Saturday, March 31, 2012

Diam sebagai Puncak Perlawanan

-- Tjahjono Widarmanto


"Kita telah melawan,
Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya"


PEREMPUAN itu bernama Nyai Ontosoroh ia telah melakukan perlawanan hampir sepanjang hidupnya. Perlawanan melawan nasib dantakdirnya. Dengan penuh kesadaran mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai kemungkinan. Saat nasib mengantarkannya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda ia hanya pasrah menerima takdirnya.

Namun, dibalik sikap pasrahnya, berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungakan dengan politik etis tuannya, ia mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar. Perlawanan yang dilakukan adalah perlawanan yang diam-diam, tidak hiruk pikuk, namun dilakukannya sepanjang hidupnya. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok yang baru, dari sekedar perempuan dusun biasa menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segala citra busuk seorang Nyai.

Perlawanan yang dilakukannya bukanlah perlawanan yang frontal, namun sebuah perlawanan yang mengalir bersama sebuah penerimaan pada takdir. Pasrah tak sekedar diam dan menangisi nasib, namun dalam pasrah muncul sebuah perlawanan yang diam .

Diamnya Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa yang memunculkan perlawanan dibalik sikap pasrah, barangkali bisa dipahami saat kita melihat sosok Gendhari (Gendari) dalam cerita pewayangan. Ketika ia diperdaya oleh Bhisma untuk diperistri seorang Deatarata yang buta, seorang yang lemah, seorang yang ringkih dibawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu. Gandhari tak bisa menolak takdir itu. Dan tak bisa menggugat suratan tangannya. Gandhari dalam pasrahnya menanggung kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Ia memutuskan untuk selamanya menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati agar tak melihat apa-apa.

Namun, sejak itu, Gandhari bersama adiknya, Sengkuni, dengan cerdiknya disusunnya sebuah skenario baru, muslihat yang halus, yang kelak akan melahirkan episode-episode sedih bagi anak-anak Pandu serta membentangkan kematian Bhisma dalam sebuah pertempuran maha dahsyat. Dalam diri manusia Jawa memang selalu muncul kontradiksi-kontradiksi, dalam diri manusia Jawa selalu muncul kontras dan tumpang tindih.

Di balik diam ada perlawanan, di balik kelembutan muncul kekejian. Sebuah serat bernama Centhini menggambarkan ketumpangtindihan itu. Di dalam Centhini bisa dilihat betapa manusia Jawa itu penuh kontras, tumpang tindih antara raga dan roh, antara yang sensual dan spiritual, antara lembut dan tajam, antara yang alim dan alami, antara Jawa dan Islam.

Pada Centhini melalui pengembaraan Amongraga dari Giri, kita bisa melihat deskripsi ajaran sufistik, deskripsi cara ibadah, deskripsi makanan, hinga deskripsi seks yang gila. Kontras yang paling mencolok ada pada pupuh 362, bait-bait saat Amongraga bersama istrinya, Tembang Raras, berada di biliknya yang tertutup. Ada adegan para santri yang menyanyi dan menari seakan-akan memberikan latar musik pada adegan ranjang Amongraga dan Tembang Raras.

Dan, di bilik itu tak ada yang erotik. Hari itu, sama seperti 39 malam lainnya kedua suami istri itu tak bersenggama sama sekali. Pria alim itu hanya nembang mewejang istrinya. Namun diluar ada Jayengraga, lelaki tampan yang merasakan desakan libido yang dahsyat.Dalam situasi ereksi luar biasa ia gagal meniduri isteri dan selirnya yang sedang datang bulan, dan akhirnya melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda penggiringnya. Ia orgasme dan subuh tiba, adegan homoseksual itu berpindah, Jayengraga mandi. Mengambil wudhu, dan shalat bersama santri lainnya.

Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Centhini menampakkan penggambaran situasi kejiwaan yang kontras dan tumpang tidih pada manusia jawa. Persis kita jumpai pada Nyai Ontosoroh dan Gendhari yang memunculkan sebuah kontras yaitu : diam dan sebuah perlawanan. Sebuah pasrah dan sebuah dendam!


Tjahjono Widarmanto
, Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Alumnus IKIP Negeri Surabaya (sekarang UNESA). Pendidikan Pascasarjananya diselesaikan tahun 2006. Tulisan-tulisannya burapa essai budaya, sosial, pendidikan, dan puisi dimuat diperbagai media antara lain Kompas, Republika, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat,Pikiran Rakyat ,Harian SINDO, Bernas, Suara Pembaruan, Harian Sindo, Bahana (Brunai), Perisa (Malaysia) dan Horizon


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 31 Maret 2012

No comments: