Wednesday, June 17, 2009

Tokoh Diplomasi: Mohamad Roem, Pemimpin Tanpa Dendam

SEMUA tergelak ketika Butet dalam monolognya di depan ketiga pasang capres mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri berjabat tangan dengan mesra. Maklumlah, semua tahu, kedua capres ini sudah cukup lama tak bertegur sapa.

Mohamad Roem (KOMPAS/DUDY SUDIBYO)

Berkaca pada para pemimpin masa lalu, agaknya sikap itu kurang pas, tidak menampakkan sikap kenegarawanan. Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, pernah mengatakan, Presiden Soekarno menanggapi kritik pedas Sutan Sjahrir dengan mengatakan, ”Kalau saya rotan, rotan itu melengkung, tetapi tidak patah.” Para pemimpin itu memiliki kecerdasan hingga mampu membuat metafora.

Kecerdasan seperti itu pun menjadi milik Mohamad Roem, Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohamad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohamad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.

Sebagai diplomat, kala itu, Mohamad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.

Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)

Sumber: Kompas, Rabu, 17 Juni 2009

No comments: