Sunday, March 25, 2012

[Jejak] Puisi, Puncak Misteri Kehidupan Ibrahim Sattah

PENYAIR Ibrahim Sattah mulai kita kenal ketika puisi-puisinya dimuat dalam majalah sastra Horison sekitar tahun 70-an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974, ia lekas menarik perhatian karena penampilannya dalam membaca puisi secara unik dan segar. Dari karya-karyanya dan cara pembacaannya menimbulkan kesan kepada kita bahwa Sattah memiliki ciri-ciri tersendiri. Sementara itu juga menumbuhkan kesan yang mendalam, bahwa karya-karya Sattah banyak mengingatkan kita pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.

Ibrahim Sattah yang tercatat sebagai anggota Polri ini adalah seorang penyair yang telah mengangkat nama daerah Riau ke jenjang nasional dan internasional. Ia lahir pada 1943 di Tarempa, Pulau Tujuh (Riau). Tahun 1975, Ibrahim Sattah membacakan puisi-puisinya di Den Haag, Belanda. Di musim panas 1976 ia terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, mengikuti program ASEAN Poetry Reading International.

Dandandid adalah kumpulan puisinya yang pertama (1975), di antaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom ke dalam bahasa Belanda dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama McGlinn ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke Semarang, Jogjakarta, Singapura dan Malaysia. Kemudian Haiti kumpulan puisinya yang terakhir terbit pada tahun 1983.

Pada tahun 2006, penerbit Unri Press menerbitkan kembali kumpulan sajak-sajak Dandandid, Ibrahim dan Haiti dalam buku bertajuk Sansauna. Ibrahim Sattah meninggal pada usia 45 tahun pada Selasa pagi 19 Januari 1988.

Meskipun tidak secara jelas-jelas Sattah menyatakan kembali pada mantera, tapi sumber penciptaannya tidak lain dari kekuatan yang terkandung dalam mantera itu. Menurut pengakuannya (1974) menulis puisi bermula dari ‘main-main’ dan berakhir dengan tertegun, sebagaimana ia melihat sesuatu dengan kebencian, tetapi berakhir dengan rasa cinta yang mendalam, intens dan akrab. Ia juga mengatakan bahwa menulis puisi memindahkan sesuatu dalam ‘kata-kata’ -sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti dan dengan ‘kata’ sesuatu telah terjadi.

Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekadar suasana hati, bukan sekadar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada pucuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isi dalam karya puisi. Meninggalkan pengertian antara wadah dan idenya sendiri. Pendirian semacam ini sesungguhnya tidak baru. Namun, perlu kita perhatikan juga. Sebab apa yang dikemukakan di atas mungkin sejajar dengan apa yang dikemukakan Pierre Reverdy dalam tulisannya ‘’Di Mana Puisi Kutemui’’ (dimuat dalam Gelanggang Siasat). Pierre Reverdy mengemukakan: ‘’Dalam seni juga seperti dalam alam, bentuk tidak mungkin jadi tujuan.

Kita tidak melangkahkan kaki untuk sesuatu bentuk yang tertentu, tapi kita menemuinya, kita berhadapan dengannya dengan tidak disangka-sangka terlebih dahulu. Ia adalah suatu konsekuensi, semacam hasil yang sudah seharusnya dari suatu tindakan yang digerakkan untuk kepentingan mencapai puncak dalam perwujudan. Suatu benda yang tertentu dikerjakan dengan cara tertentu akan beroleh bentuk lain. Bentuk lahir dari dirinya sendiri.’’

Kesan yang kuat yang kita kemukakan tadi bahwa Sattah juga bersumber dari mantera (seperti halnya pada Sutardji) ialah terletak pada kenyataan bahwa puisi itu mengandung ciri-ciri yang biasa dimiliki oleh puisi mantera. Umpamanya, kaya bunyi (vokal) sebagai kekuatan puisi. Kekuatannya terasa kalau dibacakan. Unsur-unsur magis. Dan seolah-olah tidak mempunyai makna apa-apa kecuali untuk mempengaruhi. Mantera sihir tidak mengandung makna (puisi) apa-apa kecuali apabila dibacakan mengandung kekuatan tertentu. Apabila Sutardji menyatakan bahwa kata tidak mewakili pengertian tapi kata itu sendiri, pada Sattah kata hanya untuk menuangkan sesuatu.

Sattah memilih kata jejak, adam, langit, gerak, laut dan lain sebagainya, lahir dari suatu kesadaran berimprovisasi ketika ia hendak menjawab masalah misteri dirinya, hidup dan maut. Puisinya kaya dengan irama (bunyi) yang mengandung daya kekuatan yang mengguguh kesadaran kita bila dibacakan. Seperti halnya sajak ‘’Sembilu’’. Ia mempertanyakan dirinya secara intens.

Benda-benda seperti mawar, bumi, batu, langit, laut dan lain lain itu menyatu dalam kesadaran ketika ia mempertanyakan namaku dan aku. Kata-kata itu sendiri tidak mengandung perlambangan. Juga tidak membangkitkan asosiasi tertentu. Semuanya menyatu dalam kesadaran dirinya. Termasuk ketidak-tahuannya terhadap semesta dan kehidupan dengan hanya menyebutkan a i u e o dan sebagainya.(fed).


Sumber: Riau Pos, 25 Maret 2012

No comments: