Sunday, March 18, 2012

[Jejak] Ediruslan Pe Amanriza: Suarakan Melayu lewat Karya Sastra

SASTRAWAN Riau satu ini lahir di Bagansiapi-api-Rokan Hilir (Rohil) pada 17 Agustus 1947. Menamatkan sekolah rakyat (SR) dan sekolah menengah pertama (SMP) di kampung nelayan yang pernah punya nama besar di dunia itu. Pada 1961, ia masuk SDH (tidak selesai), kemudian 1962 masuk SKMA, Bogor (juga tidak selesai). Akhirnya pada tahun itu juga, oleh salah seorang sahabat ayahhandanya, dia dimasukkan ke sekolah menengah atas (SMA) di Bandung sampai 1969 (1965-1969).

Bidang seni digelutinya sejak SMP, tetapi secara sungguh-sungguh menulis, barulah sekitar 1967. Sajak-sajaknya dimuat di mingguan Mimbar Demokrasi dan majalah Mimbar, Bandung. Karya-karyanya juga dimuat di harian Sinar Harapan, Haluan, Kompas, majalah Horizon, majalah Zaman, Solarium, dan sebagainya.

Kumpulan sajak-sajaknya antara lain: Vagabon (1975), Surat-suratku kepada GN (1981 ), Antara Mihrab dan Bukit Kawin (antologi, bersama Taufik Ikram Jamil, 1992), Nyanyian Wangkang (1999). Cerita pendeknya diterbitkan dalam kumpulan bersama Keremunting dan Renungkanlah Markasan (kumpulan sendiri). Novel-novelnya ditulis sejak 1976 hingga 1980 memenangkan sayembara penulisan roman Indonesia tajaan Dewan Kesenain Jakarta (DKJ). Jembatan, Kekasih Sampai Jauh, Nakhoda, Ke Langit (diterbitkan Balai Pustaka), pemenang kedua sayembara DKJ 1997, Taman, Di Bawah Matahari (diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia), ‘’Istana yang Kosong’’, ‘’Rahman ya Rahman’’, ‘’Perang Bagan’’ (belum diterbitkan). Karya yang tengah disiapkan roman ‘’Gelombang yang Tak Pernah Mencapai Pantai’’, sebuah novel politik.

Selain itu, dia juga menerbitkan beberapa kumpulan eseinya, Kita dan Pedih yang sama ditulisnya setiap Ahad selama tiga tahun berturut-turut di sebuah mingguan yang terbit di Pekanbaru. Kumpulan esai lainnya, Aduh Riau Dilanggar Todak yang berisikan sejumlah tulisannya di majalah berita Gatra, Jakarta.

Almarhum mempunyai istri dengan empat anak dan pernah bertugas sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umun Dewan Kesenian Riau (DKR), Pemimpin Umum (Pimum) dan Pemimpin Redaksi (Pemred) tabloid Berita Azam di Pekanbaru, anggota DPRD Riau, tenaga pengajar di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning (Unilak), Wakil Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dan Ketua Harian Yayasan Bandar Seni Raja All Haji (Bandar Serai).

Karya novelnya berjudul Panggil Aku Sakai pernah pula diangkat sebuah grup band genre pop Melayu Beni Riaw dan kawan-kawan menjadi album pertama dan terakhir mereka. Sedangkan novel berjudul Dikalahkan Sang Sapurba difilmkan oleh sineas lokal dan tayang di televisi lokal. Bahkan namanya, sempat pula diabadikan sebagai nama salah satu gedung kampus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang saat ini sedang dirubuhkan di kawasan Bandar Serai (eks purna MTQ). Karya puisinya berjudul ‘’Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta’’ kerap ditampilkan dalam macam-macam ekspresi oleh seniman muda seperti musikalisasi puisi maupun lainnya. Karya-karyanya memprotes Jakarta dinilai banyak kalangan, tidak saja pedas tapi juga bernas.

Bahkan seorang kritikus sastra Indonesia, Maman S Mahayana menyebut novel Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2000, menggambarkan ketergusuran masyarakat Melayu dari hutan dan lahan perkebunan yang secara tradisi sudah menjadi milik mereka turun-temurun. Mereka memang dikalahkan kekuasaan, tetapi semangat untuk mempertahankan hidup yang tidak dapat dikalahkan oleh apapun. Sebuah potret betapa kekuasaan pusat (Jakarta) telah bertindak tidak adil kepada masyarakat Melayu.(fed)

Sumber: Riau Pos, 18 Maret 2012

No comments: