Sunday, April 20, 2008

Esai: Prosa-Puisi Kartini

-- Asarpin*

"SEGALA yang murni dan indah dalam kehidupan manusia adalah puisi". Kata-kata ini diucapkan Kartini (kepada Stella--nama panggilan Kartini kepada Estella Zeehandelaar, feminis sosialis yang membuka diskusi pertama kali dengan Kartini melalui surat-menyurat--sebagai bukti bahwa ia mencintai puisi. Bagi Kartini, puisi atau seni pada umumnya adalah jiwa bangsa Bumiputera. Dari mulut anak-anak sampai orang jompo, senantiasa melahirkan puisi.

Namun, tak setiap puisi menggoda imajinya. Salah satu yang memancing dahaga seninya adalah tatkala ia mendengar denting gamelan yang disebutnya ginonjing. Alunan suaranya, denting liriknya, tak ayal membetot pikiran dan jiwanya. Ketika diajak membicarakan soal seni dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini menegaskan bahwa seni yang memikat hatinya adalah yang di dalamnya mengandung keindahan sekaligus pembebasan.

Seni baginya adalah alat untuk mewujudkan cita-cita pembebasan rakyat pribumi dari penjajahan dan keterbelengguan oleh adat-istiadat yang sangat feodalistik. Baginya, tali peranti yang mengikat rakyat Jawa sudah semestinya diputus dengan seni pembebasan. "Roman bertendensi dalam segala hal harus lebih tinggi. Dia sempurna dan sama sekali tanpa cacat," katanya kepada Stella 12 Januari 1900.

Kedalaman karya seni akan tercapai bila dilakukan dengan penuh penghayatan dan seintens mungkin oleh senimannya. Tak ada seni yang berjiwa dan berwatak tanpa pergulatan pengarangnya terhadap realitas, baik yang dirasakan dalam jiwanya maupun yang tengah dirasakan bangsanya. "Kedalaman hanya bisa didapatkan dengan penggalian," kata Kartini dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901.

Kartini mencintai seni yang berwatak, berkepribadian, bukan seni mesum atau anggur kolesum. Salah satu yang diusulkan Kartini untuk menemukan kedalaman puisi atau prosa adalah dengan cara masuk ke dalam kesunyian diri, semacam meditasi atau kontemplasi. "Kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran," tulisnya dalam surat 15 Agustus 1902. Dan "pemikiran adalah jalan ke arah perjuangan".

Prosais yang Piawai Bertutur

Kelebihan Kartini terletak pada bahasa prosanya yang kaya dengan ungkapan renungan. Prosanya ditulis dalam bentuk surat dengan menampilkan cerita dan kisah-kisah yang kaya dengan ilustrasi dan imajinasi. Bentuk surat memang memiliki kelebihan sendiri dalam mengungkapkan cerita. Salah satu cerpen terbaik Seno Gumira Ajidarma adalah cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku dan Jawaban Alina. Kedua cerpen ini ditulis dalam bentuk surat-menyurat, tak ubahnya dengan apa yang dilakukan Kartini.

Tengok misalnya gaya prosa dalam fragmen surat Kartini bertanggal 15 Agustus 1902: "malam waktu itu; jendela dan pintu-pintu terbuka. Bunga cempaka berkembang di lebuh kamar kami, dan bersama dengan puputan angin segar, berdesah dengan dedaunnya serta mengirimkan kepada kami ucapan selamanya dalam bentuk bau harumnya. Aku duduk di lantai, sebagaimana sekarang ini, pada sebuah meja rendah, di kiriku Dik Rukmini yang sedang menulis".

Surat di atas cukup panjang dengan gaya prosa yang unik. Mengomentari surat ini, Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja menegaskan bahwa kecintaan Kartini pada seni rakyat bukan sebagai cinta platonik, tapi cinta seniwati dari darah dan daging. Dan ini memang ditegaskan Kartini sendiri dalam surat 11 Oktober 1901: "kukatakan itu untuk menyatakan kepadamu, untuk menunjukkan, betapa nilai pena itu meningkat kalau orang mempergunakan tinta sebagai darah jantungnya sendiri".

Banyak contoh prosa terbaik dalam surat Kartini dengan gaya bertutur yang masih segar hingga kini, seperti contoh fragmen-fragmen berikut ini: "kucing-kucing dekil itu, para tamu, seniman-seniman mendatang. Lihat, tanah bekas kaki mereka mengandung bukti-bukti bakat mereka. Ah, ah, dari mana kau datangkan keindahan? Dengan bersemangat seorang pengagum bertanya, laksana mimpi, ke mana pun pandang ditebarkan, tertatap juga semburan cahaya, hijau dedaunan dan bunga-bungaan, kilau emas dan perak, satin dan sutra".

Puisi dari Bentuk dan Isi

Kartini pernah bertanya soal bentuk dan isi dalam salah satu pembelaannya terhadap tuduhan Belanda kepada kaum pribumi yang ditujukan kepada Nyonya Abandenon 27 Oktober 1902. "Terang yang Bunda sinarkan kepada kami membuat kami melihat dan juga bertanya: apakah makna bentuk tanpa isi?"

Bagi Kartini, tak ada puisi jika hanya isi, sebagaimana juga apalah artinya puisi jika hanya bentuk. Sesuatu disebut puisi jika di dalamnya mengandung bentuk sekaligus isi. Apakah ini anakronis? Bagi Kartini tak, karena hakikat seni adalah perpaduan isi dan bentuk. Salah satu puisi Kartini yang tidak dimuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1951) tapi dimuat dalam karya Pram, sebuah puisi panjang bertajuk Manusia dan Hatinya, seperti dalam fragmen ini: Dan bila jiwa seia, retak tidak, tali abadi, Mengikat erat, setia arungi segala, rasa, jarak dan masa. Tunggal dalam suka, satu dalam duka, seluruh hidup gagah ditempuh, Oi, bahagia dia si penemu jiwa seia, Yang Mahakudus dia suntingkan.

Selera puitik Kartini banyak dipengaruhi selera pencerahan Eropa. Ini sulit dimungkiri. Revolusi Prancis pada abad ke-16 telah mengilhami jiwa Kartini dalam hal memilih selera puitik. "Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni! Tapi di mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendekanya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi," tulisnya dalam surat 2 April 1902.

Kartini ingin mendekatkan puisi ke hati rakyat. Caranya memandang puisi pun berbeda dengan kaum bangsawan. Pernah dalam sebuah suratnya ia melakukan monolog batin yang menghasilkan sejenis renungan prose-poem (puisi-prosa): "Orang sederhana, yang menggelesot dina di atas tanah, mengangkat pandang takzimnya, sekejap, dan menjawab sederhana: "Dari hati hamba, bendoro!"

Tak ada amanah di situ. Renungan yang ditampilkan sangat menohok dan mengejutkan. Gayanya sederhana dan tak hendak berfilsafat. Walau demikian, betapa sulit puisi itu bisa dijangkau rakyat kebanyakan. Apa pun dalih dan dalil Kartini, renungan-renungan puisinya tetap miliknya sendiri. Sudah tabiat puisi jika hanya bisa dipahami oleh si penyairnya sendiri.

Bahasa puisi Kartini sangat dekat dengan liris, bahkan sangat posesif. Dalam larik lain, Kartini pernah juga menulis begini: "Betapa ini jiwa, Dalam sorai melanglang, Jantung pun gelegak berdenyar, Bila itu mata sepasang, Rumah pandang menatap, Jabat tangan hangat diulurkan. Tahu kau, samudra biru, Menderai dari pantai ke pantai? Di mana, bisikan padaku, Di mana, mukjizat bersemai?"

Puisi itu bicara soal jiwa puisi Eropa yang sorak-sorai, sementara bagi Kartini yang diilhami oleh alunan ginonjing, puisi pribumi tak demikian adanya: "gamelan tak pernah bersorak-sorai, kendati di dalam pesta yang paling gila sekali pun, dia terdengar sayu dalam nyanyinya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai!"

Ketika Kartini sedang duduk termangu di lantai, tiba-tiba ia mendengar peting ginonjing yang diiringi suara nyanyian perempuan, dan ia pun melukiskan dalam surat 15 Agustus 1902: "Di kananku Annie Glaser, yang juga di lantai sedang menjahit, dan di hadapanku seorang perempuan, yang menyanyikan kami sebuah cerita. Betapa indahnya! Suatu impian yang mengalun dalam suara-suara indah, kudus, jernih dan bening, yang mengangkat roh kami, yang menggeletar-membubung ke atas ke dalam kerajaan makhluk-makhluk berbahagia".

Di sini Kartini menunjukkan jati dirinya sebagai seniwati yang tangguh. Terlepas banyak hal yang paradoks dalam prosa-puisi kartini, setidaknya ia telah mengawali hidup dengan puisi dan prosa sebagai bagian dari menegakkan martabat dan harga diri bangsa pribumi. Dan upaya menghadirkan nilai sastrawi dalam karya Kartini yang serba-selintas ini, semoga apa yang pernah dikatakan Ruth Indiah Rahayu sebelas tahun lalu, kita telah "mengangkat Kartini ke tempat yang pantas dia terima daripada sekedar menjadikannya relikwi menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau". Selamat Hari Kartini!

* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008

1 comment:

Anonymous said...

Hello!

Nggak terasa udah mau Hari Kartini lagi ya?

Ini ada artikel tentang Kartini juga, "Hari Kartini, Pahlawan Pendidikan" di cantik40s.blogspot.com.

:)

Thanks,
AFM