pemulung yang mendongakkan kepalanya dari balik rumah plastik... Bukankah ketertinggalan seperti ini yang membuat hati Kartini menjerit?
”Terus terang, ada perasaan bersalah di hati saya,” kata salah seorang peserta, Marcella Sapardan, President Director Intercontinental Bali Resort, sambil memandang keluar jendela. ”Ada baiknya dari awal ada pemandu yang mengenal betul wilayah ini dan bisa memberikan informasi pada peserta tentang daerah-daerah yang dilalui, termasuk kondisi masyarakatnya. Peserta yang ikut saat ini rasanya tidak akan khusus mendatangi daerah ini sendirian. Acara-acara seperti ini penting untuk mendekatkan mereka pada realitas yang ada di luar...,” lanjut Marcella.
Di Stasiun Gambir kereta berhenti. Jakarta sudah menyambut senja....
Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011
No comments:
Post a Comment