Monday, April 18, 2011

Rosihan Anwar dalam Kenangan

-- Daniel Dhakidae

SYAHDAN, suatu sore di Yogyakarta, sekitar Juni atau Juli 1988, saya bertemu Rosihan dalam satu acara. Saya duduk berdampingan dan tanpa mau membuang kesempatan saya langsung minta waktu untuk mewawancarainya. Dia katakan, ”OK nanti kita atur waktu di Jakarta.”

Waktu kami berbicara, di televisi di depan kami, TVRI menayangkan penahbisan imam Katolik di Flores. Persis waktu itu berlangsung adegan prostratio, ketika para calon imam itu merebahkan diri tertelungkup di depan altar sambil mendengarkan litania omnium sanctorum untuk mendapatkan berkat para santo.

Rosihan tertarik dengan adegan itu, lantas mengeluarkan komentar yang sama sekali di luar dugaan saya: ”Daniel, kau begaya pula mau nulis disertasi doktor segala! Lebih baik kau kembali ke Flores sana dan berbaring-baring seperti pastor-pastor itu.”

Nah..., ini dia! Rosihan yang sering saya dengar tentang komentarnya yang nyelekit! Saya tidak bisa jawab dan hanya senyum-senyum tanpa makna.

Sesampai di Jakarta, berkali-kali saya telepon untuk wawancara, tapi selalu gagal karena kesibukannya. Sampai saya kembali ke Cornell Maret 1989, wawancara tak terlaksana. Dengan sedikit ”teror”, akhirnya dia memberi wawancara tertulis yang dikirim ke Cornell.

Rosihan dan pers nasional

Petualangan intelektual ditunjukkan pada tahun 1957 ketika dia dengan tegas mengatakan bahwa ”tidak mungkin ada press magnate” di Indonesia, yaitu bertumbuhnya pers yang besar dalam kesatuan besar dan dalam konglomerasi besar, baik yang terdiri dari usaha serupa maupun gabungan dari berbagai jenis bisnis di luar surat kabar dengan berindukkan suatu perusahaan surat kabar. Namun, dalam hidupnya sendiri yang panjang itu, 89 tahun, dia saksikan sendiri konglomerasi surat kabar bukan saja sebagai pengamat, melainkan juga pelaksana serta merasakan sendiri pahit getir dan juga manis madunya.

Dalam kompetisi yang ganas, Pedoman yang dipimpinnya sejak didirikan pada November 1948 tidak bisa bertahan sebagai bisnis sampai ditutup pada awal 1961 dan Januari 1974. Dia membela dirinya bahwa ”ramalan atau prediksinya” itu berpijak pada suasana tahun 1950-an sehabis perang ketika partai-partai sangat berkuasa untuk menghidupkan dan mematikan pemerintah. Namun, yang terutama adalah hidupnya suasana egalitarian pada masa-masa itu.

Namun, dia juga membela dirinya, yaitu setelah ditutup Soekarno, Pedoman terlalu lambat mendapatkan izin terbit pada masa Orde Baru. Rosihan berdalih, kalau sekiranya tahun 1966 izin terbitnya sudah dikeluarkan, dia akan mampu bersaing.

Menghilangnya Pedoman dari percaturan dunia pers tentu karena berbagai alasan perkembangan ekonomi-politik Indonesia. Dalam refleksi Rosihan tentang dirinya dan Pedoman, dia selalu mengembalikannya pada masalah etika dan etika politik dirinya sendiri dan Pedoman yang dipimpinnya. Di satu sisi dia mengatakan, perkembangan persaingan tak memungkinkan surat kabarnya bertahan. Tapi di sisi lain etos yang berubah jadi soal. Dia mengatakan: ”Tuntutan jurnalistik sudah berbeda. Dahulu pers dan wartawan punya harga diri (self respect) dan berani terhadap penguasa. Sekarang, di zaman Orde Baru, wartawan harus punya aliansi dan koneksi dalam kalangan oknum-oknum pemerintah, selanjutnya ’menjilat’ supaya bisa selamat dan beroperasi terus. Pedoman dan Indonesia Raya tidak mempunyai keterampilan berbuat yang demikian. Jadi, mana bisa bertahan?”

Namun, bila dikembalikan ke etos politik, Rosihan justru menderita karena etos itu juga yang dia lepaskan dalam bentuk konsesi yang dia berikan pada kekuasaan. Dua konsesi pernah diberikannya kepada dua penguasa yang juga menjadi dasar ketiadaannya dalam dua masa yang berbeda. Pada masa Demokrasi Terpimpin dia memberikan konsesi kepada Soekarno dengan menandatangani apa yang disebut ”pernyataan 19 pasal” untuk menerima Manipol-Usdek. Ketika memberikan konsesi politik kepada Soekarno, alasan yang diberikannya, to create the conditions (asli dari Rosihan) untuk demokrasi karena yang lebih penting adalah to be there, to exist (asli dari Rosihan), baru sesudah itu pers bisa berjuang.

Alasan yang sama untuk konsesi kedua yang diberikan kepada Soeharto ketika harus menandatangani pernyataan tertulis untuk menghormati dan menjaga keselamatan keluarga Soeharto, bersama semua pemimpin redaksi lain: yang penting adalah ”hadir”, baru setelah itu berjuang untuk mengembangkan demokrasi. Namun, semuanya membawa krisis hidupnya. Semua koran yang diterbitkannya diberangus tanpa ampun.

Meski demikian, dalam krisis atau bukan, Rosihan tetap Rosihan Anwar ketika dengan kepala batu dia mengatakan: ”No regrets, saya telah melakukannya. Namanya berjuang, kok. Selalu ada risikonya, kan.”

Tragedi dan daya tangkal

Hampir tidak dapat membayangkan psikologi Rosihan setelah gagal mendapatkan imbalan setelah memberikan dua konsesi. Kegagalan pertama bisa diterima, barangkali lebih mudah, karena beban yang ditanggung bersama adalah beban yang mungkin lebih ringan. Pedoman tahun 1960-an adalah Pedoman Rosihan yang menamakan dirinya sebagai ”Sjahririst” dan secara sukarela mendukung cita-cita politik PSI karena dia selalu mengatakan, surat kabarnya bukan surat kabar partai. Dibubarkannya PSI dan dibubarkannya Pedoman menjadi beban yang tertanggung bersama.

Kegagalan konsesi kedua adalah tanggungan Rosihan sendiri, semata-mata, meski masih ”Sjahririst”, tetapi seorang ”Sjahririst” tanpa partai, seperti Rosihan sendiri juga wartawan beken tanpa surat kabar.

Rosihan sadar dan semakin pahit kesadaran itu ketika dikatakannya, lima belas tahun setelah Pedoman ”sirna dari muka bumi” (1974), pada 1989, ”...lokasi tempat Pedoman dicetak (Jakarta Press, Gunung Sahari Ancol 13) dijual kepada seorang pengusaha, lalu di situ didirikannya sebuah kompleks ruko (rumah toko). Pengusaha itu ternyata keponakan Lim Soei Liong....”

Namun, Rosihan adalah Rosihan. Tragedi ditebusnya dengan berbagai cara, sekurang-kurangnya dua cara yang tampak pada penulis ini. Pertama, setelah surat kabarnya disirnakan dari muka bumi, dia ditawari menjadi duta besar di Vietnam oleh Presiden Soeharto. Kali ini Rosihan tidak mau lagi memberikan konsesi ketiga kalinya. Dia menolak tawaran itu.

Saya pikir ditolaknya tawaran menjadi diplomat tidak untuk membalas dendam, tetapi muncul dari political sensibility tentang keseimbangan antara dua profesi. Yang satu adalah jurnalistik yang dipupuk dari kata ke kata, kalimat ke kalimat, hasil dialogia antara dunia nyata dan dunia pikiran dengan kata-kata sebagai jembatan dan sekaligus menjadi dunianya sendiri. Bersama itu ada seluruh risiko yang harus ditanggung—secara politik dan bisnis. Yang lain, dunia diplomatik yang baginya lebih menjadi hadiah, ”pemberian”. Bagi dia, dunia diplomatik penuh tanggung jawab, tetapi tanpa risiko. Yang diperlukan hanya kepatuhan. Arogansinya melarang itu.

Jalan kedua untuk menebus tragedi hidup Rosihan adalah sesuatu yang harus ditanggungnya seumur hidup, mempertahankan dunia miliknya sendiri, yaitu dunia intelektual dan jurnalistik. Semakin dunia itu digelutinya, semakin ia jadi ”milikku sendiri”, milik Rosihan, jemeinig, kata Heidegger. Dia menghabiskan waktunya untuk mempertahankan jemeinigkeit itu dengan mengajar jurnalisme, menjadi juri festival film, dan lain-lain.

Namun, di atas segala-galanya, dia menulis dan menulis, buku dan artikel, sampai titik darah penghabisan.

Daniel Dhakidae
, Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 18 April 2011

No comments: