BANDUNG (MI): Sumpah Mahapatih Gadjah Mada yang dikenal dengan Sumpah Palapa tidak relevan untuk menata Indonesia kini dan masa depan. Demikian salah satu pokok pikiran Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam orasi budaya di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Sultan berharap muncul perspektif baru dalam memahami pluralisme Indonesia saat ini. Di era Majapahit, pujangga Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma menulis kalimat sakti, Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Yang berarti biarpun kita berbeda-beda, sesungguhnya kita itu satu, tiada kewajiban mendua.
Konsep pluralisme seorang pujangga itu, di tangan bayangkara negara, Gadjah Mada, dengan Sumpah Palapa diterjemahkan menjadi penaklukan wilayah melalui peperangan dan pertumpahan darah.
"Dari visi kita sekarang Sumpah Palapa itu bertolak belakang dengan aspirasi bangsa pluralistik seperti Indonesia," kata Sultan yang mewakili masyarakat (kerajaan) Jawa. "Karena inti sumpah itu adalah menyatukan kepulauan Nusantara dengan penaklukan, dengan tujuan merebut kekuasaan, hegemoni."
Orasi itu disampaikan dalam acara Rekonsiliasi Sejarah Antara Kerajaan di Tataran Sunda dan Jawa. Itu bertujuan menutup luka lama yang tercipta akibat gesekan historis antara Kerajaan Pasundan dengan kerajaan di Jawa (Majapahit dan Mataram). Pemrakarsa acara yakni Gerakan Kebangsaaan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Pejuang Siliwangi, dan Rumah Nusantara.
Sri Sultan yang didampingi budayawan Sunda Ajip Rosidi menekankan bangsa Indonesia harus sanggup belajar dari pengalaman. Bukan semangat kemanunggalan (tunggal ika) yang potensial melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan adanya pluralitas (bhineka) dan kesediaan menghormati kemajemukan Indonesia. Pengakuan dan kesediaan itu ada dalam Sumpah Pemuda 1928.
"Itulah yang lebih menjamin persatuan dan kesatuan serta integrasi nasional secara kukuh dan lestari."
Dalam Sumpah Pemuda 1928, pemuda dari berbagai subkultur Nusantara menyatakan kesediaan menerima, menghormati, dan membangun satu negara dan bangsa, Indonesia. "Ini yang tidak ada dalam Sumpah Palapa."
Lebih jauh Sultan mengingatkan mitos kesatuan (unity) yang digunakan dalam menata pluralitas (bhineka tunggal ika) kini menghadapi gugatan sejarah yang menyakitkan. "Karena selain tidak dapat menciptakan keadilan, konsep kesatuan dianggap telah dimanipulasi penguasa, semata untuk melanggengkan kekuasaannya."
Ajip dalam kesempatan itu menyatakan melalui penelusuran fakta historis dan kultural, tidak ada alasan friksi atau sentimen negatif antara Sunda dan Jawa. "Karena Raden Wijaya yang berkuasa di Majapahit adalah orang Sunda. Dan sungguh kenyataan yang indah jika ia pun ternyata menyunting gadis Sunda."
Acara rekonsiliasi itu berlangsung dua hari. Pesertanya para Pejuang Siliwangi pimpinan Kiki Syahnakri, kaum muda Rumah Nusantara pimpinan Pitono dan Ekayastra Unmada pimpinan Putut Prabantoro. Tampak hadir mantan Wapres Try Sutrisno, mantan KSAD Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Surjadi Sudirja. (IK/L-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 6 April 2008
No comments:
Post a Comment