-- Bagus Takwin*
KITA melihat, banyak kebiasaan orang Indonesia yang tak berubah dalam situasi yang tak sejalan dengan kebiasaan itu. Kebiasaan itu seperti mempunyai otonomi tersendiri, tak tergeser gempuran perubahan dan hal-hal baru.
Ciri-ciri manusia Indonesia seperti dikemukakan Mochtar Lubis (1977) belum banyak berubah. Banyak perilaku mengemudi tak sesuai aturan, tak mau antre, dan kebiasaan menggerutu. Praktik jasa paranormal terus marak seiring dengan banyaknya orang percaya takhayul. Kecenderungan mengambil jalan pintas dan ingin cepat meraih hasil meski melanggar aturan juga banyak ditemukan. Kita juga menyaksikan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan perilaku merusak lingkungan.
Berbagai undang-undang dan peraturan dibuat untuk mengubah kebiasaan negatif, di dalamnya ada sanksi bagi pelanggaran. Tetapi, aturan itu tidak berjalan. Perilaku yang bertentangan dengan aturan itu banyak ditemukan dan menjadi kebiasaan.
Kekuatan kebiasaan
Pernyataan George Santayana, ”Kebiasaan lebih kuat ketimbang nalar”, bisa menjelaskan perilaku tak berubah banyak orang Indonesia. Perilaku yang menjadi kebiasaan, berdaya besar tampil; digerakkan mekanisme yang dibakukan dalam pikiran. Nalar sebagai fungsi mental guna menghasilkan pengetahuan baru melalui aktivitas pikiran, seperti membandingkan, memutuskan, dan menggeneralisasi, cenderung pasif di hadapan kebiasaan.
Sebelum kebiasaan dianggap tak efektif mendukung dorongan bertahan hidup, nalar cenderung mengikuti kebiasaan. Berpikir sebagai aktivitas nalar merupakan respons tak terduga dan usaha campur tangan terhadap tindakan. Saat tindakan yang biasa ditampilkan tak berfungsi, nalar baru bekerja mencari cara baru, mencari tindakan untuk mengatasi kebuntuan.
Jika aneka perubahan dalam situasi Indonesia dimaknai sama dengan situasi sebelum atau sesuai dengan kebiasaan, kebiasaan akan bertahan, bahkan kian kuat. Dalam keadaan seperti itu, disertai rendahnya kepercayaan pada penalaran, orang akan merespons lingkungan dengan cara yang biasa digunakan. Rendahnya kehirauan terhadap lingkungan dan perubahan situasi tak banyak pengaruh.
Perubahan perilaku
Faktor utama yang berperan dalam tidak berubahnya perilaku banyak orang Indonesia terdiri dari (1) inkonsistensi situasi, (2) situasi yang tidak menuntut pertanggungjawaban, (3) jalan pintas mental (mental shortcut), serta (4) kecenderungan memaknai dan menanggapi kejadian di lingkungan menggunakan kerangka pikir ajek. Faktor-faktor ini saling terkait dalam memengaruhi perilaku.
Awalnya, tindakan yang ditampilkan seseorang merupakan reaksi terhadap lingkungannya. Ketika tindakan dan efeknya terhadap lingkungan signifikan, tindakan itu dipertahankan. Jika sering berulang, tindakan itu menjadi perilaku, yaitu tindakan yang sesuai dengan norma dan dijadikan cara merespons lingkungan. Sebaliknya, jika efek tindakan terhadap lingkungan tidak jelas dan tanggapan dari lingkungan tidak konsisten, tindakan itu tidak dipertahankan. Dalam situasi yang inkonsisten, orang cenderung menggunakan perilaku lama atau bersikap pasif.
Dalam masyarakat Indonesia yang cenderung tidak konsisten, perilaku baru yang diharapkan muncul sulit terbentuk. Aturan tak konsisten membuat orang mengabaikannya. Dalam kondisi ini, wajar jika aneka kebiasaan orang Indonesia yang bertentangan dengan aturan tetap dipertahankan. Situasi inkonsisten aneka aturan cenderung dimaknai sebagai situasi yang tidak menuntut tanggung jawab pelakunya. Dalam situasi seperti itu, orang cenderung bertindak sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai pribadi, juga cenderung malas memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan (Takwin, 1996).
Situasi inkonsisten dan taksa mendorong orang cenderung menggunakan jalan pintas mental dalam pembuatan keputusan (Higgins et al, 1977), termasuk keputusan tentang perilaku yang perlu ditampilkan. Dengan jalan pintas mental, orang membuat keputusan berdasarkan aneka patokan yang biasa digunakan, seperti selera, nilai dan keyakinan, tradisi, stereotip, harapan, serta otoritas. Berbagai patokan itu juga digunakan dalam pembentukan kebiasaan. Maka, jalan pintas mental cenderung membawa orang kembali kepada aneka kebiasaannya.
Penggunaan jalan pintas mental dalam situasi inkonsisten memengaruhi pemaknaan terhadap situasi dan berbagai perubahan di dalamnya. Perubahan—sejauh tak secara langsung dan nyata membahayakan—dimaknai sesuai dengan aneka patokan mental yang dimiliki. Patokan-patokan itu terangkai dalam pikiran membentuk teori atau kerangka pikir yang digunakan untuk mengelompokkan beragam jenis hal. Teori itu bisa dimiliki bersama oleh orang-orang dalam sebuah budaya (Rosenberg & Sedlack, 1972). Dengan kerangka pikiran itu, perubahan akan dicocok-cocokkan dengan cara pikir dan kebiasaan yang ada sehingga orang merasa tidak perlu berubah. Mentalitas semacam ini tampaknya dominan dalam diri banyak orang Indonesia.
Akibat kuatnya faktor-faktor itu, wajar bila banyak perilaku orang Indonesia tidak berubah meski situasi berubah. Tetapi, kewajaran itu tak baik. Seharusnya orang mampu mencermati situasi dan mau berubah untuk menjadi lebih baik. Maka, nalar aktif digunakan. Aneka perangsangan terhadap pikiran perlu diberikan agar nalar terbiasa bekerja. Selain itu, situasi inkonsisten juga perlu dikurangi dengan penerapan aturan secara konsisten. Jika dua hal ini dilakukan, kita bisa berharap perilaku orang Indonesia akan berubah dan kebiasaan sekuat apa pun bisa diubah.
* Bagus Takwin, Dosen Fakultas Psikologi UI
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Juni 2009
No comments:
Post a Comment