-- Windoro Adi
ANDRE Juan Michiels, Ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu ini, punya kenangan berkaitan dengan keroncong tugu. Musik warisan tentara keturunan Portugal yang dibawa VOC Belanda itu telah menjadi salah satu ciri khas Kota Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-482, Senin (22/6).
Andre bercerita, saat masih kanak-kanak, sang ayah, Arend Julinse Michiels, melihat dia menyentuh alat musik keroncong. Arend menyentil jari tangannya sambil mengingatkan agar anak-anak menjauhi peralatan musik keroncong. Berpuluh tahun kemudian, peristiwa itu menjadi kenangan manis buat Andre.
”Buat ayah, keroncong itu sakral. Waktu kelompok keroncong ayah berlatih, anak-anak hanya boleh melihat dari balik jendela serambi rumah,” cerita Andre di rumahnya di kawasan Kampung Tugu, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
”Latihan keroncong itu sepekan sekali selama dua-tiga jam. Suguhannya bukan kopi hitam, tetapi anggur malaga, rokok kretek merah, dan kue-kue basah,” kenangnya.
Keroncong berasal dari kalangan mardijkers di Batavia yang tinggal di Kampung Tugu pada pertengahan abad ke-17. Keluarga besar Michiels adalah bagian dari mardijkers. Mereka memainkan keroncong untuk mengiringi pesta dan ibadah gereja. Keroncong pada perkembangannya kemudian menjadi salah satu identitas budaya Betawi.
Arend, ayah Andre, menjadi salah satu pemain keroncong yang kala itu disebut Krontjong Moresko Toegoe. Arend lalu mengundurkan diri dari kelompok musik itu dan membentuk Krontjong Toegoe pada 12 Juli 1988. Sejak itulah Andre mulai terlibat. Ia ikut sang ayah bermusik keroncong.
”Waktu itu umur saya 21 tahun, tetapi belum bisa bermain musik, apalagi keroncong. Ini karena sikap keras ayah terhadap anak-anak,” ungkapnya.
Dari cerita sang ayah, Andre, generasi ke-10 mardijkers yang tetap memakai nama berbau Portugis untuk anak-anaknya demi menghormati nenek moyangnya itu, mengetahui bahwa perpecahan grup keroncong itu umumnya berkaitan dengan masalah ”rezeki”.
Belajar dari pengalaman itulah, maka kepada anak-anaknya yang tergabung dalam Krontjong Toegoe, Arend berpesan agar mereka, ”Jangan bermain keroncong untuk mencari penghidupan, tetapi bermain untuk menghidupi dan melestarikan keroncong itu sendiri.”
Bermain lumpur
Saat ayahnya meminta Andre bergabung dalam Krontjong Toegoe, dia sempat enggan karena merasa sudah ”terlambat”. Ia tak menguasai alat musik dan tak menaruh perhatian pada keroncong. Pada waktu senggang Andre lebih suka bermain di tengah lumpur.
”Pernah suatu hari ayah mendapati saya sedang ngobak (bermain lumpur) di Kali Candra Baga Gomati, di depan Gereja Tugu, sepulang kerja dari pelabuhan. Akibatnya, saya mendapat sabetan rotan sampai batang rotannya hancur,” ceritanya.
Namun, hal itu tak membuat Andre meninggalkan kesenangannya bermain lumpur. Setelah semakin dewasa, kesukaannya ngobak dia alihkan dengan kegiatan otomotif off road. Kisah ini bermula saat dia dibelikan ayahnya Jeep Willys rongsokan buatan tahun 1956.
”Ayah berkata, mobil ini akan menjadi milikmu kalau kamu bisa memperbaiki. Ayah membeli jip itu tahun 1986,” katanya.
Andre, anak ketiga dari 10 bersaudara ini, lalu belajar memperbaiki mobil di bengkel yang ada di rumah orangtuanya. Pemilik bengkel menyewa sebagian halaman rumah Arend sejak 1983.
”Sebagai ongkos sewanya, keluarga kami mendapat 10 persen dari pendapatan bengkel,” katanya.
Setelah mobil itu bisa berfungsi baik, Andre juga menjadi ”sopir pribadi” ayahnya. Sejak itu, Andre merasa lebih akrab dengan sang ayah.
”Saya belajar banyak dari ayah. Misalnya, bagaimana cara menghadapi birokrasi,” ujar Andre yang sempat merasa diri ”pecundang” di mata sang ayah dibandingkan dengan para saudara kandungnya.
Peti kemas
Ketidakakraban Andre muda pada keroncong bisa dipahami karena selulus SMA dia bekerja di berbagai bidang. Ia pernah bekerja di perusahaan otomotif. Dia juga sempat menjadi sopir antar jemput pramugari.
Namun, minatnya pada mesin membuat dia kembali mengutak-atik mesin dan bekerja di bengkel.
Di sinilah Andre bertemu pemilik peti kemas. Ia lalu membuka bengkel sendiri yang khusus menangani truk peti kemas pada 1995. Dua tahun kemudian, kegiatan bengkel mengantarnya menjadi pengusaha jasa antaran truk peti kemas.
Kembali pada keroncong tugu, bermodal pergaulan luas dan luwes menghadapi birokrasi, Arend dan Andre berusaha melestarikan keroncong tugu. Sesuatu yang dulu tak diminati Andre lalu menjadi perhatiannya seiring kedekatan dengan sang ayah.
Berkembangnya usaha truk peti kemas membuat Andre dan keluarga juga merasa lebih ringan untuk melestarikan keroncong. Sebagian keuntungan usaha itu bisa disisihkan untuk membiayai transportasi dan akomodasi saat kelompok Krontjong Toegoe tampil.
Terobosan
Namun, usaha itu saja tak cukup. Diperlukan terobosan agar Krontjong Toegoe tak sekadar bisa tampil, tetapi memang disukai hadirin.
Untuk itu, Andre dan saudara-saudaranya berusaha mendendangkan juga lagu yang tengah populer pada masanya masing-masing. Jadi, selain membawakan lagu keroncong, Krontjong Toegoe juga mengalunkan lagu dari grup Queen dan The Beatles asal Inggris, juga band Zamrud.
”Lagu-lagu yang lagi populer itu kami mainkan dalam irama keroncong,” katanya.
Ide ini bermula saat Pepeng ”Jari-Jari” dan Muklis yang mengelola acara televisi, Sersan, Serius tapi Santai pada 1993-1994, meminta Krontjong Toegoe tampil di bagian pembukaan dan penutupan acara. ”Waktu tampil pertama, kami membawakan lagu The Beatles, ’Obladi-Oblada’, dengan irama keroncong dan mendapat sambutan bagus.”
Andre yang kemudian menjadi pimpinan Krontjong Toegoe membawa grup ini berlatih setiap Rabu malam. ”Kami berlatih di rumah orangtua saya di Kampung Tugu,” kata Andre yang juga membentuk kelompok keroncong tugu yunior.
Dua anak Andre, Arend Stevanus dan Adrianus Justinus, dilibatkan dalam melestarikan keroncong tugu. Arend memainkan biola, sedangkan Adrianus memainkan pronga, rebana, dan jeembe (alat musik asal Brasil).
”Kalau mau melestarikan keroncong tugu, jangan mengandalkan orang lain. Kita tidak perlu mengeluh kalau banyak orang tak peduli terhadap budayanya sendiri,” kata Andre menirukan pesan ayahnya, Arend Julinse Michiels.
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Juni 2009
No comments:
Post a Comment