SEORANG pria datang ke panggung dengan ponsel berbunyi seperti sirine. Kemudian lima orang masing-masing membawa instrumen seperti senar drum, tom-tom, gendang, gong, dan perkusi. Pria itu pun dikelilingi oleh lima orang tersebut. Ia memukul alat musik tersebut dengan stik drum secara tidak beraturan.
Seperti itulah gambaran pementasan Kumpulan Bunyi Sunya yang bertajuk “Karuhun Baru di Ruang Tamu" di Bentara Budaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pentas musik ini lain daripada pementasan musik biasa karena mereka mencoba menggabungkan berbagai instrumen yang unik. Misalnya, saat mereka mencoba memainkan alat mainan anak-anak seperti pistol mainan yang digabungkan dengan suara suling.
Awalnya, salah satu personel memainkan suling diselingi oleh suara-suara kodok, hujan, sungai, maupun serangga. Uniknya, bunyi-bunyian seperti kodok maupun hujan ia memakai instrumen yang biasa dipakai manusia sehari-hari.
Misalnya, suara hujan yang mereka buat dengan memakai daun-daunan kering. Mereka dapat menghasilkan suara-suara seperti kehidupan di sebuah desa di malam hari.
Suasana yang sebelumnya sunyi dengan bunyi-bunyian binatang berubah menjadi berisik. Bunyi pistol mainan atau robot mainan menjadi sering terdengar. Pada akhirnya pemain suling itu menghancurkan mainan-mainan itu di hadapannya.
Menurut salah satu multi-instrumentalis dari Kumpulan Bunyi Sunya, Tommy Setiawan, lagu yang berjudul “Turun Padi” itu menceritakan situasi masyarakat yang mulai dimasuki budaya Barat.
Dulu mereka hanya mendengar suara-suara binatang atau serangga, namun kini berganti menjadi suara kendaraan bermotor. "Situasi ini yang terjadi di masyarakat suku Badui. Sekarang mereka mulai menyesuaikan dengan kehidupan modern," kata Tommy.
Bila ditelisik kembali, situasi ini bisa juga digambarkan dengan situasi Indonesia saat ini yang semakin dimasuki budaya Barat. Jangan sampai budaya Barat yang disebut modern itu menghilangkan budaya Indonesia.
"Kami mencoba memberikan sesuatu kepada penonton. Kami juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk menginterpretasikan setiap repertoar yang kami mainkan," ujar Tommy.
Terkadang, mereka memberikan lelucon di atas panggung. Tak hanya andal memainkan instrumen musik, mereka juga memberikan lelucon agar suasana menjadi santai. Apalagi, pementasan ini ditujukan agar antara kelompok musik dengan penonton bisa lebih dekat.
"Kami memang memakai kata ruang tamu dalam tema ini karena kami bisa lebih dekat dengan penonton. Ruang tamu bisa diartikan juga pertemuan antara tamu dengan tuan rumah. Penonton itu sebagai tuan rumah kami," kata Tommy.
Berbagai instrumen lain juga dipakai seperti kecapi, rebana, gamelan, dan gendang. Mereka memang selalu memakai alat musik tradisional di setiap pementasannya, seperti saat mereka membawakan lagu "Ajeg". Mereka membawakannya dengan suling dan bunyi metronome. Uniknya, kali ini sang penyanyi memakai alat pengeras suara (toa)dan hanya berteriak.
Semangat penonton kembali menyeruak saat kelompok musik itu membawakan lagu "Trance". Dentuman musik layaknya genre trance memberikan warna tersendiri di pementasan tersebut. Bagaimana tidak, mereka menggabungkan rebana, suling, gendang, gitar akustik, dan kontrabas.
Kali ini mereka menghadirkan nuansa musik Betawi yang digabungkan dengan musik Sunda dan modern. "Lagu ini ciptaan saya yang menggambarkan sebuah rollercoaster yang terkadang naik dan turun begitu cepat," ia menambahkan.
Menurutnya, penonton bisa bebas mendeskripsikan isi lagu tersebut. Ini karena ia selalu mencoba memberikan kebebasan dalam membuat lagu. “Saya memang membuat lagu itu dengan kebebasan, tetapi juga ada aturan. Seperti lagu-lagu yang dibuat oleh kelompok musik ini,” ucapnya.
Beberapa repertoar yang dibawakan seperti "Puitik Autis", "Ajeg", dan "Turun Padi" karya S Lawe Samagaha serta "Batas Terbias" dan "Majak" karya Didit Alamsyah juga turut meramaikan pentas musik tersebut.
Mereka juga membawakan lagu “Doa” yang merupakan komposisi hasil kerja samanya dengan El-Condor Combo untuk pertunjukan tetaer "Mastodon dan Burung kondor" karya sutradara Ken Zuraida.
Beberapa nama juga tak asing bagi penonton seperti Maryam Supraba yang merupakan putri dari “Si Burung Merak” WS Rendra. Turut pula dalam pentas musik tersebut S Lawe Samagaha, Tommy Setiawan, Didit Alamsyah, Teguh Nagasena, Fika Andhiswara, Syechabudin Akbar, Theo Andry Raumakin, Sardi, dan Yuni Purwanti.
Musik Kontemporer
Karuhun Baru di Ruang Tamu merupakan pertunjukan musik kontemporer. Mereka mengeksplorasi instrumen musik yang tak lazim seperti dedaunan kering, alat mainan, alat musik tradisional, ponsel, atau barang-barang yang biasa dipakai manusia sehari-hari.
Nama kelompok musik ini berasal dari kata cunya (Bahasa Sanskrit) yang berarti sunyi atau hening. Kelompok musik ini dibentuk pada 1 November 1998 di Utan Kayu, Jakarta, oleh sekelompok pemuda yang gelisah mempertanyakan persoalan hidup sehari-hari dan ingin mengekspresikannya dalam komposisi bunyi yang idealistis, namun tetap plastis, kontekstual, dan universal.
Beberapa personel kelompok musik tersebut bergelut di berbagai bidang, seperti teater, tari, penataan artistik panggung, desain grafik, seni rupa, dan seni gerak yang secara rutin dan tekun berlatih bersama. Oleh karena itu, di setiap performanya mereka selalu menggabungkan bidang tersebut.
Mereka dibantu tim kreatif di antaranya Ken Zuraida Project dan The Akarawa Project. Ken Zuraida merupakan istri WS Rendra yang telah mementaskan beberapa hasil karyanya salah satunya "Mastodon dan Burung Kondor" yang dipentaskannya baru-baru ini. (CR-20)
Sumber: Sinar Harapan, Senin, 5 Maret 2012
No comments:
Post a Comment