HAL-IHWAL penerjemahan sastra ke dalam konteks visual bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi jika ia kemudian melibatkan para musisi, selebriti, dan penyair dalam satu panggung, pastilah menjadi sesuatu yang seru.
Kolaborasi para musisi, selebriti, dan penyair itu diikat oleh satu isu sastra, yang notabene bukan persoalan hidup sehari-hari, tetapi sesuatu yang serius, yang mengeduk sampai ke akar pemikiran kita. Panggung yang dibangun di pelataran Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (13/4) malam itu, terasa istimewa, tidak saja karena dipadati penonton, tetapi lebih-lebih karena isu sastra itu menyangkut keberlangsungan hidup sebuah perpustakaan. Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, sebuah rumah dokumen sastra yang sehari-hari sepi, jauh dari jamahan orang, berkesan kusam, dan terbengkalai, tiba-tiba menjadi buah bibir. Dan, semua orang merasa berkepentingan untuk paling tidak membicarakannya.
Cerita bermula dari subsidi Pemprov DKI Jakarta yang makin tahun makin merosot. Terakhir lembaga yang dirintis Paus Sastra Indonesia HB Jassin, itu hanya memperoleh dana hibah sebesar Rp 50 juta. Itu jauh dari kebutuhan tahunan lembaga yang senilai Rp 1 miliar. Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi, menyatakan akan menutup pusat dokumentasi itu karena sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya pemeliharaannya.
Pernyataan ini yang kemudian memicu perhatian, simpati, dan apresiasi, sampai akhirnya melahirkan gerakan #koinsastra yang dilansir 18 Maret 2011 lewat akun jejaring sosial Twitter. Konser#Koinsastra menyusul kemudian sebagai wahana amal yang melibatkan para musisi, seperti Dwiki Dharmawan, Dewa Budjana, Piyu Padi, Ananda Sukarlan, Maya Hasan, dan Sujiwo Tedjo. Ikut bergabung pula para selebriti seperti Feby Febiola, Ayu Laksmi, Djenar Maesa Ayu, Saras Dewi, Soimah Pancawati, Wanda Hamidah, dan Sruti Respati. Ada pula sutradara Garin Nugroho, wartawan Mayong Suryolaksono, dan Innayah Wahid.
Pergelaran itu makin menemukan artinya dengan kehadiran para penyair seperti Jose Rizal Manua, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, Gunawan Maryanto, Hanna Fransisca, dan Ahda Imran. Tidak ketinggalan beberapa kelompok band seperti Kotak, Efek Rumah Kaca, Antik, Pesta, dan Dewi Sartika.
Realitas dan praktik
Keterlibatan berbagai kalangan atas kenyataan memprihatinkan terhadap nasib PDS HB Jassin, diikat oleh satu kata ”sakti”, yakni #koinsastra. Kata ini seolah menjelma menjadi pemersatu yang melintas-batas. Dalam waktu kurang dari sebulan sekat-sekat sosial diterabas menjadi sebuah lapangan bersama, untuk kemudian mengekspresikan keprihatinan.
Tentu, keprihatinan saja tidak cukup. Gerakan ini kemudian mengejawantah sebagai realitas yang mencerminkan kondisi kesusastraan kita dewasa ini. Praktik sastra tidak lagi terutama berada di koran-koran atau buku. Sastra telah memasuki relung teknologi, yang bisa diakses oleh semua orang dengan sangat mudah.
Mereka yang menulis ”sastra” seperti cerpen, puisi, bahkan novel di jejaring sosial seperti Twitter, FaceBook, dan blog, sebagian besar bukanlah mereka yang tadinya ”berprofesi” sebagai penulis atau sastrawan. Mereka adalah siapa saja dengan beragam latar belakang profesi.
Praktik susastra semacam ini sama sekali tidak bisa diremehkan. Para pelakunya sangat serius menekuni sastra, sampai akhirnya menerbitkannya dalam bentuk buku. Bahkan di akun seperti Twitter muncul akun buku online yang apabila dipesan bisa sesegera mungkin dijadikan buku dalam pengertian fisik. Mereka hanya perlu menge-print, lalu mengirimkan kepada pemesannya.
Proses penerbitan buku yang harus melalui banyak tahap, dipangkas sedemikian rupa, dengan hasilnya yang boleh dikata serupa: sebuah buku. Di akun lain muncul pula kelas menulis online. Pengelola akun ”hanya” perlu mencari seorang sastrawan dan peserta, lalu di antara mereka akan terjadi satu praktik menulis sastra secara online pula. Seluruh proses pelatihan terjadi di dunia maya.
Bagi sastrawan Nirwan Dewanto, solidaritas yang muncul dalam #koinsastra tidak lepas dari kecenderungan bahwa masyarakat kecewa dan lelah dengan kelambanan penyelenggaraan berbagai urusan publik. Begitu masyarakat melihat ada ruang inisiatif untuk mengurus sendiri urusan publik itu, ruang itu pun segera diisi.
”Masyarakat yang lelah dengan urusan politik berkepanjangan dengan mudah mengisi ruang inisiatif sebuah persoalan yang lain, yaitu persoalan kebudayaan khususnya masalah sastra. Dan, para penggagas #koinsastra sangat baik memanfaatkan media sosial seperti Twitter. #Koinsastra dan Konser#Koinsastra harus dilihat sebagai tekanan masyarakat kepada pemerintah untuk lebih memerhatikan soal-soal kebudayaan,” kata Nirwan.
Inilah sebagian dari realitas sastra kontemporer. Bisa dipahami jika kemudian gerakan #koinsastra yang mengusung isu penyelamatan PDS HB Jassin dalam waktu singkat memperoleh dukungan yang luas. Proses penggalangan gerakan itu pun dilakukan lewat dunia maya, di mana praktik-praktik sastra kontemporer itu berlangsung. Dan itulah yang kemudian mempertemukan orang-orang seperti Piyu Padi dan Dewa Budjana dengan sastrawan seperti Khrisna Pabichara, salah satu penggagas gerakan #koinsastra.
Konser malam itu bahkan berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp 172 juta, dua setengah kali lipat dari jumlah anggaran yang ”mampu” disediakan Pemprov DKI Jakarta dalam setahun. Jumlah ini sudah cukup membuktikan bahwa partisipasi publik selalu jauh melebihi inisiatif yang bisa diberikan oleh aparat birokrasi. Bahkan terhadap isu yang bergerak antara intelektualitas dan imajinasi kita: sastra! (ROW/CAN)
Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011
No comments:
Post a Comment