(Sebuah Upaya Meminimalisir Korupsi dengan Pendekatan Sastra)
-- Jumardi
KORUPSI kian eksis menjadi ‘artis’ Indonesia. Hampir semua media cetak maupun elektronik memuat tentang ‘artis’ tersebut. Karena semakin banyak yang memberitakannya, maka ia semakin terkenal. Tidak terkecuali anak-anak pun mengetahuinya, minimal mendengar pembicaraan tentang ‘artis’ itu. Dengan semakin terkenalnya, sang ‘artis’ pun kerap menjadi topik utama pembicaraan. Apakah itu dari kalangan ‘tinggi’ maupun dari kalangan ‘rendah’. Tak terkecuali para sastrawan.
Maret 2011 lalu, misalnya, saat diadakan bedah novel 86 karya Okky Madasari, Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah mengatakan: ‘’Tidak cukup hanya hakim, jaksa, KPK dan penegak hukum lainnya yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, bila tidak ada peran dari masyarakat. Peran masyarakat melalui karya sastra ini cukup baik,’’ katanya saat jadi pembicara acara bedah novel 86 dengan tema “Melawan Korupsi Melalui Sastra” di Universitas Paramadina, Jakarta.
Sepertinya kalau kita mengambil apa yang diucapkan Febridiansyah, sastra bisa menjadi senjata memberantas korupsi. Dalam novel 86 misalnya, bagaimana si pengarang memberi sumbangsih untuk menyadarkan para koruptor dengan membongkar segala siasat buruk mereka dalam novelnya. Setidaknya, kalaupun sang koruptor tidak sadar secara langsung, minimal membuat dia kaget dan merasa tertekan karena mungkin siasat-siasat para koruptor yang disebutkan dalam novel itu adalah benar-benar siasat yang digunakannya.
Bagaimana sebenarnya peran sastra dalam meminimalisir korupsi? Di beberapa dekade sejarah, karya sastra ‘seburuk’ apapun bisa mendidik pembacanya bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra sebenarnya merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Itu bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk melawan korupsi.
Ketika sastra melawan korupsi maka akan terbayang teks-teks estetika, sebuah keindahan kata yang berperang melawan sebuah bentuk kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai pemujuk, perayu, bahkan sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi sendu, menuai perasaan terdalam, protes dan semacamnya. Di waktu yang lain, sastra bisa muncul sebagai teks-teks pencerahan yang secara tak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.
Sastra dengan berbagai latar ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20, novel Hikayat Kadiroen telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum Borjuis dan upaya menuju kesetaraan kelas. Sebuah penuntutan akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jauh sebelumnya dari ideologi berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang para penguasa pribumi maupun kolonial yang korup. Melalui itu Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di negeri jajahannya, Nusantara. Perlahan tapi pasti ada kesadaran tersendiri yang dirasakan mereka.
Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim Orde Lama. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tak banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.
Di zaman Orde Baru muncul Ahmad Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan pada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?
Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. “Permainan” yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan jadi taruhannya dan masyarakat kecillah yang akhirnya jadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?
Setelah beberapa daftar karya sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan, mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi, mencerca koruptor dan membenci ketidakjujuran. Di berbagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama dan sebagainya yang menentang korupsi melalui estetika sastra.
Tentunya peran sastrawanlah yang sangat diperlukan melalui cara ini. Sastrawan hendaknya tak lagi terjebak perasaan pribadi, melainkan harus mulai memasukkan nilai anti ketidakjujuran dalam tiap karyanya. Sastrawan harus bersatu menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Biar semua orang setiap membaca karya sastra akan menemukan kata dan makna perlawanan terhadap korupsi.
Dengan demikian, setelah semua orang terbius oleh sastra dan mereka serentak membenci korupsi dan koruptor, maka perlahan tapi pasti korupsi kian menghilang. Setidaknya menghilangkan generasi koruptor. Ayo bersastra, lawan korupsi!
Jumardi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau. Tercatat sebagai Koordinator Kaderisasi FLP Pekanbaru dan Ketua Umum PK KAMMI Komisariat Sultan Syarif Kasim.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 Maret 2012
No comments:
Post a Comment