-- Hardi Hamzah*
DEMSAY, novelis tua Bangladesh yang mengutip Plato perihal Orang dalam Goa dan Bayang-Bayang, agaknya percaya betul tentang etik kekuasaan.
Kekuasaan, secara etika dilihat Demsay (1989) sebagai saran menterjemahkan hidup. Meski tidak terhimbas ahimsa-nya Ghandi, tapi Demsay terus mendorong etika pada setiap kekuasaan.
Dalam novelnya, Singgasana, ia mendeskripsikan manusia (elite politik), berada dalam goa, dan di goa tersebut terdapat bayang-bayang diri mereka dan sejumlah bayang-bayang problem rakyatnya.
Ada jarak atau jurang yang terlalu dalam yang ditengok Demsay. Novel bergaya fiksi politik itu, lebih banyak merefleksikan genggaman kekuasaan dalam nuansa rakyat jelata. Pada galibnya novel politik, memang bahasanya kaku, naratifnya lebih banyak karena kepandaian penulisnya menggatuk-gatukkan data dan fakta.
Walhasil, novel Demsay, mampu mengungkap kaum papa di seantero negara Asia, terutama negara Asia Selatan. Inilah yang kemudian, dilihatnya si papa hanya bayang-bayang dari elite politik. Dengan demikian, tegas Demsay, tak ada satu pun penguasa di negara Asia mengurusi rakyatnya..!! Dus mereka hanya menciptakan kemelaratan baru yang sistemik.
Dari sudut kebudayaan, kecenderungan dan tradisi masyarakat muslim dunia pun dirundung malang terus-menerus, tidak ada reaksi atas aksi yang dilakukan oleh siapa saja yang memimpin di negara-negara asia. Kita menyaksikan bangsa-bangsa asia menjadi kuli di mana-mana.
Gambaran umum tentang prostitusi di seluruh lini, realitas kerja industri yang terganjal, defisit neraca anggaran, wilayah konflik dan rawan pangan yang semakin meluas, menambah sederet kemiskinan lainnya di luar sandang, pangan, dan papan, kita memasuki kemiskinan moral yang bersamaan dengan kemiskinan struktural serta kultural.
Dalam annual report (laporan tahunan) WHO terbaru, menunjukkan dalam satu menit 500 ribu, ibu meninggal dunia melahirkan, dan setengah lebih karena gizi buruk. Sebagai bangsa, kita yang berada di Asia umumnya, khususnya Asia Tenggara, kini menaati tetesan gerak hidup revolusi hijau, meski ini tak kunjung datang.
Setiap kali kita berkaca pada hidup, yang terlihat pada wajah kita adalah hipokrisi, menjual etika, dan berimpitan dengan bayang-bayang. Inilah ruas yang tak dapat diukur, meski memakai buluh perindu sekalipun. Kita semata hanya degradasi dari konvergensi teknologi.
Dalam buku terbarunya The Streaming Wave, kenyataannya, Robert Insdat, tidak mampu menjangkau sistem apa yang patut diimplementasikan di dunia ketiga. Bahkan, menurutnya, General Election (pemilu) lebih banyak menjadi pilihan menarik elite-elite di negara yang selalu berada di titik nadir di berbagai aspek ini.
Barangkali, itulah sebabnya kita mulai me-return semangat-semangat lama. Secara kultural, apa arti nasion? apa arti ideologi? apa arti jati diri kita yang berada di jamrud khatulistiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan yang kerap kita anggap klise, mesti tidak pernah bisa terjawab.
Wilayah yang kita masuki semuanya rawan, karena kita tidak pernah pandai merawat, industrialisasi, kita sikapi dengan mental budak dengan memainkan birokrasi. Partai-partai memungut sampah untuk dijadikan pemimpin. Impian tentang sistematika dan mekanisme yang berjalan tak pernah mengusung baju baru untuk suatu upaya memerlentekan rakyat.
Kalau globalisasi menuntut satu kata kunci kompetisi, kita hanya membangun ruang lain sebagai komunitas kerakusan. Cuci otak sebagai suatu kemestian, hanya berlatar pada seremoni dan proyek elite. Sementara itu, ruang publik kita, kita ambilkan ruang sumpek melalui nilai kognitif yang ngegolek-golek. Maka, apabila kecelakaan besar itu terjadi karena siklusnya berubah-ubah, selain liberalisme elite politik yang setengah mampus melawan globalisasi di seluruh aspek, juga hampir-hampir kita tidak berperan apa-apa pada cagar kehidupan apa saja, apakah informasi komunikasi, teknoindustri, psikokultural, dan beragam lagi yang menjadi keharusan, kita abaikan.
Dewasa ini, kita sedang mengikuti musim pilkada, tidak ubahnya seperti musim-musim yang lain. Riuh rendahnya, ya, bisalah dikatakan menguntungkan rakyat secara temporer. Namun, pilkada bukanlah suatu wahana, apalagi wadah untuk demokrasi yang selalu kita tempel-tempelkan di belakang keinginan kita untuk berkuasa.
Tetapi, pilkada bertasbih pada resultante dari keinginan kehausan. Kehausan elite untuk dan mempertahankan kekuasaan, dan di pihak lain, rakyat hanya ingin mendapatkan secuil nasi, secuil kehidupan, dan bukan harapan. Konkretnya, pilkada bukan dasar untuk membentuk suatu sistem politik demi daulat rakyat, tetapi ia hanya musiman. Dan, rakyat hanya ingin secuil kebutuhan mereka terpenuhi.
Manakala kebutuhan itu terpenuhi, meski sedikit, sekali lagi sedikit, sekurangnya telah lahir suatu harapan, suatu ekspektasi yang Insya Allah tidak tergerus oleh gesekan elite politik yang lagi-lagi hanya karena kehausan elite politik. Dan, kita pun berada pada titik yang dahaga pula. Semoga sebagai rakyat, ada wilayah yang menentukan bagi keberlangsungan rakyat, dengan sedikit menggeser kehausan elite politik. Wah, lagi-lagi karena elite politik.
* Hardi Hamzah, Peneliti madya pada InSCiSS, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2008
No comments:
Post a Comment