Tuesday, March 20, 2012

Selain Mahal, RSBI Tak Hasilkan Apa-apa

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com - Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dinilai tidak menghasilkan apa-apa kecuali biaya yang lebih mahal dan kesenjangan antar peserta didik. Jika alasannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, RSBI justru tidak mencerminkan hal itu. Lantaran, sekolah reguler unggulan tetap akan menjadi unggulan tanpa harus berganti label menjadi RSBI.

Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) menggelar aksi di depan Gedung Mahkama Konustitusi (MK), Jakarta, Rabu (28/12/2011), untuk menyerahkan naskah gugatan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). (INDRA AKUNTONO)

Guru SMAN 13 Jakarta, Retno Listyarti mengatakan, dirinya tidak menemukan hasil yang terlalu istimewa pada setiap lulusan sekolahnya. Baginya, hasil yang baik bukan ditentukan pada status RSBI, melainkan semua tergantung pada individu siswa yang bersangkutan.

"Ada beberapa siswa yang melanjutkan studi ke Jerman, tapi saya rasa itu bukan karena RSBI-nya, melainkan karena mereka mampu. Dari jaman saya sekolah juga banyak yang lanjut ke luar negeri," kata Retno, seusai menjadi saksi dalam sidang judicial review UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Ia melanjutkan, hal lain yang mencolok dalam RSBI adalah mengenai biaya. Dari tahun ke tahun tren kenaikan biaya di RSBI selalu meningkat. Dijelaskannya, di era dirinya menjadi siswi SMAN 13, biaya perbulan hanya Rp 5 ribu. Kemudian menjadi Rp 150 ribu pada tahun 2000, dan melonjak ke angka Rp 600 ribu per bulan pada tahun ini.

"Biaya naik tentu wajar, tapi menurut saya naiknya terlalu tinggi, khususnya setelah sekolah ini menjadi RSBI. Mutunya juga biasa saja, sama seperti jaman saya sekolah dulu," ujarnya. Ia menegaskan, tanpa perlu di RSBI-kan, sekolahnya akan tetap unggul. "Siswa pandai itu ibarat mutiara, ditaruh dimana pun warnanya akan tetap cemerlang. Tidak harus di RSBI," pungkasnya.

Ditemui bersamaan, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Soedijarto mengungkapkan hal senada. Baginya, kurikulum dalam RSBI tidak membawa pengaruh banyak pada peningkatan mutu. Karena pada dasarnya setiap siswa cerdas dapat berkembang di sekolah apapun, dengan catatan ada perhatian khusus khususnya dari pemerintah, dan bukan sekadar memaksakan semua siswa cerdas ke RSBI.

"Saya pikir itu hanya soal kemauan, RSBI tidak menjamin apapun, kecuali jurang antara si miskin dan si kaya," pungkasnya.


Standar Pendidikan Seharusnya Sama di Seluruh Daerah

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

Jakarta, Kompas.com - Demi memenuhi amanat Undang-Undang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah seharusnya menyelanggaran pendidikan yang adil dan bermutu. Itu berarti kualitas pendidikan di seluruh sekolah di Indonesia seharusnya sama.

Namun saat ini pendidikan yang diberikan pemerintah belum merata dan hanya terputas di beberapa daerah yang umumnya kota besar. Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Soedijarto mengatakan, pemerintah harus betul-betul menyiapkan anggaran pendidikan yang mampu menutupi beban operasional pendidikan nasional.

"Pemerintah harus menyamakan kualitas pendidikan," kata Soedijarto, saat ditemui Kompas.com seusai menghadiri judicial review UU Sistem Pendidikan Nasional tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Menurutnya, pemerintah harus mampu memberikan standar pendidikan yang sama merata di seluruh sekolah di Indonesia. Mulai dari standar isi, sarana pendukung lainnya seperti laboratorium praktik, perpustakaan, sarana olahraga, dan prasarana lainnya. "Pemerintah harus serius dengan ini. Penuhi dan ratakan semua kebutuhan pendidikan nasional. Termasuk kantin dan sarana olahraga," ujarnya.

Sebelumnya, Guru Besar Emiritus UNJ itu menjadi saksi ahli dalam sidang judicial review UU Sisdiknas tentang RSBI. Dalam paparannya, ia banyak menyampaikan tentang penyelenggaraan RSBI yang tidak berkeadilan. Menurutnya, RSBI hanya menciptakan jurang antara siswa yang mampu secara finansial dengan siswa yang berasal dari golongan kurang mampu.


Pemerintah Jangan Habis-habisan untuk RSBI

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah semestinya fokus dan habis-habisan untuk memberikan layanan pendidikan bermutu bagi semua anak bangsa di seluruh penjuru negeri. Dengan kondisi dan layanan pendidikan yang berkualitas di semua sekolah, anak-anak bangsa mampu menjadi manusia unggul di kancah nasional dan internasional.

"Untuk apa pemerintah ngotot dan habis-habisan membangun satu RSBI di tiap jenjang? Yang masuk juga terbatas dan anak kaya. Pemerintah seharusnya membuat setiap sekolah memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Kalau itu dipenuhi, pendidikan nasional Indonesia tidak kalah dengan internasional," kata Soedijarto, pemerhati pendidikan saat tampil sebagai saksi ahli pemohon dalam kasus Kebijakan RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Soedijarto menyayangkan sikap pemerintah yang tidak fokus mengembangkan hal-hal mendasar dalam pendidikan nasional. Selain harus terpenuhinya delapan standar nasional pendidikan di tiap sekolah, pemerintah harus menjamin supaya pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi anak.

"Anehnya, dari pasal-pasal soal pendidikan dalam UU Sisdiknas, kok pemerintah begitu berambisi menjadikan sekolah-sekolah RSBI/SBI," kata Soedijarto.

Menurut Soedijarto, jika pendidikan bermutu menjadi sasaran pemerintah, semestinya tidak membebani masyarakat dengan biaya yang semakin mahal. "Tidak perlu juga pakai label internasional," kata Soedijarto.


Sekolah Swasta Juga Kembangkan RSBI

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah-sekolah swasta juga dikembangkan menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Program internasionalisasi pendidikan di sekolah swasta ini dinamakan RSBI mandiri.

Sekolah tidak dapat bantuan dari pemerintah. Sekolah mencari dana sendiri dari orang tua atau wali siswa.
-- Suprapto

"Sekolah tidak dapat bantuan dari pemerintah. Sekolah mencari dana sendiri dari orang tua atau wali siswa," kata Suprapto, Kepala SMP Muhamadiyah 2 Yogyakarta, yang hadir sebagai saksi ahli dari pemerintah dalam sidang soal Kebijakan RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Suprapto mengatakan sekolahnya tertarik mengembangkan RSBI karena ingin memberikan pilihan bagi siswa untuk mendapat pendidikan yang berdaya saing di tingkat nasional dan internasional. Di sekolah ini, RSBI belum diterapkan di semua sekolah, tetapi sistem per kelas.

Ketika penerimaan siswa baru usai, sekolah menawarkan kelas RSBI kepada siswa yang dinilai memenuhi syarat akademis dan nonakademis. Siswa harus punya nilai rata-rata minima 7,00 dan kesanggupan orang tua membiayai.

Menurut Suprapto, sekolah yang ikut RSBI mandiri tidak mendapat bantuan dana apapun dari pemerintah. Namun, kesempatan pelatihan saja yang diberikan pemerintah.

Siswa RSBI membayar SPP lebih mahal yakni Rp 250.000 per bulan, sedangkan siswa reguler Rp 200.000. Pengeluaran bisa bertambah besar ketika siswa harus berkunjung ke luar negeri untuk acara pertukaran pelajar, antara lain ke Malaysia dan Australia.

"Dalam pikiran saya sederhana saja kenapa memilih RSBI mandiri. Kami mau anak-anak dari sekolah kami bisa sukses di skala lokal hingga nasional," kata Suprapto.


Hari Ini, "Judicial Review" RSBI Hadirkan Saksi Ahli

-- Indra Akuntono & Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang judicial review Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (20/3/2012). Sidang hari ini diagendakan akan menghadirkan keterangan saksi ahli dan korban-korban dari pihak pemohon.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, para saksi yang akan memberikan keterangan adalah Prof Winarno, Prof HAR Tilaar, Prof Sudjiarto, perwakilan guru, serta komite sekolah. Seperti diberitakan, eksistensi RSBI terus menuai perdebatan. Terakhir, Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) meminta MK melakukan judicial review terhadap UU Sisdiknas. Permohonan tersebut dilandasi penilaian KAKP jika satuan RSBI bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berpotensi menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia.

Dua pekan lalu, agenda sidang mendengarkan keterangan dari pemerintah. Dalam kesempatan itu, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikdas Kemdikbud) Suyanto, yang mewakili pihak Kemdikbud, bersikukuh jika RSBI tidak bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. Suyanto menampik semua tudingan yang dilayangkan oleh pihak pemohon.

Suyanto beralasan, RSBI tidak diskriminatif karena sejak awal dibentuk satuan RSBI memang diperuntukkan bagi mereka, para siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata. Selain itu, guna mencetak lulusan di atas standar nasional, ia menilai penggunaan dan penguasaan bahasa asing sangat lumrah diterapkan di sekolah-sekolah berlabel RSBI. Alasan lainnya, RSBI merupakan upaya meningkatkan daya saing bangsa di kancah global, khususnya melalui pendidikan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012

No comments: