Sunday, April 20, 2008

Rustandi: Heboh "Mercedes 190"

-- Atep Kurnia*

RUSTANDI mengarang karya sastra Sunda yang menghebohkan. Karangan yang dimaksud salah satunya adalah Mercedes 190. Naskah ini dimuat secara bersambung di majalah Mangle pada 1966 (7 kali muat) dan dibukukan pada 1993 oleh Girimukti Pasaka.

Mercedes 190 bercerita tentang kisah cinta antara Nenden dan Dudung. Nenden adalah seorang gadis modern. Akan tetapi, prinsip hidupnya berbeda dengan kebanyakan gadis modern seusianya. Ia tetap masih mempertahankan jati dirinya sebagai orang Sunda. Bahkan, ikut serta memelihara seni tradisi. Selain itu, ia menganggap setiap laki-laki yang mengiming-imingi gadis-gadis dengan kekayaan sebagai perbuatan yang melecehkan harkat wanita.

Dudung adalah tipe laki-laki yang dibenci Nenden. Namun akhirnya Nenden jatuh ke pelukan Dudung setelah Dudung berhasil menyakinkan bahwa kekayaan, pendidikan, dan jabatan tak ada artinya bila tidak berjiwa utama dan memiliki tujuan hidup yang hakiki.

Mengapa karya tersebut demikian menghebohkan? Karena Rustandi menciptakan karya sastra yang berorientasi kepada pembaca. Artinya, karyanya sesuai dengan harapan pembaca. Hal ini sesuai dengan pengakuan Rustandi sebagaimana yang terbaca dari tulisan Abdullah Mustappa, "Mh. Rustandi Kartakusuma: Ke Arah Pendekatan Kritik Sastra Sunda," (Sundalana 1, 2003: 129-130):

Apa yang menarik buat pembaca? "Tangtuna ogé, kahiji, téma caritana kudu `menarik`. Nyaéta, naon atuh nu keur jadi pikiran urang Sunda téh? Akang harita, aya di lingkungan paguron luhur, sarjana. Apan nepi ka ayeuna ogé, réréana urang téh harayang jadi sarjana. Naon nu matak kitu? Ku lantaran hayang kasebut jadi modéren. Bérés tah, sétting tempatna geus kapanggih. Ayeuna, témana naon? Ceuk Akang, urang Indonesia téh umumna hayang jadi modéren, tapi ari jero-jerona mah tetep hayang asli. Urang Sunda tetep harayang jadi Sunda, jeung memang kitu cita-cita Akang ogé. Akang boga cita-cita hayang boga masarakat kitu, nyunda tapi modéren, modéren tapi nyunda."

Saini KM mengemukakan pendapatnya mengenai karya sastra Sunda Rustandi. Setelah membandingkan dengan masyarakat pembaca sastra Indonesia yang dingin-dingin saja menanggapi karya-karya sastra Rustandi, Saini mengatakan, "Sedangkan masyarakat yang membaca sastra Sunda tidak demikian. Mereka, masih tetap memiliki ikatan dengan nilai-nilai budaya leluhurnya. Inilah sebabnya karya Rustandi dalam bahasa Sunda bisa diterima" (Abdullah Mustappa, 2003: 133).

Meski di lain pihak, Saini berkeberatan terhadap kebijakan Rustandi. Katanya, "Rustandi mengubah Manglé dari sastra menjadi kitsch." (Abdullah Mustappa, 2003: 130).

Kritik pembaca

Selain berorientasi kepada pembaca, Rustandi berusaha mendekatkan sastra Sunda kepada pembacanya. Dengan kata lain, pembaca diajak berperan serta dalam kegiatan bersastra, yaitu mengajak pembaca untuk mengkritik Mercedes 190.

Untuk mewadahi kritik pembaca terhadap karya tersebut, redaksi Manglé menyediakan rubrik "Balé Rantjagé", "Koropak Manglé", dan "Pangalaman Para Mitra". Khusus mengenai cerita bersambung Mercedes 190 bahkan disediakan rubrik khusus yaitu "Gendjlong Mercedes 190", yang dimuat pada Manglé No. 115 sampai No. 119. Meski sebenarnya tanggapan --berupa surat pembaca-- terhadap cerita bersambung tersebut telah masuk sejak Manglé No. 113.

Meski menurut redaksinya, tanggapan terhadap Mercedes 190 sudah ditutup pada "Gendjlong Mercedes II" (Manglé No. 116), tetapi surat-surat tanggapan masih saja berdatangan ke meja redaksi. Oleh karena itu, keputusan untuk menutup tanggapan pun ditunda.

Mercedes 190 memang menimbulkan kegemparan kepada pembaca. Tanggapan antara yang pro dan kontra pun tak terhindarkan. Polemik antarpembaca pun terjadi, apalagi dikompori oleh jururumpaka-nya, yang notabene Rustandi sendiri.

Kenyataan tersebut dapat dibaca dari dua tanggapan pertama yang dimuat dalam "Koropak Manglé" (Manglé No. 113). I. Kartoby dari Bogor adalah pihak yang kontra. Ia menulis demikian:

"Saja sebagai pentjinta Madjalah Manglé jang selalu mengikuti peredarannja dalam tiap2 terbit, maka saja sangat sesalkan, sebabnja, pertama: Tjerita tidak sesuai lagi dengan Ampera dan Pantjasila."

Akan tetapi sebaliknya pendapat Pisces Boy yang tinggal di Gg. Sartika 157A/143A Bandung. Katanya, "Kang Rus, ngiring bingah kana tjarios sambungan Mercedes 190. Na éta mah lalakon mani matak peureum kadeuleu, beunta karasa! Ku ajana tehnik nu ngarang, asa2 nu ngalalakon téh diri sorangan."

Selanjutnya tanggapan yang pro dan kontra pun saling berganti. Ny. Etti Suhara (Manglé No. 115) misalnya, ia menguatkan pendapat I. Kartoby. "Numutkeun pamadegan sim kuring, ogé, rupina teu patos tebih sareng sdrk. Kartobi; nu mana éta tjarios téh ngagambarkeun kaméwahan sareng kalaluasaan bergaul anu taja wates2na."

Namun pendapat yang pro juga tidak sedikit. Misalnya, Nataliny Subandy (Manglé No. 116). Ia berpendapat bahwa dengan membaca Mercedes 190 sebenarnya pengetahuan pembaca tentang tingkah laku golongan high society menjadi bertambah. Dengan cara demikian, pembaca bisa menimbang-nimbang benar-tidaknya tingkah laku mereka. Juga sedikit banyak menyadarkan golongan the have yang berlaku demikian.

Di sisi lain, Rustandi dan dewan redaksi Manglé mengomporinya. Pertama, Rustandi dengan mengkritik karyanya sendiri. Upamanya dengan menulis catatan "Tjinta Asih Dina Implengan Nenden" (Manglé No. 114) yang terkesan memuji-muji keteguhan dan filsafat cinta tokoh Nenden sehingga memilih tokoh Dudung sebagai kekasihnya.

Kedua, dewan redaksinya membuat komentar-komentar.

Pada gilirannya, karya tersebut turut mendongkrak tiras majalah Manglé yang ia pimpin sejak 1964. Ketika itu, majalah Manglé mencapai puluhan ribu eksemplar per edisi. Bahkan, kabarnya mencapai seratus ribu eksemplar lebih!***

* Atep Kurnia, Penulis lepas, tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 19 April 2008

No comments: