-- Viddy AD Daery
Www.kompas.com baru-baru ini memuat berita: Wakil Gubernur Jambi Fachrori Umar meminta kepada orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) untuk tidak lagi hidup nomaden atau berpindah-pindah.
Dia berharap orang rimba untuk tinggal menetap dan bercocok tanam agar bisa meningkatkan taraf hidupnya. Pernyataan ini disampaikan Wakil Gubernur (Wagub) Jambi Fachrori Umar saat menggelar silaturahim bersama SAD desa Sekamis, Kecamatan Cermin Nan Gedang, Sarolangun, Selasa (13/3/2012).
Saya teringat ketika menghadiri Kongres Budaya & Bahasa Jawa di Hotel JW Marriot Surabaya beberapa bulan lalu, saya justru kurang tertarik kepada makalah-makalah kongres yang dari tahun ke tahun cuma berbicara masalah yang sama, tanpa ada kemajuan. Seharusnya ada tindak lanjut dari pemerintah untuk membuat perda memajukan bahasa Jawa di lingkungan sekolah, kampus, pondok, keluarga maupun kantor-kantor pemerintah. Sungguh sayang, kongres supermewah tersebut hanya menjadi omong kosong belaka.
Karena itu, saya lebih banyak keluyuran di luar sidang, dan melihat-lihat suasana pameran yang menyertai kongres tersebut. Akhirnya saya tertarik untuk membeli buku “Napak Tilas Wong Kalang Bojonegoro” yang terletak di gerai/lapak/counter/stand PSJB.
MANUSIA ASLI TANAH JAWA & NUSANTARA
Saya membaca buku tersebut dengan nikmat dan hikmat, dan akhirnya ingin urun rembug di sini,karena menurut saya, buku tersebut masih belum berani mengambil kesimpulan tegas,dan karena itu masih agak mengambang untuk memberi garis tebal beberapa data yang cukup kaya yang telah ditemukan di berbagai wilayah Bojonegoro.
Dengan membaca buku bandingannya, misalnya Buku “Atlantis ternyata di Indonesia” karya Arysio Santos, maupun buku “Surga itu adalah Indonesia” karya Stephen Oppenheimer yang dua-duanya menggegerkan dunia, maupun ratusan buku referensi lainnya mengenai Nusantara zaman dulu, karya Robert Dick-Read, Anthony Reid, Adrian Vickers, George Coedes, dan banyak lagi, agaknya kita bisa menyimpulkan secara tegas, bahwa :
1.Orang Kalang ( yang kini keturunannya sebagian mewujud pada kelompok masyarakat Samin ), kiranya adalah “Manusia Asli Tanah Jawa dan juga serumpun dengan sesamanya di Nusantara ( India-Burma-Thailand-Kamboja-Laos-Vietnam-Malaysia-Brunei-Filipina-Indonesia-Singapura-Timor Leste-Papua Nugini-Australia ). Mereka adalah “manusia berbudaya” pertama setelah kaum “Lamdaur” atau “Raksasa” atau “Buto” atau nama ilmiahnya Pithecantropus Erectus Javanicus.
2.Bisa dikatakan, bahwa mereka adalah penyambung “mata rantai yang hilang” teori Darwinisme, bahwa dari Manusia Kera ( Pithecantropus ), menuju ke Manusia Berbudaya ( kaum Kalang dan sebagainya ), tentunya tanpa harus mengakui bahwa manusia berasal dari kera. Jadi, jangan samakan istilah “manusia kera” dengan kera betulan lho.
3.Kaum Kalang yang di Bojonegoro, sebagai manusia asli Nusantara, dengan demikian berkerabat dengan sesama “Orang Asli” ( istilah Malaysia ), misalnya yang di Filipina disebut Negrito, di Australia disebut Aborigin, di Malaysia disebut Jakun, Semai, Kensiu, Kintak,Lanoh,Jahai,Mendriq,Bateq,Senoi,Temiar,Semoq Beri, Jah Hut, Mahmeri, Orang Kuala, Orang Kanaq, Orang Seletar, Semelai, Temuan dan beberapa lagi, di Jambi disebut Kubu , orang Rimba atau Suku Anak Dalam, di Riau disebut Sakai, di Thailand disebut Karen, di Burma disebut Mon, Karen, Suku Naga, di Laos disebut Hmong atau Meo, di India disebut Dravida dan sebagainya.
4. Merujuk kepada buku George Coedes, mereka yaitu suku-suku Nusantara asli inilah yang didatangi oleh para agamawan dan kesatria militer bangsa Arya yang kalah perang di negaranya, lalu lari ke Nusantara dan menyebarkan Hinduisme dan Budhaisme pada abad 2 dan 3 M. Sejak itulah dikenal istilah Hinduisasi atau Aryanisasi. Sejak itu pula, maka para pemimpin di Jawa dan Nusantara adalah keturunan India, lihatlah buktinya pada patung-patung mulai zaman Sriwijaya, maka wajahnya pasti mirip ke india-india-an. Sejak itu pula ada legenda Aji Saka yang dianggap menciptakan huruf Jawa Hanacaraka berbekal contekan huruf Pallawa India.
5. Tentu kaum Arya itu hanya sedikit yang membawa istri berlayar jauh dari India. Maka kebanyakan yang tidak membawa isteri, akan mengawini penduduk lokal Jawa. Jadi, kaum wanita Kalang, Jakun, Semai,Kubu,dan sebagainya akan dinikahi paksa oleh kaum Arya, lalu keturunannya yang ganteng dan cantik, diangkat “kasta”nya dan diberi jabatan di istana. Sedangkan yang jelek akan dijadikan pelayan istana atau “staf” yang ditempatkan di hutan, untuk menjadi pemasok kayu, daging dendeng, sayuran dan aneka kebutuhan istana.
6. Tentu pula, ada sebagian kaum Kalang atau kaum asli lain yang menolak dihindukan, dan merekapun lari ke gunung-gunung yang sukar dijangkau, atau malah kadang menjadi pemberontak yang mengganggu “pemerintah” dan “orang-orang Istana”. Mereka inilah yang dicap sebagai “anjing”, “begal” , “perusuh” atau sebutan buruk lainnya oleh “Kaum Bangsawan”.
7. Ada pula kaum asli yang akomodatif atau menempuh jalan damai. Mereka tidak mau dihindukan,tidak mau dikawini pihak istana,namun juga tidak mau melawan secara frontal kepada istana. Mereka melawan dengan cara damai, yaitu menyingkir dan membuat komuntas sendiri yang tidak mau mengikuti cara hidup istana. Mereka memilih melestarikan kebudayaan leluhurnya,yang kini disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan animisme,dinamisme,kejawen atau istilah lainnya. Namun biasanya kaum asli Nusantara tersebut tentu mempunyai istilahnya sendiri.
8. Waktu terus berjalan mendekati kiamat. Rezim Hindu dan Budha di Jawa berganti dengan kekuasaan Islam dan kini menuju kekuasaan Zionisme-Syaitanisme. Maka kaum asli Nusantarapun, termasuk Kaum Kalang atau Kaum Samin, mempunyai banyak ragamnya dalam menyikapi perkembangan zaman.
Karena itu, kini juga dibutuhkan penelitian serius dan seminar di Bojonegoro, untuk melihat profil dan peta Wong Kalang atau Kaum Samin dalam masa-masa mutakhir. Tantangan bagi para budayawan Bojonegoro dan pemerintah Bojonegoro, mumpung duit dari minyak sedang mengalir deras. Itu kalau tidak dikorupsi sebagaimana kebiasaan di Indonesia dari barat sampai ke timur....
Bayangkan, Indonesia mendapat bagian Cuma 1 % dari bagi hasil tambang dengan investor luar negeri. Bandingkan dengan Malaysia, yang mendapat bagian 80 % dari pembagian bagi hasil, sedang investor mendapat 20 %.
Viddy AD Daery, budayawan Nusantara, yang April 2012 diundang ke Festival Sastera Nusantara di Resort Muara Sungai Duyung Malaka,Malaysia.
Sumber: Oase, Kompas.com, Jumat, 16 Maret 2012
No comments:
Post a Comment