Wednesday, March 21, 2012

RSBI Mendiskriminasi Anak Bangsa

-- Ester Lince Napitupulu & Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pemerintah tentang rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dituding sebagai kebijakan diskriminatif. Sekolah unggulan yang diwujdukan menjadi RSBI membuat sekolah berkualitas baik menjadi mahal sehingga akses terbatas pada kelompok siswa mampu.

Ilustrasi (Shutterstock)

Bagus Takwin, psikolog sosial dari Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (21/3/2012), mengatakan, layanan pendidikan seperti diwujudkan dalam RSBI merupakan praktik yang mengkotak-kotakkan masyarakat lewat pendidikan. Hal ini bisa membuat generasi muda bangsa semakin kuat dengan anggapan bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan dalam hidup cukup dengan uang.

Di tengah kondisi akses pendidikan dan kesetaraan yang masih bermasalah di dalam negeri, pemerintah justru melegalkan praktik sekolah publik yang berkualitas baik menjadi eksklusif. Pendidikan bermutu yang harusnya menjadi hak setiap anak bangsa harus dibayar dengan biaya yang semakin mahal.

Menurut Bagus, sekolah unggulan yang sekarang diwujdukan sekolah RSBI memang diburu banyak orang tua. Meskipun sekolah jauh dari tempat tinggal, sekolah RSBI tidak kehilangan peminat.

Padahal, harusnya pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah yang berkualitas di mana-mana. "Jika sekolah baik tersebar merata, anak-anak bisa bersekolah tidak jauh dari tempat tinggal. Ini juga bisa menciptakan interaksi orang tua dan guru yang baik dan kuat," kata Bagus.

Sekarang, ujar Bagus, pendidikan itu jadi beban buat semua orang. Bukan hanya beban secara ekonomi dengan biaya pendidikan yang mahal, juga biaya transportasi, karena sekolah bagus yang jauh dari rumah.

Anak-anak juga menjadi lelah karena jarak tempuh sekolah yang jauh, waktu yang semakin sedikit sehingga bisa memengaruhi hubungan orang tua dan anak, hingga minimnya keterlibatan orang tua di sekolah.

"Ini menunjukkan Indonesia tidak punya tujuan pendidikan yang jelas. Konsep manusia yang mau dihasilkan tidak jelas. Semestinya kita bisa mencontoh Jepang yang tidak minder dengan apa yang dipunyainya, namun tetap mampu menjadi negara maju," kata Bagus.

Retno Listiyarti, guru RSBI SMAN 13 Jakarta, mengatakan, kebijakan RSBI bukan hanya mendiskriminasi antara sekolah reguler dan sekolah RSBI. Di dalam sekolah RSBI sendiri tetap ada diskriminasi layanan dan fasilitas pendidikan untuk anak-anak yang sanggup membayar biaya tinggi.

Menurut Retno, di sekolahnya ada kelas RSBI dan kelas internasional. Layanan dan fasilitas pendidikan berbeda meskipun berada dalam satu sekolah. Siswa kelas RSBI membayar uang sekolah sekitar Rp 600.000 per bulan dan uang masuk Rp 7 juta.

Adapun siswa kelas internasional membayar biaya pendidikan Rp 31 juta per tahun per siswa. Praktik ada uang ada kualitas, sungguh dirasakan siswa. "Layanan dan fasilitas istimewa diberikan untuk anak di kelas internasional yang biaya pendidikannya lebih mahal," kata Retno.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 21 Maret 2012

No comments: