-- Mariska Lubis
“Semua pihak dan seluruh elemen masyarakat Aceh dapat memahami dengan jelas semangat MoU Helsinki dan eksistensi serta jiwa UU Pemerintahan Aceh sebagai langkah penting dalam mengakhiri permusuhan dan menciptakan perdamaian Aceh. Dengan memahami kedudukan, eksistensi, serta semangat tersebut maka tidak akan ada lagi bias tafsir dan bias implementasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan titik tolak pembangunan Aceh ke arah lebih maju, lebih demokratis, dan lebih bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.” - Tgk Malik Mahmud Al-Haytar yang disampaikan pada Seminar Konstruksi Perdamaian Aceh dan diselenggarakan oleh Aceh Sepakat di Medan, 17 Maret 2012.
Kalimat-kalimat di atas sangat menarik perhatian saya, terutama karena yang menyampaikannya adalah seorang Malik Mahmud yang sangat terhormat dan dihormati. Menjadi keprihatinan yang mendalam karena dari kalimat pertama di atas, maka jelas sekali beliau pun memiliki kekhawatiran atas pemahaman dari MoU Helsinsky. Sedangkan dari kalimat yang kedua, bagi saya menjadi pernyataan penting bahwa memang masyarakat Aceh belum memahami kedudukan dan eksistensinya sendiri.
Sebagai seorang tokoh yang saya anggap “sangat Aceh” dan tentunya sangat mengerti tentang Aceh tentunya tidak akan pernah sembarangan bicara. Selain itu, sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting di dalam diplomasi perdamaian, sudah tidak perlu lagi disangsikan kemampuannya di dalam berpikir dan berbicara. Oleh karena itulah, saya sangat menghargai pernyataan beliau di atas. Ini menjadi sebuah bukti kuat bagi saya bahwa beliau memiliki jiwa yang besar untuk mengakui kekurangan rakyatnya sendiri. Di sisi lain, juga saya salut karena jiwa besar inilah yang dapat menjadi pendorong dan penggerak perbaikan segala kekurangan yang ada demi terwujudnya cita-cita dan keinginan bersama.
Mengapa saya sangat menghargainya?! Tidak mudah untuk menemukan seseorang yang berani mengatakan apa yang sebenarnya, apalagi kekurangannya. Tidak mudah juga mendapatkan seseorang yang mampu berbahasa dengan kualitas yang baik untuk mengatakannya dengan cara yang elegan dan berkelas. Lebih banyak yang mengaku-aku hebat dan melakukan cara-cara yang sangat tidak etis dan tidak sopan untuk mendapatkan pengakuan.
Saya tidak melebih-lebihkan hal ini. Sudah berulang kali saya menulis tentang kualitas daya baca dan bahasa yang masih sangat rendah di Indonesia, termasuk di Aceh. Jika kualitas daya baca dan bahasa masyarakat tinggi, maka tidak akan ditemukan kendala untuk dapat memahami MoU Helsinsky itu dengan baik dan benar sesuai dengan teks dan konsteksnya. Kebanyakan masyarakat Indonesia hanya mampu membaca teks dan tidak mengerti serta paham atas konteks tulisan yang dimaksud, sehingga menimbulkan banyak masalah atas persepsi yang ditimbulkan.
Saya juga sudah sering menulis bagaimana keprihatinan saya terhadap jati diri masyarakat Aceh yang saya anggap sudah sirna dan hampir hilang. Bila seseorang sudah mengenal dirinya dengan baik dan memiliki jati diri yang kuat, maka orang tersebut akan tahu persis apa dan siapa dirinya. Segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan akan sesuai dengan posisi (kedudukan), waktu, dan tempatnya. Tidak lagi berkutat soal pengejaran eksistensi yang berlebihan, karena sudah tahu juga bagaimana eksistensi diri yang sebenarnya dan seutuhnya.
Aceh adalah sebuah wilayah yang menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dan kuat baik secara regional, nasional, maupun internasional. Jika tidak demikian, tidak mungkin Aceh menjadi pusat perhatian dan terus dipantau setiap gerak gerik dan langkahnya. Siapa yang tidak ingin menguasai Aceh?! Siapapun yang dapat menguasai Aceh, sama artinya dengan menguasai perekonomian Indonesia dan memiliki pengaruh besar di dalam dunia perekonomian Internasional. Oleh karena itu, pastilah selalu diperebutkan.
Begitu juga dalam hal agama. Aceh menjadi panutan sekaligus “bintang fajar” bagi masyarakat Indonesia di dalam hal agama Islam. Aceh yang mendapat julukan kehormatan “Serambi Mekah”, bukanlah diperoleh sembarangan. Tentunya ada banyak hal yang hebat dan luar biasa sehingga membuat Aceh demikian. Sehingga bukanlah sesuatu yang aneh bila apa yang terjadi dan dilakukan di Aceh dalam hal yang berhubungan dengan agama, akan dikaitkan atau berhubungan dengan wilayah lain baik di Indonesia maupun Internasional. Termasuk di dalamnya adalah politisasi agama dan agama yang dipolitisir.
“Di Aceh, setelah Belanda berhasil menaklukkan Aceh (tahun1902) melalui peperangan panjang dan melelahkan, serdadu Belanda masih menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh pejuang Aceh.Perang Aceh telah melambungkan nama-nama para pahlawan –yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia-- seperti Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar dan lain-lain. Kehadiran Belanda di Aceh selalu terusik dengan politik anti penjajah dari kalangan masyarakat Aceh dengan memberi stigma “kaphe” atau kafir kepada Belanda.
Dari stigma inilah kemudian tersemai di setiap sanubari orang Aceh bahwa memerangi Belanda adalah sebuah ibadah bernama Perang Sabil, sehingga siapa pun yang meninggal melawan Belanda mendapat pahala syahid. Maka cukup banyak para syuhada Aceh yang rela tewas di ujung bedil serdadu Belanda karena mereka memang secara ikhlas maju ke medan pertempuran sebagai bagian dari ibadah. Dalam semangat itulah kemudian muncul kesimpulan kolektif bahwa siapa pun yang membantu penjajah adalah kafir dan halal untuk diperangi.”
Alangkah indahnya bila Aceh menyadari hal ini. Banyak sekali yang dapat dilakukan dan terwujud bila semua sama-sama mau belajar untuk mengerti dan paham akan hal ini. Kualitas daya baca dan bahasa adalah sebuah ukuran “real” yang menunjukkan kualitas “didikan” seseorang. Mereka yang bersekolah tinggi dan memiliki sederet gelar, memiliki jabatan tinggi, dan setumpuk harta, bahkan yang mengaku rajin membaca dan menulis pun belum tentu memiliki kualitas daya baca dan bahasa yang tinggi. Bila benar berkualitas, maka tidak sulit untuk dapat mengerti dan memahami MoU Helsinsky dan demikian juga di dalam penerapannya.
Saya dapat membayangkan bagaimana Aceh di masa depan nanti bila masyarakatnya sadar penuh akan apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tidak lagi perlu labil ataupun harus “terjajah” karena sudah mampu menjadi pribadi yang kuat dan memiliki jiwa yang merdeka. Kemenangan Aceh adalah karena kemampuannya di dalam berpikir dan menerapkan strategi dan tentunya ini semua berawal dari tahu benar apa dan siapa dirinya. Penempatan posisi yang sesuai dengan waktu dan tempatnya akan dapat mengubah segala sesuatu yang buruk sekarang ini menjadi lebih baik lagi.
Selain itu juga, jika Aceh sudah menemukan kembali dirinya maka tidak akan mudah dipengaruhi oleh yang lain. Tidak perlu juga membutuhkan simbolik dalam bentuk materi dan fisik hanya untuk pengakuan dan pengukuhan, apalagi sekarang ini konteks situasi dan kondisi sudah berubah. Aceh seharusnya dapat menjadi tolak ukur dan acuan nasional dan internasional di dalam berbagai bidang, terutama yang menyangkut masalah perekonomian, perdagangan, dan Islam.
“Untuk menindaklanjuti MoU Helsinki Pemerintah telah mengeluarkan sebuah undang undang yang disebut dengan UU nomor 11 tahun 2006 dan lebih populer dengan istilah UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh). Undang undang ini pada intinya ialah mengakhiri konflik dan memberi hak-hak khusus bagi Aceh. Dalam salah satu konsideran menimbang disebutkan: “…… serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada dasarnya UU ini memberi ruang bagi Aceh untuk memajukan berbagai sektor kehidupan di antaranya bidang agama, budaya, demokrasi, pertanian, kelautan, pertambangan, pendidikan, ekonomi untuk kemaslahatan masyarakat Aceh yang berkeadilan, sejahtera dan amanah. Secara tegas dapat kita katakan bahwa UU ini telah memberi hak kepada Aceh di bidang pemerintahan dengan otonomi seluas-luas, hak politik dengan pendirian partai lokal, pengelolaan kekayaan alam, pembagian hasil bumi antara Aceh dengan Indonesia, mempertahankan nilai-nilai dan lembaga lokal, serta terbentuknya lembaga baru yang bernama Wali Naggroe.”
Aceh sendiri sudah Islam, sehingga tidak perlu lagi harus berlebihan di dalam memperkukuh eksitensi ke-Islamannya. Semua tari-tarian, lagu, hadih madja, ilmu pengetahuan, dan bahkan cara berpikir serta tulisan Hasan Tiro dan pidato Malik Mahmud sekarang ini pun sudah sangat Islami. Silahkan membandingkan pola konstruksinya dengan pola konstruksi tulisan di dalam Al-Quran terutama Surat Al Fatihah. Amat sangat persis sekali pola konstruksinya. Saya memang bukan ahli kitab ataupun ahli agama, namun saya sangat memperhatikan pola konstruksi dan alur dari sebuah tulisan termasuk yang ada di dalam kitab suci. Bagi saya, itulah pola konstruksi yang paling hebat dan sudah sepatutnya saya pelajari dan terapkan.
Sementara apa yang “nampak” dikenakan dan ditampilkan di dalam budaya Aceh merupakan perpaduan dari berbagai unsur budaya yang membentuk Aceh, yaitu Arab Cina, Eropa, dan Hindia. Inilah yang menjadi keunikan dari Aceh dan merupakan jati diri Aceh yang sebenarnya, yang juga telah membuat Aceh hebat sehingga mampu melakukan penetrasi yang sangat luas ke berbagai wilayah nasional maupun Internasional. Islam Aceh bukan pada soal fisik dan materi tetapi pada jiwa dan pemikirannya. Eksistensinya sudah jelas dan tak perlu takut dan tidak yakin lagi.
Membaca akhir kalimat pidato Malik Mahmud, saya pun menjadi terharu. Inlah kata-kata penting yang patut dibaca, dipahami, dimengerti secara teks dan konteksnya bila memang Aceh dan cinta pada Aceh: “Marilah secara tulus dan ikhlas sama-sama kita memperkuat kestabilan perdamaian Aceh serta membangun semangat saling menghormati dalam menangani persoalan-persolan penghambat kesangsungan tersebut dengan arif dan bijaksana. Kepada Allah kita berlindung, dan kepada Allah pula kita berserah diri.”
Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012
No comments:
Post a Comment